-->

Raja Ampat, Surga yang Dicaplok Kapitalisme, Bukan Dinikmati Rakyatnya


Oleh : Selvi Sri Wahyuni M.Pd

Raja Ampat gugusan pulau bak surga di ujung timur Indonesia dikenal dunia sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi. Lautnya menyimpan ribuan spesies, pasirnya putih bersih, dan perairannya sebening cermin. Namun sayangnya, di balik keindahan itu, Raja Ampat adalah potret luka dari negeri kaya yang miskin kedaulatan.

Alih-alih menjadi milik rakyat dan dinikmati sepenuhnya oleh bangsa sendiri, Raja Ampat justru menjadi rebutan para pemodal. Kapitalisasi pariwisata atas nama “ekowisata berkelanjutan” hanyalah topeng. Faktanya, wilayah adat dirampas secara halus, rakyat digeser dari pusat ekonomi, dan tanah ulayat terancam dijual dalam diam kepada investor asing.

Ketika rakyat setempat masih berkutat dengan akses pendidikan dan fasilitas kesehatan dasar, para turis asing berenang di antara karang, menyelam bersama biota laut langka, dan menginap di resort mewah bertarif jutaan rupiah per malam. Siapa yang untung? Bukan masyarakat adat. Bukan rakyat kecil. Tapi segelintir elite dan korporasi yang menjadikan Raja Ampat sebagai “sapi perah” investasi global.

Liberalisasi Sumber Daya dan Dosa Sistem Sekuler

Ironisnya, semua ini dilegalkan oleh sistem sekuler yang diterapkan negara hari ini. Undang-undang dibuat bukan untuk melindungi aset umat, tapi untuk mengakomodasi kepentingan pasar. Prinsip "siapa mampu bayar, dia berkuasa" menjadi ruh dari liberalisasi pariwisata.

Tanah, laut, dan kekayaan alam yang sejatinya adalah milik umat dilepas ke pasar bebas dengan dalih investasi. Bahkan, wilayah-wilayah strategis dan sakral seperti Papua, Maluku, hingga Raja Ampat pun menjadi komoditas, bukan lagi amanah. Inilah akibat dari diterapkannya sistem kapitalisme yang menafikan peran agama dalam pengelolaan negara.

Islam Kaffah: Sistem Penjaga Amanah Alam

Dalam pandangan Islam, kekayaan alam seperti laut, hutan, tambang, dan wilayah publik adalah milik umum (milkiyyah 'ammah). Negara bertugas mengelola, bukan menjual, dan hasilnya dikembalikan sepenuhnya untuk kemaslahatan rakyat. Rasulullah Saw bersabda:

"Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.”
(HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Artinya, laut Raja Ampat dan seluruh kekayaan yang terkandung di dalamnya bukan hak privat dan tak boleh dijual atau dikelola oleh swasta apalagi asing. Islam tidak mengenal prinsip investor menguasai wilayah demi keuntungan. Sebaliknya, dalam sistem Khilafah Islamiyah, negara hanya berperan sebagai pengelola (ra‘in), bukan pemilik.

Selain itu, dalam Islam, pembangunan pariwisata tidak akan mengabaikan kedaulatan rakyat lokal. Pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan mereka menjadi prioritas utama sebelum membangun infrastruktur mewah untuk orang asing. Bahkan, peraturan syariah menjamin keadilan ekologis tanpa harus mengorbankan masyarakat adat.

Raja Ampat Butuh Perlindungan Ideologis, Bukan Kosmetik Ekonomi

Solusi dari kerusakan struktural di Raja Ampat bukanlah sekadar moratorium tambang, sertifikasi wisata hijau, atau pelatihan UMKM untuk warga lokal. Itu semua tambal sulam. Masalah mendasarnya adalah sistem kufur kapitalisme yang menjadikan tanah dan laut sebagai komoditas, bukan amanah dari Allah.

Karena itu, solusi sejati adalah perubahan sistemik menuju Islam kaffah. Bukan sekadar mengganti pejabat atau memperbaiki regulasi, tapi membangun sistem pemerintahan yang menjadikan syariat Islam sebagai asas dalam mengelola sumber daya alam. Sistem yang tidak hanya melindungi alam, tapi juga memuliakan rakyatnya sebagai tuan di negeri sendiri.

Raja Ampat bukan hanya tentang keindahan yang dipromosikan, tapi tentang kedaulatan yang dirampas. Jika negeri ini tak segera bangkit dari tidur panjang dan terus tunduk pada logika kapitalisme, maka satu per satu surga di negeri ini akan hilang dijual, dikuras, dan diserahkan kepada penjajah gaya baru. Saatnya kembali kepada sistem Islam. Karena hanya dengan Islam kaffah, bumi ini dijaga sebagaimana mestinya: sebagai amanah, bukan komoditas.