-->

Paradoks Persatuan Umat dalam Haji dengan Kenyataan Umat yang Terpecah


Oleh : Rini Mumtazsabrina

Pemerintah Arab Saudi menetapkan Hari Raya Idul Adha jatuh pada hari jumat (6/6), sedangkan Hari Arafah (Wukuf di Arafah) sebagai bagian dari rangkaian puncak ibadah Haji dilaksanakan pada 5 Juni 2025 yang akan di ikuti sebanyak 1,83 juta umat muslim dari berbagai penjuru dunia termasuk dari Indonesia yang tahun ini memiliki kuota sebanyak 241 ribu Jemaah.

Setiap tahun, jutaan muslim dari berbagai penjuru dunia yang berasal dari latar belakang budaya, Bahasa, warna kulit dan status social yang beragam berkumpul di tanah suci Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji. Sebuah peristiwa spiritual yang merefleksikan ketaatan individu kepada Allaah Subhanahu wa ta’ala. Peristiwa ini juga menjadi symbol agung dari persatuan umat Islam yang di bangun atas dasar aqidah Islam yang kukuh dan universal yang mempersatukan hati – hati manusia dalam satu ikatan ukhuwah imaniyah dan menghapus segala batas – batas duniawi yang bersifat semu dan sementara.

Umat islam yang kini berjumlah hampir 2 miliar jiwa di seluruh dunia, sesungguhnya memiliki potensi luar biasa untuk menjadi kekuatan global yang di segani. Potensi ini mencakup berbagai bidang seperti politik, ekonomi, hingga social. Namun hal itu hanya dapat terwujud jika umat islam mampu melepaskan diri dari belenggu perpecahan yang di sebabkan oleh sekat – sekat nasionalisme sempit. Fanatisme golongan, serta kepentingan duniawi yang memecah belah.

Perbedaan Yang Berulang

Di momen idul adha ini umat islam di berbagai negara kembali menunjukan perbedaannya dalam penetapan hari raya idul adha. MABIMS (Menteri-Menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura) yang didirikan pada 1988 untuk menyatukan penentuan awal bulan hijriah, khususnya Idul fitri dan Idul adha, guna memperkuat solidaritas umat Islam di Asia Tenggara.

Yang mana MABIMS sendiri menggunakan kombinasi rukyat (pengamatan hilal) dan hisab (perhitungan astronomis), dengan kriteria yang diperbarui pada 2021: ketinggian hilal minimal 3 derajat dan elongasi 6,4 derajat. Kriteria ini seharusnya menjamin keseragaman, tetapi implementasinya sering terhambat oleh faktor lokal seperti geografi, otoritas keagamaan, dan dinamika nasional. Perbedaan Idul adha 2025 menunjukkan bahwa narasi pemersatu MABIMS rapuh, terutama ketika kepentingan nasional mengalahkan konsensus regional.

Akibatnya, perbedaan penetapan Idul adha 1446 H/2025 antara Indonesia dan Malaysia —Indonesia pada 6 Juni dan Malaysia pada 7 Juni—mengungkap kelemahan organisasi ini. Meskipun Idul fitri 1446 H serentak pada 31 Maret 2025, ketidak selarasan Idul adha menimbulkan pertanyaan kritis: apakah MABIMS hanya simbol birokratis yang gagal menjalankan misi pemersatuannya? 

Pada 1446 H/2025, Indonesia menetapkan Idul adha pada 6 Juni 2025, berdasarkan Sidang Isbat Kementerian Agama (Kemenag) pada 27 Mei 2025. Pengamatan hilal di 114 lokasi, termasuk Aceh, menunjukkan ketinggian hilal 3,29 derajat dan elongasi 6,78 derajat, memenuhi kriteria MABIMS, sehingga 1 Zulhijah ditetapkan pada 28 Mei 2025, sejalan dengan wukuf di Arafah pada 5 Juni 2025. 

Sedangkan Malaysia, menurut pengumuman Jabatan Kemajuan Islam Malaysia (JAKIM) pada 26 Mei 2025, menetapkan Idul adha pada 7 Juni 2025, dengan 1 Zulhijah pada 29 Mei 2025, karena hilal tidak terlihat di 29 lokasi pengamatan, sehingga Zulkadah digenapkan 30 hari.

Perbedaan ini bukan fenomena baru. Pada 1443 H/2022, Indonesia merayakan Idul adha pada 10 Juli, sedangkan Malaysia pada 9 Juli. Pada 1444 H/2023, Indonesia menetapkan 29 Juni dan Malaysia 28 Juni. Pola berulang ini menantang klaim MABIMS sebagai alat pemersatu, menunjukkan bahwa organisasi ini kesulitan menjembatani perbedaan nasional.

