Solusi Dua Negara ; Skema Lama, Penjajahan Baru
Oleh : Umma Almyra
Pernyataan Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto, tentang kesiapan membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika Palestina diakui sebagai negara merdeka, memicu perdebatan luas. Dalam pertemuan dengan Presiden Prancis Emmanuel Macron akhir Mei ini, Prabowo menegaskan bahwa Indonesia mendukung penuh solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan menuju perdamaian. Ia bahkan menyatakan kesediaan Indonesia untuk mengirim pasukan perdamaian ke kawasan tersebut, serta menjamin hak dan keamanan Israel sebagai negara berdaulat, apabila Palestina juga mendapatkan pengakuan serupa.
Sikap ini kemudian mendapat respons beragam. Di satu sisi, pernyataan tersebut dilihat sebagai pendekatan diplomatik pragmatis untuk mendobrak kebuntuan konflik panjang Palestina-Israel. Sejumlah tokoh seperti KH Yahya Cholil Staquf dari PBNU dan perwakilan MUI menyampaikan dukungannya. Mereka menekankan bahwa ini bukan bentuk pembelaan terhadap Israel, melainkan strategi untuk mendorong pengakuan kemerdekaan Palestina melalui mekanisme internasional.
Namun di sisi lain, sebagian masyarakat dan pengamat justru mempertanyakan efektivitas serta implikasi moral dari langkah tersebut. Bagi mereka, membuka peluang pengakuan terhadap Israel — meski disertai syarat kemerdekaan Palestina — tetap dianggap sebagai celah berbahaya yang bisa melemahkan sikap historis Indonesia terhadap perjuangan rakyat Palestina. Apalagi, pengalaman menunjukkan bahwa solusi dua negara kerap menjadi retorika tanpa realisasi, dan Israel sendiri belum pernah menunjukkan niat tulus mengakhiri penjajahan.
Karena itu, pernyataan ini bukan sekadar isu diplomatik, tetapi menyentuh ranah prinsip dan nilai yang selama ini menjadi pijakan dalam sikap politik luar negeri Indonesia. Dukungan terhadap Palestina adalah bagian dari komitmen moral dan konstitusional bangsa. Maka, kebijakan seperti ini perlu dikaji secara mendalam agar tidak menjadi preseden buruk di masa depan—terutama bagi negara dengan mayoritas penduduk Muslim yang selama ini menjadi simbol solidaritas terhadap Palestina.
Solusi Dua Negara, Janji Manis Yang Tak Pernah Dipenuhi
Solusi dua negara telah lama menjadi wacana dalam penyelesaian konflik Israel-Palestina. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa Israel terus melakukan ekspansi wilayah dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap rakyat Palestina. Pengakuan terhadap Israel tanpa jaminan konkret atas kemerdekaan dan kedaulatan Palestina dapat dianggap sebagai bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Dukungan Indonesia terhadap solusi dua negara sejatinya sejalan dengan narasi lama yang diusung Amerika Serikat untuk menyelesaikan konflik Israel-Palestina. Presiden AS Joe Biden, pada akhir 2023, menegaskan kembali bahwa solusi dua negara adalah satu-satunya jalan untuk memastikan keamanan dan masa depan yang layak bagi rakyat Israel maupun Palestina. Pernyataan serupa juga disampaikan Sekjen PBB António Guterres yang menilai bahwa perdamaian abadi hanya mungkin terwujud melalui pembentukan dua negara yang hidup berdampingan secara damai.
Namun, di balik wacana tersebut, solusi dua negara mengandung ironi sejarah. Gagasan ini pertama kali muncul dari Laporan Peel pada 1937, yang menyimpulkan bahwa orang Arab Palestina dan Yahudi tidak dapat hidup bersama dalam satu negara karena permusuhan yang mendalam. Maka diusulkan lah pembagian wilayah Palestina, di mana kaum Yahudi diberi akses ke wilayah paling subur dan strategis, sementara rakyat Palestina hanya kebagian tanah tandus seperti Negev, Gaza, dan sebagian Tepi Barat. Usulan ini ditolak kedua pihak, namun konflik terus berlanjut seiring meningkatnya gelombang migrasi Yahudi ke tanah Palestina.
