-->

RAJA AMPAT HANYA KOMODITAS BAGI KAPITALISME


Oleh : Lia Asani

Raja Ampat dijuluki salah satu surga yang ada dibumi, keindahan alamnya yang asri serta ekosistem bawah laut yang terjaga membuat namanya tersohor dikancah internasional sebagai tempat yang paling ingin dikunjungi.

Namun tidak berlaku bagi penguasa yang hanya menganggapnya sebagai komoditas belaka, bumi yang kaya akan sumber daya alamnya itu terancam akan dieksploitasi, kehancuran dan kerusakannya sudah berada didepan mata.

Belum satu tahun sejak kasus dibukanya keran ekspor pasir laut, kini penguasa resmi melegalkan perusakan alam lainnya demi keuntungan korporasi. Tambang nikel di kawasan raja ampat adalah bukti bahwa kerusakan lingkungan dan kesejahteraan rakyat bukanlah prioritas.

Padahal Allah sudah memperingatkan kita sebagai manusia untuk tidak merusak alam atau mencemari lingkungan apalagi untuk memenuhi nafsu keserakahan. "Dan janganlah kalian membuat kerusakan dimuka bumi setelah (Allah) memperbaikinya" (QS. Al-A'raf:56). 

Ciri khas dalam sistem kapitalisme, sumber daya alam hanyalah komoditas, negara akan memfasilitasi bagi korporasi yang memiliki modal, termasuk pemodal asing. Tentunya, ini akan sangat membahayakan bagi keberlangsungan lingkungan dan hak rakyat yang seharusnya menjadi tanggungannya.

Dari kasus pendahulunya, yakni freeport seharusnya umat bisa menilai bagaimana negara ini dijalankan, bahwa kasus seperti eksploitasi sumber daya alam yang merusak lingkungan serta merugikan rakyat hanya efek sistemik yang akan terus terjadi selama sistem yang rusak ini masih dipertahankan.

Lantas bagaimana sistem islam mengatur pengelolaan sumber daya alam?

Sumber daya alam yang sangat vital dan sensitif sehingga harus sangat hati-hati ketika mengambil manfaat darinya seperti tambang, hutan, laut atau yang bersumber dalam perut bumi seperti mineral dan batubara adalah kepemilikan umum.

Kepemilikan umum artinya tidak untuk dikuasai oleh individu atau korporasi. Seperti yang Rasulullah sabdakan; "Kaum muslimin berserikat dalam tiga perkara: air, api dan padang gembalaan" (HR. Abu Daud dan Ahmad). 

Dalam sistem Islam ketika memanfaatkan sumber daya alam, akan memandang dari aspek manfaat demi kemaslahatan umat, yakni hasil dari sumber daya alam tersebut akan kembali ke umat bukan pengusaha swasta apalagi pengusaha asing.

Pemanfaatan sumber daya alam juga tidak hanya dinilai dari aspek keekonomian saja, namun juga dampak lingkungan serta sustainabilitas. Semisal potensi sumber daya alam sangat besar namun kerusakannya juga besar, maka sustainabilitas akan berkurang. Menjaga sustainabilitas dengan keekonomian kemungkinan aspek lingkungannya yang akan dikorbankan.

Maka, ketika sistem Islam diterapkan, aturan syariat menjadi tolak ukur dalam setiap elemen kehidupan, maka kita berharap akan lahir para pemikir, cendekiawan dan ilmuwan Islam yang mampu mencari titik temu antara nexus ekonomi, menjaga lingkungan dan sustainabilitas sehingga dapat membawa banyak manfaat serta keberkahan untuk umat manusia dimasa depan. Allahumma aamiin.