-->

Dana Siswa Dikorupsi Lagi, Salah Oknum atau Salah Sistem?


Oleh : Ismanto, Praktisi Pendidikan

Penyelewengan dana bantuan Program Indonesia Pintar (PIP) kembali mencuat. Kali ini, sebagaimana yang dikutip megapolitan.antaranews.com,(14/6/2025), seorang operator sekolah dasar negeri di Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat, diberhentikan karena diduga menggelapkan dana bantuan pendidikan untuk siswa kurang mampu, dengan nilai kerugian lebih dari Rp10 juta. Kasus ini bukanlah yang pertama, di berbagai daerah lain seperti Jawa Tengah, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan. Praktik serupa telah terungkap, menunjukkan betapa lemah sistem pengawasan terhadap dana pendidikan di negeri ini.

Data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat, sektor pendidikan termasuk salah satu yang paling rentan terhadap tindak korupsi. Modusnya beragam, mulai dari penyimpangan dana BOS, pungutan liar kepada orang tua siswa, hingga jual beli jabatan kepala sekolah (www.inilah.com,16/6/2025). 

Indonesia Corruption Watch (ICW) pun mencatat puluhan kasus korupsi pendidikan dengan modus seperti manipulasi anggaran, penyelewengan bantuan sosial pendidikan, dan pengurangan dana yang seharusnya langsung diberikan ke siswa atau sekolah (nasional.kompas.com, 20/5/2024). 

Ironisnya, korupsi ini justru merajalela di institusi yang seharusnya menjadi tempat lahirnya moralitas, kejujuran, dan keteladanan. Bukankah pendidikan adalah sarana mencetak generasi berintegritas? Kenyataannya, dunia pendidikan saat ini memperlihatkan tanda-tanda kerusakan sistemik yang 
semakin membudaya.

Bukan Masalah Moral tapi Masalah Sistem
Jika ditelusuri lebih dalam, persoalan ini tidak cukup dijelaskan sebagai ulah “oknum”. Penyebab utamanya terletak pada sistem yang membentuk cara pandang dan perilaku manusia terhadap harta, jabatan, dan kehidupan. Sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan telah melahirkan generasi yang memandang materi sebagai tujuan utama. Sistem ini mengabaikan akhlak, menjauhkan individu dari takut kepada Allah, dan menjadikan keuntungan pribadi lebih penting daripada tanggung jawab sosial.

Sementara itu, sistem kapitalisme yang menguasai kebijakan publik menjadikan pendidikan tak lebih dari komoditas. Dalam sistem ini, pengelolaan dana pendidikan hanya dipandang dari sudut efisiensi dan output teknis, bukan amanah ilahiah. Gaya hidup konsumtif yang didorong oleh budaya kapitalistik pun menekan para pelaku pendidikan untuk memenuhi kebutuhan dengan segala cara, termasuk dengan korupsi.

Dalam konteks ini, kita tak hanya bicara soal pengawasan lemah atau insentif guru yang kecil. Kita bicara soal kerusakan sistem nilai yang melandasi semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan.

Kembali pada Aturan Islam

Solusi atas persoalan ini tidak cukup dengan menambah audit atau memperketat pengawasan. Kita memerlukan perubahan sistemik berbasis Islam, yang membentuk manusia sebagai hamba Allah dan pengemban amanah.

Pertama, sistem pendidikan harus dibangun di atas asas akidah Islam. Tujuan pendidikan bukan sekadar menghasilkan tenaga kerja, tetapi mencetak manusia yang bertakwa, cerdas, dan berakhlak mulia. Kurikulum harus mengintegrasikan ilmu dengan syariah, dan menanamkan kesadaran bahwa setiap amal akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

Kedua, negara harus menerapkan sistem pemerintahan Islam (Khilafah) yang menjadikan syariat sebagai sumber hukum dan tata kelola kehidupan, termasuk dalam distribusi dan pengawasan dana publik. Dalam sistem ini, dana pendidikan adalah amanah yang wajib dijaga, dan pengelolanya akan dituntut secara syar’i jika berkhianat.

Ketiga, Islam memiliki sistem sanksi yang tegas namun adil. Korupsi dalam Islam digolongkan sebagai bentuk ghulul (pengkhianatan terhadap harta umat) yang pelakunya bisa dikenakan sanksi yang membuat jera dan bertujuan memperbaiki, bukan sekadar memenjarakan.

Terakhir, hanya dengan penerapan Islam secara menyeluruhlah dalam pendidikan, ekonomi, pemerintahan, dan budaya kita dapat mencegah korupsi hingga ke akarnya. Sistem pendidikan Islam mencetak generasi yang lebih takut berbuat salah di hadapan Allah daripada takut pada pengawasan manusia. Mereka akan merasa diawasi oleh Allah, bukan sekadar oleh lembaga pengawas.

Penutup

Kasus korupsi dana pendidikan adalah gejala dari penyakit besar dalam sistem sekuler kapitalistik. Selama sistem ini terus dipertahankan, maka korupsi termasuk di dunia pendidikan akan terus berulang. Sudah saatnya umat Islam menyadari bahwa solusi nyata bukan sekadar teknis administratif, tetapi harus menyentuh akar ideologis. Maka, kembalilah pada Islam sebagai sistem hidup yang paripurna, agar pendidikan kembali menjadi jalan menuju peradaban yang mulia, bukan tempat lahirnya kehancuran moral.[]