Paradoks Persatuan Umat

Perbedaan ini menjadi bukti nyata bahwa persatuan umat islam secara global belumlah terwujud. Di sisi lain, momen persatuan yang tampak begitu indah ketika idul adha melalui aktivitas ibadah Haji di tanah suci seringkali hanya bersifat sementara. Jutaan umat islam dari berbagai negara dan latar belakang yang berbeda, memang berkumpul untuk tujuan ibadah yang sama dan mencerminkan semangat ukhuwah yang luar biasa.

Namun sayangnya, setelah momen itu berlalu umat kembali tercerai – berai. Bahkan tidak jarang kembali terjadi permusuhan di antara sesama muslim akibat dari konflik kepentingan dan fanatisme kelompok. Dalam kondisi ini, penderitaan dan ketidakadilan yang menimpa saudara seiman yang terjadi di berbagai penjuru dunia sering kali terlupakan.

Sebagaimana yang terjadi di Palestina, Uyghur, Rohingnya, dan lainnya. Padahal penderitaan yang menimpa mereka seharusnya menjadi perhatian dan tanggung jawab bersama sebagai bagian dari ukhuwah Islamiyah.

Mungkinkah Umat Akan Kembali Bersatu? 

Persatuan sejati umat islam tidak akan benar – benar terwujud jika hanya melalui seruan moral atau momentum ibadah taunan semata, melainkan membutuhkan institusi politik Islam Global yakni Khilafah yang mampu menyatukan umat dalam satu kepemimpinan yang sama, satu system hukum yang sama dan satu tujuan hidup yang sama yaitu berdasarkan syariat Islam. Sehingga, umat tidak lagi tercerai – berai oleh batas – batas negara, kepentingan nasional ataupun ideology buatan manusia yang bertentangan dengan nilai – nilai Islam.

Idul Adha, bukan hanya sebuah momentum perayaan spiritual tetapi juga merupakan momentum untuk meneladani ketaatan nabi Ibrahim As dan nabi Ismail As kepada Allaah Subahanu wa ta’ala. Keteladanan nabi Ibrahim As tercermin tatkala beliau dengan ikhlas dan bersegera dalam melaksanakan perintah Allaah subhanahu wa ta’la untuk menyembelih putranya Ismail As. Sekalipun perintah itu sangat berat, namun beliau tetap taat.

Padahal, Ismail As adalah anak yang telah lama dinanti dan baru di karuniakan pada saat Ibrahim As beranjak pada usia tua. Betapa besar ujian ini, namun Ibrahim As tetap mendahulukan ketaatan kepada Allaah subhanahu wa ta’ala.

Peristiwa ini mengajarkan kepada kita betapa pentingnya kepatuhan total terhadap perintah-Nya. Ketaatan yang di lakukan tanpa memilah – milah, menimbang perasaan, apalagi menimbang kepentingan duniawi. Seluruh perintah dari Allaah adalah wajib disambut oleh setiap umat islam dengan kepatuhan dan ketaatan tanpa ragu “Sami’na wa Atho’na” (kami mendengar dan kami taat). Sebagaimana yang tertuang di dalam QS. An – Nur ayat 51 ;

“Hanya ucapan orang – orang mukmin, yang apabila mereka di ajak kepada Allaah dan Rasul-Nya agar Rasul memutuskan (perkara) di antara mereka, mereka berkata “kami mendengar dan kami taat”. Dan mereka itulah orang – orang yang beruntung”

Idul Adha, seharusnya menjadi inspirasi bagi umat islam untuk menerapkan syariat Islam secara menyeluruh, bukan hanya dalam konteks individual, moral atau ritual semata. Namun juga ekonomi, politik, pendidikan, social, budaya, hingga negara. Ketaatan totalitas inilah yang tentu telah diperintahkan oleh Allaah subhanahu wa ta’ala, seperti dalam firman-Nya ;

“Wahai orang – orang yang beriman, masuklah kedalam islam secara Kaffah (menyeluruh) dan janganlah ikuti langkah – langkah setan! sesungguhnya dia adalah musuh yang nyata bagimu” (TQS. Al – Baqarah : 208)

Oleh karena itu setiap muslim memiliki kewajiban untuk menerapkan syariat Islam secara menyeluruh dalam kehidupan. Islam tidak memisahkan urusan agama dari aspek politik, ekonomi, maupun pemerintahan, atau yang di sebut dengan Sekulerisme.

Penegakan Khilafah dan upaya untuk mewujudkannya, merupakan bentuk ketaatan kepada Allaah subhanahu wa ta’ala. Melalui Khilafah ‘ala minhaj an – nubuwwah syariat islam dapat di terapkan secara sempurna dan menyeluruh. Sebab penerapan islam secara total, tidak dapat di lepaskan dari keberadaan institusi negara yang menjalankan syariat secara menyeluruh.

Oleh karena itu kaum muslimin tidak boleh mengabaikan kewajibannya dalam memperjuangkan kembali di terapkannya syariat Islam Kaffah dibawah institusi Khilafah.

Wallahu’alambishawab