Menghina Nabi atas Nama Kebebasan, Luka Lama Umat yang Tak Kunjung Sembuh
Oleh : Umma Almyra
Senin, 30 Juni 2025, dunia Islam kembali diguncang oleh peristiwa menyakitkan: majalah satire asal Turki, LeMan, menerbitkan kartun yang dianggap menghina Nabi Muhammad . Sosok paling mulia dan dicintai umat Islam kembali dijadikan bahan olok-olokan oleh segelintir pihak yang berlindung di balik tameng "kebebasan berekspresi". Aksi ini pun memicu gelombang kemarahan, khususnya di Turki, tempat kejadian tersebut berlangsung.
Ratusan orang turun ke jalan. Mereka memadati area di sekitar kantor redaksi LeMan, menyuarakan kemarahan dan kecintaan mereka kepada Rasulullah . Polisi akhirnya menangkap beberapa orang yang terlibat dalam penerbitan gambar tersebut. Pemerintah Turki menilai kartun itu sebagai bentuk penghinaan terhadap nilai-nilai agama dan menyatakan tidak akan mentolerir tindakan semacam itu.
Namun sebagaimana pola yang sering terjadi, klarifikasi segera menyusul dari pihak redaksi. Mereka menyebut bahwa gambar itu disalahpahami, bahwa tokoh yang digambarkan bukanlah Nabi Muhammad , melainkan seorang tokoh fiktif bernama Muhammad yang menjadi korban pemboman oleh entitas Zionis. Umat pun diminta maklum dan tidak membesar-besarkan masalah.
Tapi hati umat Islam tak bisa dibohongi. Kecintaan terhadap Nabi Muhammad bukan sekadar emosi sesaat. Ia adalah bagian tak terpisahkan dari iman. Penghinaan terhadap beliau, dengan cara apa pun, tak akan pernah dianggap remeh.
Luka yang Terus Dibuka Atas Nama Demokrasi
Kasus di Turki hanyalah satu dari banyak penghinaan terhadap Rasulullah yang telah terjadi selama bertahun-tahun. Luka lama ini terus terbuka, menganga, bahkan semakin dalam akibat sistem dunia hari ini yang tidak berpihak kepada Islam.
Di Prancis, majalah sekuler Charlie Hebdo dikenal sebagai pelopor dalam penghinaan terhadap Nabi. Mereka tidak hanya memuat karikatur Nabi Muhammad , tapi juga pernah mengadakan sayembara kartun menghina Tuhan. Pada 2005, surat kabar Denmark, Jyllands-Posten, memicu gelombang protes global karena menerbitkan karikatur Nabi . Kartunis Swedia Lars Vilks pun ikut menyulut api kebencian dengan karya serupa. Di Belanda, Geert Wilders, tokoh sayap kanan, sempat merancang lomba kartun
Nabi yang akhirnya dibatalkan akibat protes keras umat Islam.
Yang menyakitkan, penghinaan-penghinaan ini selalu dibela dengan dalih "kebebasan berekspresi". Kebebasan yang bagi umat Islam justru menjadi alat penindasan simbolik. Dalam sistem demokrasi sekuler, ekspresi dianggap sakral, sementara iman dianggap urusan pribadi yang tak layak dilindungi secara sistemik.
Tidak ada garis pembatas yang jelas antara kritik dan penghinaan. Bahkan, ketika umat Islam marah dan menuntut keadilan, mereka justru dianggap intoleran. Dunia terbalik. Yang dihina diminta bersabar, yang menghina merasa berkuasa.
Islam: Lebih dari Sekadar Agama
Islam bukan sekadar agama ritual. Ia adalah panduan hidup yang lengkap, dari aspek spiritual hingga sistem hukum. Islam membentuk peradaban yang menyatukan keimanan dengan kekuasaan, ibadah dengan kepemimpinan.
Dalam sejarahnya, institusi Khilafah Islamiyah pernah menjadi perisai umat. Ketika simbol Islam dihina, para khalifah tidak tinggal diam. Sultan Abdul Hamid II, misalnya, pernah secara langsung menekan Inggris dan Prancis untuk membatalkan pementasan teater yang menghina Nabi Muhammad . Dan mereka menuruti.
Hari ini, umat hanya bisa marah, demo, dan membuat tagar. Karena perisai itu sudah tidak ada. Tidak ada institusi politik Islam yang bisa berdiri dengan tegas membela Rasulullah dan menindak para penghina beliau.
