Kebebasan Menghina Nabi, Buah Busuk Demokrasi dan Urgensi Kembali ke Perisai Khilafah
Oleh : Henise
Kasus penghinaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ kembali mencuat di Turki, negeri yang secara sejarah merupakan bekas pusat Khilafah Utsmaniyah. Majalah satire LeMan menerbitkan karikatur yang menampilkan sosok Nabi Muhammad ﷺ dan Nabi Musa yang dianggap menghina dan melecehkan ajaran Islam. Publik Muslim pun marah, unjuk rasa meledak, dan pemerintah Turki memerintahkan penangkapan terhadap beberapa pelaku terkait. Namun, gejolak ini bukan yang pertama, dan tampaknya bukan yang terakhir. Penghinaan terhadap Nabi terus berulang, dari Charlie Hebdo di Prancis, Lars Vilks di Swedia, hingga kini di tanah para sultan Turki. Ini bukan sekadar masalah lokal, tapi buah sistemik dari nilai-nilai demokrasi yang menjunjung tinggi "kebebasan berekspresi" meskipun itu menyakiti keyakinan miliaran umat Islam.
Akar Masalah: Demokrasi dan Kebebasan Tanpa Batas
Demokrasi menjunjung kebebasan berekspresi sebagai pilar utamanya. Dalam sistem ini, setiap individu berhak menyuarakan pendapatnya, termasuk dalam bentuk seni, tulisan, bahkan sindiran politik. Namun, ketika kebebasan ini digunakan untuk menyerang simbol-simbol suci Islam, seperti Nabi Muhammad ﷺ, maka jelas terjadi pelanggaran terhadap martabat agama. Anehnya, dalam sistem demokrasi, penghinaan terhadap Nabi kerap dilindungi atas nama freedom of speech, sementara kritik terhadap Zionisme atau simbol lain bisa dianggap hate speech dan dihukum berat. Ini menunjukkan standar ganda yang jelas.
Apa yang terjadi di Turki saat ini adalah cermin nyata dari kebobrokan tersebut. Meski Presiden Erdogan menyuarakan kemarahan dan aparat bergerak menangkap pelaku, namun sistem yang menaungi negara tetaplah demokrasi sekuler. Maka tidak ada jaminan penghinaan seperti ini tidak akan terjadi lagi, karena kebebasan berekspresi tetap menjadi tameng yang melindungi pelaku penistaan agama.
Lebih ironis, negeri-negeri Muslim lainnya pun terperangkap dalam sistem yang sama. Bahkan, banyak penguasa negeri Muslim yang memilih diam atau hanya memberikan reaksi simbolik ketika Nabi ﷺ dihina. Mereka terikat perjanjian internasional, tekanan diplomatik, dan ketundukan pada nilai-nilai liberal global. Sementara umat Islam hanya bisa bereaksi marah, turun ke jalan, dan kembali kecewa karena tidak ada institusi riil yang melindungi kehormatan Rasulullah ﷺ secara sistematis dan permanen.
Islam Punya Solusi Tegas: Negara Penjaga Kehormatan Rasulullah
Islam bukan hanya agama ritual, tapi sistem kehidupan yang paripurna. Dalam Islam, kehormatan Nabi ﷺ adalah bagian dari kehormatan agama yang wajib dijaga oleh negara. Dalam naungan Khilafah Islamiyyah, penghinaan terhadap Nabi ﷺ tidak akan pernah dibiarkan. Negara akan mengambil langkah cepat, tegas, dan berlandaskan syariah.
Hukum Islam telah menetapkan bahwa siapa pun yang menghina Nabi Muhammad ﷺ – baik Muslim maupun non-Muslim – dikenai sanksi keras. Dalam kitab As-Siyâsah Asy-Syar’iyyah, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa penghinaan terhadap Rasulullah ﷺ adalah bentuk kekufuran dan pelakunya wajib dihukum mati. Hal ini bukan sekadar balas dendam emosional, tapi bentuk perlindungan terhadap wahyu dan sosok yang membawa risalah terakhir dari Allah SWT.
