-->

Tak Layak Memberi Penghormatan Pada Negara Pengusung Islamophobia


Oleh : Widya Utami, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Kedatangan Presiden Prancis Emmanuel Macron beserta istrinya Brigitte Macron pada 27-29 Mei 2025, menjadi momen berharga bagi Prabowo Subianto, untuk mempertegas hubungan diplomatik kedua negara tersebut. Sebagai bukti erat persahabatan yang selama ini sudah terjalin selama 75 tahun, sehingga kehadiran Macron pun mendapatkan sambutan hangat dan meriah dalam upacara kenegaraan di Istana Merdeka, Jakarta, lengkap dengan penghormatan 21 tembakan meriam dan kibaran bendera negara Prancis sepanjang jalur protokol (Tempo.com, 30/5/2025).

Masih dilaman yang sama, kedatangan Macron ke Indonesia menghasilkan 27 nota kesepakatan kerja sama yang di tandatangani antar pemerintah, lembaga dan dunia usaha Indonesia-Prancis. Kerja sama tersebut meliputi sektor-sektor strategis seperti energi, pangan, pendidikan, kesehatan, telekomunikasi dan infrastruktur. Dengan adanya beberapa kesepakatan kerjasama tersebut, Prabowo dan sejumlah jajaran kementrian berharap, semua itu memberikan angin segar bagi pertumbuhan perekonomian dan kemajuan Indonesia baik dari SDM maupun pembangunan, agar ke depannya Indonesia bisa berkembang lebih baik lagi. 

Over ekspektasi kalau menganggap kedatangan Macron memberikan dampak positif pada konstelasi politik internasional. Sebab, hari ini kita menyaksikan, Prancis sendiri di mata negara-negara Uni Eropa sedang terus membangun kepercayaan negara-negara lain, dan Prancis sendiri merancang politik luar negeri untuk bisa memimpin negara-negara uni Eropa. Namun negara-negara Uni Eropa tidak menyambut positif Prancis karena belum memiliki kekuatan untuk memimpin dunia. Maka Prancis selalu berusaha mencari kesempatan untuk menjadi hero terhadap kasus yang terjadi di beberapa belahan dunia. 

Perekonomian Prancis juga masih tergantung pada negara adidaya saat ini, yaitu Amerika. Sehingga mustahil jika kerja sama Indonesia antar Prancis memberikan peluang kemajuan untuk Indonesia, sebab ekonomi kedua negara ini masih sama-sama ketergantungan terhadap Amerika.

Itulah yang terjadi di sistem kapitalis saat ini. Sistem kapitalis yang diterapkan memang begitu menyusahkan individu, masyarakat bahkan negara. Sehingga, negara pun tidak mampu menghadapi berbagai polemik di negerinya sendiri.

Sistem kapitalis yang berasaskan sekuler (pemisahan agama dari kehidupan), hanya mengandalkan akal manusia yang serba terbatas untuk menyelesaikan berbagai persoalan. Belum lagi ketika nafsu bergejolak dalam diri penguasanya, maka apa aja yang menguntungkan bagi mereka, tak lagi perlu berpikir panjang untuk memikirkan nasib rakyatnya. 

Di samping itu, negara yang menerapkan sistem kapitalis, akan sangat menjauhkan diri dari aturan beragama, sehingga agama diabaikan dalam kepentingan hubungan kerja sama antar negara, mengingat Prancis merupakan salah satu negara islamophobia yang begitu kuat. Perancis memiliki sederetan kasus penistaan agama Islam, mulai dari pembuatan kartun Nabi Muhammad SAW, pelarangan hijab dan bahkan berita terbaru yakni pembunuhan seorang Muslim di masjid dengan 20 kali tusukan oleh warga Prancis pada April 2025 lalu. 

Oleh karena itu, sambutan hangat nan meriah tidak layak diberikan kepada Prancis, mengingat banyaknya kasus islamophobia yang terjadi di negara tersebut. Sikap tegas dan pembelaan atas kemuliaan agama yang seharusnya ditunjukkan oleh pemimpin negeri Muslim, terlebih sebagai negara dengan umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Namun dalam sistem sekuler kapitalisme ini hubungan negara dilihat berdasarkan manfaat, maka abai atas sikap kebencian suatu negara terhadap Islam.

Apalagi dalam Islam, sangat tegas sekali, negara yang berasaskan Islam atau disebut darul Islam, ketika hendak melakukan kerja sama, baik itu perdagangan, militer atau yang lainnya dengan negara kafir atau darul kufur, ada aturan yang harus dilaksanakan. Ketika negara kafir tersebut memang anti Islam dan sedang memerangi Islam, yakni kafir harbi fi’lan, maka tidak boleh atau diharamkan sedikit pun untuk menjalin kerja sama dengan mereka. Tuntunan Islam ini seharusnya menjadi pedoman setiap Muslim, terlebih penguasa harus tegas menolak kerja sama tersebut.  

Sebagai contoh, sikap tegas Khalifah Al Mu'tashim Billah yang pernah mengirim 80.000 pasukan militer kaum Muslimin untuk menyelamatkan seorang Muslimah yang dilecehkan oleh Yahudi kala itu. Sikap islamophobia yang ditampakkan Yahudi tersebut, tidak serta-merta membuat Khalifah akhirnya memaafkannya lalu menjalin kerja sama setelahnya. 

Oleh karena itu, darul Islam atau negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh akan menjadi negara kuat dan berpengaruh dalam konstelasi hubungan negara-negara di dunia sebagaimana yang pernah diraih oleh negara Islam pertama yang didirikan Rasulullah Saw, Khulafaur Rasyidin dan pada kekhilafahan berikutnya selama 13 abad lamanya.  

Maka, tidak ada yang bisa diharapkan dari sistem kapitalisme sekuler hari ini untuk menjadikan negara kuat dan sejahtera kecuali hanya hidup dalam naungan sistem Islam, yaitu Daulah Khilafah Islamiyyah.[]