-->

Premanisme, Demokrasi, dan Fakta Dibaliknya

Oleh : Ghooziyah

Benarkah demokrasi menjamin ketertiban dan keadilan, atau justru melahirkan wajah-wajah baru premanisme yang dilegalkan sistem?

Realita Premanisme dalam Demokrasi

Di tengah hingar bingar kehidupan demokrasi, masyarakat terus disuguhi fakta menyakitkan bahwa premanisme tidak pernah benar-benar hilang. Dari jalanan hingga parlemen, dari terminal hingga proyek infrastruktur, aroma kekuasaan yang dibarengi intimidasi kerap muncul. Ironisnya, ini semua berlangsung dalam sistem yang disebut “paling menjamin kebebasan dan hak rakyat”.

Premanisme kini tidak hanya tampil dengan celana sobek dan tato di lengan. Ia telah bertransformasi: bersetelan jas, duduk di balik meja pengambilan keputusan, bahkan berlindung di balik partai politik. Dalam demokrasi, kekuasaan sering kali diperoleh dan dipertahankan dengan logika mayoritas, uang, dan pengaruh. Maka, mereka yang kuat modal dan jaringan, meskipun berperilaku seperti preman, akan tetap dilindungi oleh sistem.

Di banyak daerah, kekuatan informal seperti ormas-ormas “pengaman” proyek seringkali mendapat restu kekuasaan. Mereka menagih “jatah keamanan”, memungut liar, bahkan menggunakan kekerasan, sementara aparat hanya diam atau malah ikut menikmati hasil. Publik tahu, tapi tak bisa berbuat banyak. Premanisme sudah menjadi bagian dari sistem.

Demokrasi Melanggengkan Oligarki dan Kekuasaan Berbasis Uang

Demokrasi dalam praktiknya membuka jalan lebar bagi kekuatan uang untuk mendikte arah kebijakan. Dalam kontestasi pemilu, suara bisa dibeli, pendapat bisa dipesan, dan hukum bisa dibengkokkan. Premanisme bukan lagi sekadar urusan jalanan, tapi juga bagian dari perebutan kekuasaan.

Proses demokrasi yang seharusnya menjadi ajang adu gagasan berubah menjadi kontestasi kekuatan modal. Politisi yang “kuat” bukan yang paling jujur, tapi yang paling mampu mengatur jaringan dan menyuap massa. Tak jarang, kelompok preman jalanan dipelihara untuk kepentingan politik praktis—mengintimidasi lawan, mengamankan kampanye, bahkan memanipulasi suara.

Sementara itu, rakyat yang tidak memiliki akses kekuasaan atau kekayaan hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Mereka menjadi objek janji-janji politik yang hampa, sekaligus korban kekuasaan yang dipenuhi kompromi dengan para penguasa bayangan.

Islam Melawan Premanisme dengan Keadilan dan Kekuatan Negara

Islam memandang bahwa keamanan adalah hak publik yang wajib dijamin oleh negara. Premanisme dalam bentuk apa pun, baik yang berbaju ormas, partai, maupun kelompok kekerasan jalanan, merupakan bentuk pelanggaran hukum syariat. Negara Islam (Khilafah) tidak akan membiarkan kelompok manapun melakukan intimidasi, pemalakan, atau kekerasan atas nama kekuasaan.

Dalam Islam, hukum ditegakkan tanpa pandang bulu. Khalifah Umar bin Khattab mencontohkan ini ketika memecat pejabatnya hanya karena ada laporan ketidakadilan. Islam tak mengenal kekuasaan berdasarkan modal atau mayoritas suara. Seorang pemimpin dalam Islam dipilih bukan karena uang atau suara terbanyak, melainkan karena kelayakan dan amanahnya menjalankan syariat.

Islam juga menolak sistem partai dan kontestasi politik berbasis kekuasaan dan kepentingan. Tidak ada kampanye bermodal besar, tidak ada pencitraan kosong, apalagi penguasaan politik oleh para pemilik modal. Semua bentuk kekuatan diatur agar tunduk pada hukum syariat, bukan hawa nafsu manusia atau tekanan massa.

Khilafah: Pemutus Rantai Premanisme

Premanisme tumbuh subur karena negara lemah dan hukum bisa dibeli. Maka, solusi bukan sekadar menertibkan “preman jalanan”, tapi menghentikan sistem yang melahirkan preman berbaju kekuasaan. Khilafah hadir dengan seperangkat aturan yang tidak bisa dinegosiasikan oleh para penguasa atau kelompok kuat.

Negara dalam sistem Khilafah adalah penjaga keamanan, pelindung rakyat, dan pelaksana hukum Allah. Ia tidak membiarkan sekelompok orang menguasai ruang publik, memungut uang, atau menyebar ketakutan. Islam memberikan sanksi tegas bagi setiap bentuk perusakan keamanan dan kezaliman.

Bukan hanya aparat yang tegas, namun masyarakat juga dibina agar memiliki kesadaran hukum syariah. Ketika masyarakat taat kepada Allah, kekerasan dan kezaliman akan musnah dari akarnya.

Penutup

Demokrasi bukan sistem netral. Ia membuka ruang bagi lahirnya bentuk-bentuk baru dari premanisme, dari jalanan hingga gedung parlemen. Premanisme ini dilegalkan lewat hukum buatan manusia, dibiarkan atas nama kebebasan, dan dijaga oleh kekuasaan yang kompromi.

Islam memberikan jalan yang pasti dan adil untuk menghapus premanisme dari akar. Bukan dengan kompromi, tapi dengan kekuatan negara yang dibangun atas dasar wahyu. Bukan dengan janji politik, tapi dengan penerapan syariat secara kaffah. Karena hanya dengan sistem Islam, keamanan dan keadilan dapat ditegakkan tanpa jual beli kepentingan.

Wallahu a'lam