-->

Sekulerisme Hancurkan Moral Generasi

Oleh : Dinda Kusuma W T

Modernisasi memiliki dampak yang sangat intens dalam kehidupan masyarakat dunia, termasuk Indonesia. Namun, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi ternyata berbanding terbalik dengan peningkatan moralitas. Faktanya, jaman semakin maju namun moral generasi semakin rusak dan hancur. Baru-baru ini, publik dikejutkan oleh keberadaan komunitas atau grup-grup di dunia maya yang menamakan diri sebagai komunitas “Fantasi Sedarah.” Grup di salah satu platform media sosial terbesar di dunia tersebut secara terang-terangan membincangkan “kedekatan” dalam keluarga dengan cara yang tentu saja jauh dari nilai kekeluargaan yang sehat, berbagai cerita tak masuk akal dan sangat meresahkan. Mirisnya lagi, tidak sedikit anggotanya adalah anak-anak dibawah umur. Saat ini, pihak Polda Metro Jaya telah menangkap beberapa tersangka dan menetapkan anak yang berada di bawah umur sebagai Anak Berkonflik dengan Hukum (ABH) (tempo.com, 29/052025).

Jelas berita ini membuat gempar publik. Masyarakat terbelalak heran, sejak kapan relasi darah menjadi objek rekreasi syahwat? Keluarga yang semestinya menjadi ruang pertama dan utama dalam menanamkan nilai, justru menjadi korban dari runtuhnya struktur sosial. Hubungan suci antara suami dan istri, peran keayahan dan keibuan, serta kedekatan antara saudara kandung, perlahan berubah menjadi sekadar hubungan biologis. Makin hari, makna keluarga sebagai institusi pembentuk peradaban makin memudar. Dunia digital pun menjadi saksi, betapa fitrah manusia dicemari oleh fantasi yang bahkan tak sanggup dinalar oleh akal sehat, apalagi dibenarkan oleh nilai agama. Realitas semacam ini bukanlah sekadar kelalaian individu semata, melainkan gejala sosial yang mencerminkan rusaknya pondasi masyarakat.

Kengerian grup fantasi sedarah ini sebenarnya hanya sebagian kecil dari seluruh fakta tentang rusaknya moral masyarakat akibat kehidupan sekuler. Kehidupan yang membuang jauh aturan agama, khususnya islam. Agama hanya dijadikan ritual ruhiyah dirumah atau di masjid-masjid saja. Sedang dalam kehidupan sehari-hari semua bebas tanpa batas atas nama hak asasi manusia. 

Di sisi lain, keberadaan negara yang seharusnya menjadi pelindung masyarakat nyaris tak terasa. Alih-alih tampil sebagai garda terdepan dalam membendung gelombang penyimpangan sosial, negara justru terkesan nyaman duduk di bangku penonton, seolah cukup puas dengan menertibkan kasus demi kasus yang viral yang tidak jarang justru membuat hal-hal semacam ini bisa berulang dan kian massif.

Tentu kita tak berharap bahwa negara turun tangan mengawasi layar ponsel setiap warga. Namun, negara mempunyai tanggung jawab struktural untuk mengatur arah pendidikan, mengontrol arus budaya, dan membentengi masyarakat dari paparan nilai-nilai negatif globalisasi. Sayangnya, dalam sistem yang lebih sibuk melayani investor daripada menjaga moral publik, harapan semacam itu tampaknya terlalu utopis. Negara telah memutus urusan publik dari agama. Hal itu menjadikan negara buta terhadap realitas kerusakan yang lahir dari kebebasan yang didewakan.

Berbeda dengan anggapan sebagian pihak bahwa agama cukup disimpan rapi di ruang ibadah atau dalam hati yang tulus, Islam justru datang membawa solusi hidup yang menyeluruh, termasuk bagaimana membangun keluarga, mendidik masyarakat, hingga mengatur negara. Dalam sejarahnya, sistem Islam (Khilafah) pernah membuktikan diri sebagai institusi yang mampu menjaga fitrah manusia dan memberikan kesejahteraan yang hakiki. Selaras dengan pemikiran manusia yang bijaksana, islam sangat menentang pergaulan bebas, penyimpangan seksual, dan semua perilaku yang mengarahkan manusia kepada perilaku hewani.

Dalam islam, keluarga bukan hanya sekadar urusan pribadi, melainkan unit sosial yang dijaga, didukung, dan diperkuat oleh negara. Media dikontrol agar tidak menjadi agen kerusakan. Pendidikan diarahkan untuk membentuk insan yang berkepribadian Islam. Hukum ditegakkan tanpa pandang bulu, bukan hanya menindak yang viral, tetapi untuk mencegah kehancuran sejak dari akarnya.

Masyarakat yang paham seharusnya segera mengambil langkah untuk mengembalikan peran negara sebagaimana mestinya. Kita tidak bisa berharap pada sistem yang terus-menerus membiarkan moral tumbang demi laba, atau membiarkan syahwat merajalela atas nama kebebasan. Sudah saatnya kita berhenti bersikap seperti penonton di tengah reruntuhan keluarga dan peradaban. Karena, jika kita tidak segera mengambil peran, maka anak-cucu kita kelak akan mewarisi dunia yang lebih buruk dari hari ini, dan mendapati puing-puing dari peradaban yang sombong karena menolak aturan Allah SWT. 
Wallahu a’lam Bishsawab.