AS tetap bersikeras menjadikan solusi dua negara sebagai agenda utama diplomasi global, dengan dukungan dana dan militer sebagai umpan agar pihak Zionis mau “berkompromi”. Namun faktanya, elite Zionis sendiri, termasuk Perdana Menteri Netanyahu, telah berulang kali menolak gagasan ini karena ambisi mereka adalah menguasai seluruh Palestina. Setelah perang di Gaza, Netanyahu menyatakan bahwa Israel akan tetap mengendalikan keamanan wilayah tersebut, bahkan jika nantinya dikelola pemerintahan sipil non-Hamas.
Pada akhirnya, solusi dua negara tampak sebagai proyek semu yang dipaksakan demi kepentingan geopolitik Amerika di Timur Tengah. Negeri-negeri Muslim, termasuk Indonesia, cenderung mengikuti arah politik negara adidaya ini, meski sering kali harus mengorbankan prinsip dan solidaritas terhadap rakyat Palestina. Ketundukan ini mencerminkan betapa lemahnya posisi dunia Islam dalam menghadapi tekanan global, dan sayangnya, realitas ini terus berulang di tengah penderitaan yang belum usai di tanah suci Palestina.
Palestina Bukan Sekadar Wilayah, Tapi Bagian dari Iman
Bagi umat Islam, Palestina bukan sekadar sebuah wilayah, tetapi memiliki akar akidah. Baitulmaqdis adalah tempat mikraj Rasulullah saw. sebagaimana firman-Nya, “Maha Suci (Allah) yang telah memperjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad) pada malam hari dari Masjidilharam ke Masjidilaqsa yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS Al-Isra’ [17]: 1).
Pernyataan yang membuka peluang pengakuan terhadap Israel, meski dengan syarat pengakuan terhadap Palestina, bukan hanya problematik secara politik, tetapi juga merupakan bentuk pengkhianatan terhadap perjuangan panjang umat Islam. Sejarah mencatat bahwa sejak masa Khalifah Umar bin Khattab yang membebaskan Yerusalem tanpa pertumpahan darah, hingga kepahlawanan Sultan Salahuddin Al-Ayyubi yang membebaskannya dari tangan Tentara Salib, tanah Palestina selalu menjadi simbol kehormatan dan kesatuan umat Islam.
Perjuangan rakyat Palestina hari ini, baik dalam bentuk Intifada maupun operasi militer seperti Taufan Al-Aqsa, bukan sekadar konflik teritorial, tetapi ekspresi dari kesadaran umat untuk menolak penjajahan atas tanah yang diberkahi. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman: "Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi fitnah dan (sehingga) ketaatan itu hanya untuk Allah semata." (QS. Al-Baqarah: 193). Ayat ini menjadi dasar bahwa umat Islam tidak boleh tinggal diam terhadap penjajahan dan kezaliman, terlebih jika itu dilakukan di tanah suci yang penuh sejarah spiritual umat.
Mengakui Israel, dalam konteks ini, sama artinya dengan memberikan legitimasi atas seluruh bentuk kejahatan yang telah dilakukan terhadap rakyat Palestina selama puluhan tahun—pembantaian, pengusiran, perampasan tanah, serta pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis. Itu bukan hanya mencederai nilai-nilai keadilan dalam Islam, tetapi juga menghancurkan warisan perjuangan umat yang telah mengalirkan darah dan air mata demi membela Al-Quds dan tanah para nabi.
Jihad dan Kepemimpinan Khilafah
Umat Islam, di manapun berada, adalah satu tubuh, satu umat, dan satu keluarga besar yang terikat oleh akidah Islam. Allah Ta'ala berfirman, “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara. Maka damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.” (QS Al-Hujurat [49]: 10).
Rasulullah saw. juga menggambarkan betapa kuatnya ikatan ini dalam sabdanya, “Perumpamaan orang-orang mukmin dalam kasih sayang, cinta, dan empati mereka ibarat satu tubuh. Jika satu bagian tubuh merasakan sakit, seluruh tubuh ikut merasakan, tidak bisa tidur, dan merasakan demam.” (HR Muslim no. 4685).
