Penghinaan Terhadap Rasulullah, Bukti Perlunya Islam Kaffah dan Khilafah
Oleh : M. U. Aulia Rosyadah
Dilansir dari cnnindonesia.com (01/07/2025) Bentrokan meletus di Istanbul, Turki, usai sejumlah massa berdemo memprotes kartun Nabi Muhammad yang dibuat oleh majalah satir LeMan, Senin (30/6).
AFP melaporkan segerombolan massa pada Senin berunjuk rasa di kawasan bar di Istanbul yang kerap dikunjungi oleh staf LeMan. Polisi kemudian datang untuk menenangkan dan membubarkan massa namun hal itu justru berujung bentrok karena publik kepalang marah.
Dunia kembali diguncang oleh aksi penghinaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ. Seperti biasa, dalih kebebasan berekspresi kembali dijadikan tameng untuk membenarkan tindakan biadab tersebut. Meski aparat setempat telah mengeluarkan perintah penangkapan dan pemilik media menyangkal tuduhan, kemarahan publik, khususnya di Turki, tidak terbendung. Umat Islam kembali disakiti, diinjak harga dirinya, namun dilemahkan dengan narasi-narasi toleransi yang pincang.
Fenomena ini bukan hal baru. Dalam sistem demokrasi sekuler, kebebasan berekspresi dijunjung tinggi bahkan di atas nilai-nilai moral dan agama. Apa pun boleh dilakukan selama tidak melanggar “konstitusi manusia”. Maka tidak heran, penghinaan terhadap simbol-simbol Islam, termasuk Nabi Muhammad ﷺ, kerap dihalalkan dengan alasan kebebasan. Ironisnya, penghinaan terhadap kelompok lain seringkali langsung ditindak dan dikategorikan sebagai kejahatan ujaran kebencian. Di sinilah standar ganda itu nyata dan terang-benderang.
Islam kaffah memandang bahwa kehormatan Nabi adalah hal yang sakral dan tidak boleh dikompromikan. Peradaban Islam tidak dibangun di atas hawa nafsu kebebasan mutlak sebagaimana peradaban Barat. Islam dibangun di atas akidah yang lurus, yang menjadikan syariat sebagai tolok ukur kebenaran. Islam tidak memberi ruang sedikit pun bagi penistaan agama, terlebih kepada Rasulullah ﷺ.
Dalam sejarah, Islam memiliki sistem negara—Khilafah Islamiyyah—yang bertanggung jawab menjaga kehormatan agama dan Rasul. Di bawah naungan Khilafah, penghinaan terhadap Nabi ditindak secara serius. Khilafah memandang bahwa serangan terhadap Nabi adalah serangan terhadap akidah umat Islam, dan karenanya harus dihadapi dengan ketegasan, bukan dengan dialog semu atau diplomasi kosong.
Syariat Islam telah menetapkan sanksi tegas bagi siapa saja yang menghina Rasulullah ﷺ. Baik dia Muslim maupun non-Muslim, baik kafir dzimmi, kafir harbi, atau bahkan orang yang menyatakan diri beriman, namun melakukan penghinaan terang-terangan maupun sindiran yang ambigu, hukumannya jelas dan tegas. Ini bukan bentuk intoleransi, melainkan perlindungan terhadap hal yang paling mulia dalam Islam: Rasulullah ﷺ.
Sayangnya, hari ini umat Islam tak lagi memiliki institusi negara yang mampu membela kehormatan Nabinya secara resmi dan berwibawa. Tidak ada lagi Khilafah yang akan mengirim pasukan hanya karena seorang utusan Nabi dihina. Umat Islam hanya bisa memprotes, berdemo, atau memboikot produk, tanpa kekuatan nyata di baliknya.
Inilah akibat dari hilangnya penerapan Islam secara kaffah dalam kehidupan. Umat menjadi lemah, agama dipermainkan, Nabi dihina berkali-kali, dan kita tak mampu membalas secara sepadan. Maka satu-satunya solusi sejati adalah mengembalikan kehidupan Islam kaffah dalam institusi Khilafah yang akan menjaga agama ini dengan kekuatan negara, bukan sekadar perasaan marah.
Penghinaan terhadap Nabi bukan sekadar persoalan kebebasan berekspresi. Ini adalah persoalan peradaban. Peradaban mana yang akan membela kehormatan manusia termulia sepanjang masa? Dan peradaban mana yang terus menghina atas nama kebebasan? Jawabannya tergantung kepada umat Islam: maukah kembali pada Islam kaffah?
Posting Komentar