Kebebasan Ekspresi yang Mengoyak Iman
Fenomena penghinaan terhadap Nabi tidak bisa dilepaskan dari ideologi kebebasan tanpa batas yang dilahirkan oleh sistem sekuler demokratis. Di dalam sistem ini, kebebasan berekspresi menjadi nilai tertinggi, bahkan melebihi nilai agama. Ironisnya, penghinaan terhadap Islam dilindungi oleh hukum, sementara pembelaannya justru dicurigai sebagai intoleransi.
Kapitalisme yang melahirkan sekularisme dan demokrasi, menempatkan kebebasan sebagai ruh kehidupan. Atas nama kebebasan, mereka merasa sah mengejek Nabi . Inilah akar masalahnya: sistem yang memelihara caci maki terhadap hal-hal suci, tanpa mampu memberikan perlindungan terhadap umat beragama.
Yang lebih menyedihkan, ide-ide kebebasan ini kini menjangkiti dunia Islam. Banyak negeri Muslim meniru sistem Barat, mengadopsi demokrasi dan hukum sekuler. Penguasanya tak ubahnya boneka asing, tak mampu menolak ide-ide kufur yang diimpor dari Barat.
Alhasil, umat Islam hidup dalam sistem yang tidak selaras dengan akidah mereka. Mereka beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, namun hidup di bawah hukum buatan manusia. Mereka seperti ikan laut yang dipaksa hidup di kolam air tawar—perlahan, tapi pasti, mereka melemah.
Mencintai Nabi, Bukan Sekadar Emosi
Kecintaan kepada Nabi Muhammad bukan hanya soal perasaan. Ia adalah bagian dari keimanan, yang harus diwujudkan dalam pembelaan nyata. Kisah para sahabat menjadi teladan.
Zaid bin Datsinah, sahabat Nabi yang ditawan dan hendak dibunuh, ketika ditanya apakah ia ingin Nabi menggantikan posisinya agar ia selamat, menjawab: "Aku tidak rela Nabi tertusuk duri pun, sementara aku duduk bersama keluargaku."
Ada pula kisah sahabat buta yang membunuh istrinya karena terus menghina Nabi. Ketika Rasulullah mendengar hal itu, beliau tidak menghukumnya. Begitu pula dengan perempuan Yahudi yang dihina karena ucapannya terhadap Rasulullah, hingga akhirnya dibunuh.
Semua ini menunjukkan bahwa mencintai Nabi bukan sekadar menangis saat maulid, tetapi harus tampak dalam keberanian membela beliau ketika dihina.
Islam Menyediakan Mekanisme Perlindungan
Dalam kitab Nizham al-Uqubat, Syekh Abdurrahman al-Maliki menjelaskan bahwa penghinaan terhadap pribadi seseorang bisa berbentuk sindiran halus (adz-dzam), pencemaran nama baik (al-qadh), dan penghinaan terang-terangan (at-tahqir). Penggambaran kartun yang menghina Nabi jelas tergolong at-tahqir.
Islam memiliki sanksi yang tegas terhadap tindakan semacam itu. Dalam negara Islam, penghinaan terhadap Rasulullah akan ditindak dengan hukuman berat. Hukum ini tidak bertujuan balas dendam, tapi untuk menjaga kemuliaan Islam dan menjamin tidak ada yang berani mengulanginya.
Namun, semua ini hanya bisa ditegakkan dalam bingkai negara Islam yang sah: Khilafah. Negara yang menjadikan Al-Qur'an dan Sunnah sebagai dasar hukum, bukan sekadar simbol.
Menjadikan Khilafah sebagai Perisai Umat
Hari ini, umat Islam sangat butuh perisai. Butuh institusi yang bukan hanya bisa memprotes, tapi bisa bertindak. Dunia sudah terlalu lama menyaksikan umat ini dipermalukan. Sudah saatnya umat bangkit, bukan hanya marah sesaat, tapi membangun kembali pelindung yang dulu pernah menjaga mereka: Khilafah.
Khilafah bukan sekadar sistem pemerintahan. Ia adalah wujud kecintaan umat kepada Rasulullah . Dengan adanya Khilafah, tidak akan ada yang berani menghina Nabi karena mereka tahu, umat ini memiliki pemimpin sejati yang akan membela kehormatan Nabinya.
Umat Islam harus berhenti berharap pada sistem yang selama ini menjadi sumber luka. Solusinya bukan menambal luka dengan klarifikasi atau permintaan maaf yang kosong, tapi dengan membangun sistem yang memuliakan agama dan Rasul-Nya.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Posting Komentar