Berdasarkan ayat dan hadis tersebut, penderitaan yang dialami oleh rakyat Palestina bukanlah urusan mereka semata, melainkan tanggung jawab seluruh umat Islam. Penjajahan dan genosida yang terjadi di Palestina merupakan luka bagi seluruh kaum Muslimin, dan karenanya, wajib bagi umat Islam untuk mengambil langkah nyata dan efektif demi menghentikan kezaliman tersebut dan membebaskan
Palestina dari cengkeraman penjajah
Dan Sejarah telah membuktikan bahwa penjajahan atas wilayah Islam tidak pernah bisa diakhiri hanya dengan diplomasi sepihak atau kompromi yang melemahkan posisi umat. Penjajahan hanya dapat dihentikan melalui jihad fi sabilillah—perjuangan menyeluruh yang dipimpin oleh negara Islam yang sah, yaitu khilafah.
Allah SWT berfirman, “Dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah dan (hingga) ketaatan itu hanya bagi Allah semata.” (QS Al-Baqarah [2]: 193). Rasulullah saw. juga bersabda, “Jihad wajib atas kalian bersama setiap pemimpin.” (HR Abu Dawud).
Rasulullah SAW sendiri membangun kekuatan negara di Madinah sebelum melanjutkan misi pembebasan Makkah dan wilayah sekitarnya. Para sahabat pun melanjutkan ekspansi Islam ke wilayah-wilayah yang tertindas, bukan untuk menguasai, tetapi untuk membebaskan manusia dari belenggu kezaliman menuju keadilan Islam.
Oleh karena itu, solusi mendasar dan menyeluruh untuk membebaskan Palestina adalah dengan menghidupkan kembali institusi khilafah sebagai pemersatu umat dan pelindung kehormatan Islam. Hanya dengan khilafah, umat Islam dapat bersatu dalam satu komando yang kuat, melawan penjajah dengan kekuatan politik, ekonomi, dan militer yang terpusat dan sah.
Dalam konteks hari ini, Palestina sedang berada dalam kondisi terjajah dan diserang secara brutal oleh entitas Zionis Yahudi yang didukung penuh oleh kekuatan global seperti Amerika Serikat dan negara-negara Eropa. Umat Islam di Palestina telah menunjukkan keberanian dan keikhlasan mereka dalam berjihad, mempertahankan tanah air dan kehormatan mereka sebagai mujahid sejati.
Namun, kekuatan mereka terbatas dan belum mampu menghadapi kekuatan militer penjajah yang sangat besar. Di sinilah letak kewajiban umat Islam lainnya, terutama negara-negara Muslim terdekat seperti Yordania, Suriah, Lebanon, Arab Saudi, Mesir, dan Yaman, untuk mengirimkan pasukan dan bantuan nyata untuk berjihad bersama membebaskan Palestina. Jika negara-negara tersebut belum cukup, maka menjadi kewajiban seluruh negeri-negeri Islam di dunia untuk bersatu mengirimkan tentara dan mengusir penjajah dari bumi Palestina.
Sayangnya, realitas hari ini menunjukkan bahwa para penguasa negeri-negeri Muslim telah terbelenggu oleh paham nasionalisme sempit yang ditanamkan oleh Barat. Mereka tidak bersedia mengerahkan kekuatan militer untuk membela saudara mereka di Palestina. Bahkan lebih jauh, mereka justru tunduk pada solusi buatan Barat yang ilusif dan merugikan, seperti solusi dua negara, yang pada hakikatnya hanya mengukuhkan eksistensi penjajahan Zionis atas tanah Palestina.
Ketundukan terhadap solusi buatan musuh ini merupakan bentuk pengkhianatan nyata. Ini bukan hanya pengkhianatan terhadap perjuangan umat, tetapi juga pengkhianatan terhadap Allah Ta'ala, Rasulullah saw., dan amanah yang diberikan kepada kaum Muslimin untuk menjaga dan membela saudaranya yang
dizalimi.
Wallahualam bissawab
Posting Komentar