Khilafah tidak memberi ruang bagi narasi kebebasan yang bertabrakan dengan kesucian agama. Kebebasan dalam Islam bukanlah kebebasan mutlak, tapi kebebasan yang dibatasi syariah. Dalam sistem Islam, tidak ada tempat bagi seni yang menghina agama, lelucon yang melecehkan Nabi, atau opini publik yang mencela Allah dan Rasul-Nya. Semua dikendalikan demi menjaga kemaslahatan umum dan menghormati perasaan umat beragama, khususnya umat Islam.
Sejarah Telah Bicara: Khilafah Tegakkan Perlindungan Nyata
Dalam sejarah panjang Islam, para penguasa Khilafah menunjukkan komitmen luar biasa dalam melindungi kehormatan Nabi ﷺ. Kisah Khalifah Al-Mu’tashim Billah yang mengirim pasukan besar hanya untuk membela seorang Muslimah yang dilecehkan oleh tentara Romawi adalah bukti bahwa negara Islam bukan sekadar simbol politik, tapi penjaga kehormatan umat.
Demikian pula, ketika ada upaya penghinaan atau penyebaran fitnah terhadap Rasulullah ﷺ, para ulama dan qadhi (hakim Islam) di masa Khilafah tak ragu memberikan hukuman tegas sesuai syariat. Inilah yang membuat musuh-musuh Islam segan dan tidak sembarangan menyerang Islam secara terbuka. Perlindungan ini bukan karena sentimen semata, tapi hasil dari sistem Islam yang menyatu antara aqidah dan kekuasaan.
Bandingkan dengan situasi sekarang, ketika penghinaan terjadi berulang, tapi negara-negara Muslim tak berdaya. Tidak ada institusi tunggal yang mampu berdiri mewakili umat Islam secara global, membalas penghinaan dengan kekuatan negara, dan menjaga kehormatan agama. Umat Islam kini ibarat anak yatim di tengah pesta dunia sekuler.
Saatnya Umat Menyadari Solusi Hakiki
Umat Islam harus menyadari bahwa reaksi marah, boikot produk, atau kecaman di media sosial tidak cukup. Yang dibutuhkan adalah solusi sistemik, yaitu tegaknya kembali institusi Khilafah Islamiyyah yang akan menjaga kehormatan Islam, termasuk kehormatan Rasulullah ﷺ.
Khilafah akan menjadikan aqidah Islam sebagai fondasi hukum dan kebijakan, bukan kebebasan liberal. Ia akan menyusun undang-undang berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah, menetapkan sanksi bagi penghina agama, dan menunjukkan kepada dunia bahwa Islam bukan agama lemah, tapi agama yang mulia dan memiliki negara pelindung.
Tanpa Khilafah, umat Islam akan terus menjadi korban. Hari ini di Turki, besok mungkin di negeri Muslim lain. Musuh Islam akan terus menggunakan kebebasan ala demokrasi untuk menghina, menyerang, dan merusak Islam, karena mereka tahu tidak ada institusi Islam yang bisa membalas mereka secara setara.
Penutup
Kisah penghinaan terhadap Nabi Muhammad ﷺ bukanlah sekadar insiden editorial atau lelucon satir. Ia adalah sinyal bahwa peradaban saat ini tengah kehilangan batas moral dan rasa hormat terhadap keyakinan umat Islam. Demokrasi telah menciptakan ruang yang subur bagi pelecehan agama atas nama kebebasan. Dan satu-satunya solusi bukanlah retorika diplomatik atau amarah sesaat, tapi kembalinya umat Islam pada sistem Islam, yaitu Khilafah, yang akan melindungi kehormatan Rasulullah ﷺ dengan kekuatan negara dan hukum Allah SWT.
“Barang siapa yang mencintai Nabi ﷺ, maka wajib baginya memperjuangkan tegaknya Khilafah yang menjadikan syariat sebagai tameng bagi kehormatannya.”
Wallahu a'lam
Posting Komentar