-->

HIDUP DALAM SISTEM KUFUR, DIAM DITINDAS, BERSUARA DILINDAS


Oleh : Lia Asani

Pada Kamis, 28 Agustus 2025, bertepatan dengan agenda masyarakat menyampaikan aspirasinya untuk DPR, terjadi insiden kendaraan taktis Korps Brigade Mobil (Brimob) yang menabrak hingga menewaskan seorang pengemudi ojek online (ojol) di Pejompongan hingga tewas saat mendapat perawatan di RSCM.

Peristiwa tersebut memicu munculnya tagar #PolisiPembunuhRakyat yang menjadi trending di platform media sosial X. Hingga Jumat, 29 Agustus 2025 pukul 10.00, tagar itu telah dibagikan oleh lebih dari 71 ribu akun pengguna di media sosial tersebut. (dilansir media TEMPO.CO)

Definisi diam ditindas, bergerak dilindas adalah istilah yang tepat untuk kondisi rakyat saat ini. Bagaimana tidak? Berharap aspirasinya didengar, justru mendapat pukulan tak terelakan dari aparat yang seharusnya menjaga dan melindungi rakyat.

Sebagai informasi, mobil yang digunakan saat melindas ojol yang diduga sedang mengantar orderan dari konsumen adalah mobil rantis yang merupakan kendaraan dengan perlindungan tinggi militer, mobil tersebut juga dilengkapi bodi anti peluru dan anti ledakan tertentu, sehingga mampu melindungi personel didalamnya.

Tentunya hal ini memicu kemarahan massa, seolah menjadi public enemy, aparat yang selalu disebut 'oknum' kembali merusak kepercayaan masyarakat dengan tidak berpihak pada yang seharusnya. Apa yang menjadi urgensi aparat untuk bertindak demikian, yang jelas membahayakan rakyat, alih-alih membuat rakyat merasa aman dan nyaman dalam menyampaikan aspirasinya?

Saat ini, yang bisa dilakukan aparat dan pemerintah adalah bertanggung jawab atas semua yang sudah terjadi, tidak cukup dengan meminta maaf kepada keluarga korban serta publik, apalagi korban kehilangan nyawanya, sudah seharusnya pemerintah berbenah dan introspeksi darimana muasal masalah.

Bagaimana sanksi hukum dalam Sistem Islam dalam kasus seperti ini?

Jika Sistem Islam diterapkan, kemudian seseorang kehilangan nyawanya sengaja atau tidak disengaja dibunuh, maka siapapun pelakunya, bahkan jika dia seorang khalifah (pemimpin) sekalipun, tetap akan berlaku hukum qishash (hukuman mati). Namun bagaimana jika keluarga korban memaafkan pembunuh? maka pelaku wajib membayar diyat setara 100 ekor unta atau 1000 dinar (setara ±Rp8,07 miliar).

Jika pembunuhan terjadi tidak sengaja, pelaku tidak terkena hukum qishash, tetapi tetap wajib membayar diyat 100 ekor unta (setara ±Rp3,5 miliar). Ketentuan diyat (pengganti jiwa) ini tidak boleh diganti dengan hukuman lain seperti penjara. Karena fungsi utamanya selain memberi efek jera juga menjadi penebus dosa bagi pelaku jika ia Muslim dan menerima sanksi Islam.