-->

Gizi Rakyat Buruk, Kapitalisme Menghadirkan Solusi Semu

Oleh : Ghooziyah

Kemiskinan struktural, mahalnya pangan bergizi, dan solusi tambal sulam menyingkap wajah asli sistem kapitalisme.

Potret Buram Gizi Rakyat

Kualitas gizi masyarakat Indonesia menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Data Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) 2022 mencatat prevalensi stunting sebesar 21,6%. Angka ini memang menurun dibanding tahun sebelumnya, tetapi masih jauh dari ambang batas ideal menurut WHO. Selain itu, masalah gizi buruk, kurang energi kronik, anemia, hingga obesitas pada anak dan dewasa menjadi potret kontradiktif yang mengindikasikan kegagalan sistemik.

Persoalan gizi bukan semata tentang ketersediaan makanan, tetapi lebih pada akses, keterjangkauan, dan ketimpangan ekonomi. Rakyat miskin, terutama di pelosok negeri, sulit memperoleh pangan bergizi karena harganya mahal. Di sisi lain, makanan murah yang tersedia justru minim nutrisi dan berisiko jangka panjang bagi kesehatan. Ini menjelaskan mengapa malnutrisi dan obesitas bisa hadir bersamaan: kualitas pangan buruk menyasar semua kelas sosial dengan cara berbeda.

Program bantuan pangan dan makanan tambahan untuk anak dan ibu hamil terus digelontorkan, tapi dampaknya sangat terbatas. Selama akar masalahnya tidak disentuh, semua upaya ini hanya menjadi solusi tambal sulam yang tidak menyelesaikan persoalan secara menyeluruh.

Kapitalisme: Sistem Penyebab Gizi Buruk

Masalah gizi bukan berdiri sendiri, melainkan buah dari sistem ekonomi kapitalistik yang menjadikan kebutuhan dasar seperti makanan sebagai komoditas. Dalam logika kapitalisme, pangan bukan hak rakyat, tetapi peluang bisnis. Maka tak heran, harga pangan bergizi selalu lebih mahal daripada makanan olahan rendah gizi namun menguntungkan secara ekonomi.

Industri makanan didorong untuk memproduksi sebanyak mungkin makanan cepat saji dan kemasan karena biaya produksinya murah, masa simpan panjang, dan margin keuntungannya besar. Akibatnya, makanan sehat seperti sayur organik, daging berkualitas, atau buah-buahan menjadi barang mewah yang tak terjangkau oleh keluarga kelas bawah.

Lebih dari itu, kebijakan pangan nasional tidak pernah berpihak pada kedaulatan pangan. Negara membuka keran impor besar-besaran dan memberikan ruang kepada korporasi besar untuk mengendalikan distribusi hingga penetapan harga. Petani dan nelayan lokal semakin terpinggirkan, sementara konsumen dihadapkan pada pilihan terbatas dan harga tinggi. Negara yang seharusnya menjamin ketersediaan dan keterjangkauan pangan malah bersikap sebagai fasilitator pasar bebas.

Dengan pendekatan kapitalistik ini, tidak mengherankan jika gizi buruk menjadi masalah kronis. Program bantuan hanya diberikan kepada mereka yang terdata miskin ekstrem, padahal problem gizi menjangkau spektrum yang lebih luas. Sementara itu, solusi permanen seperti reformasi sistem pangan, penghapusan komodifikasi makanan, atau distribusi gizi yang merata tak pernah menjadi prioritas.

Solusi Semu dalam Bingkai Kapitalisme

Beberapa program yang diklaim sebagai upaya memperbaiki gizi seperti bantuan makanan gratis di sekolah, program pemberian makanan tambahan (PMT), hingga kampanye isi piringku, sejatinya tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan dalam program-program ini, sering kali kualitas makanan yang diberikan rendah dan tidak sesuai standar nutrisi yang seharusnya.

Masalah gizi kemudian direduksi menjadi tanggung jawab individu: masyarakat diajak untuk "lebih bijak memilih makanan", "rajin makan sayur dan buah", atau "meningkatkan literasi gizi". Padahal, tanpa dukungan ekonomi yang memadai, saran ini hanya menjadi retorika kosong bagi rakyat yang sekadar bisa membeli makanan seadanya.

Kapitalisme juga menyuburkan industri suplemen dan makanan bayi berbasis formula. Di satu sisi, masyarakat miskin tidak mampu membeli makanan bergizi, di sisi lain mereka dibombardir iklan produk pengganti yang harganya tidak terjangkau. Gizi rakyat menjadi lahan bisnis, bukan amanah yang harus dijamin negara.

Islam Menjamin Gizi sebagai Hak Asasi

Islam memandang bahwa pemenuhan kebutuhan dasar, termasuk makanan bergizi, adalah kewajiban negara atas rakyat. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Imam (khalifah) adalah pemelihara dan dia bertanggung jawab atas rakyatnya." (HR. Bukhari-Muslim)

Negara Islam (Khilafah) memandang bahwa setiap individu wajib dipenuhi kebutuhan pokoknya: sandang, pangan, dan papan. Dalam sistem ini, negara akan memastikan seluruh rakyatnya bisa mengakses makanan bergizi dengan harga terjangkau atau bahkan gratis jika diperlukan.
Islam melarang komodifikasi atas hal-hal yang menjadi kebutuhan vital rakyat. Oleh karena itu, sistem distribusi pangan tidak diserahkan kepada mekanisme pasar bebas, tetapi diatur langsung oleh negara. Negara mengelola sumber daya pangan, menjamin harga stabil, melindungi petani dan produsen lokal, serta menghapus peran kartel dan korporasi rakus.

Dalam Khilafah, sektor pertanian dan pangan mendapatkan perhatian besar. Negara akan menyediakan lahan bagi petani, memberikan subsidi input pertanian, dan memastikan hasil panen diserap dengan harga yang adil. Ini semua dilakukan untuk menjamin ketersediaan pangan yang merata dan berkualitas, bukan untuk kepentingan bisnis.

Selain itu, Islam memiliki sistem zakat, infaq, dan sedekah yang terintegrasi dengan sistem pemerintahan. Jika ada kelompok masyarakat yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya, negara akan memberikan bantuan langsung yang bersifat menyeluruh, bukan tambal sulam. Bantuan bukan berdasarkan kategori miskin ekstrem versi statistik manipulatif, tapi benar-benar berdasarkan realitas hidup masyarakat.

Penutup

Buruknya gizi rakyat adalah cerminan dari rusaknya sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini gagal memenuhi kebutuhan pokok rakyat, bahkan menjadikannya sebagai komoditas yang hanya bisa diakses oleh mereka yang mampu. Program-program bantuan yang ditawarkan hanyalah solusi semu yang tidak menyentuh akar persoalan.

Islam menawarkan solusi hakiki, menjadikan pangan sebagai hak rakyat yang dijamin negara. Dengan penerapan syariah secara kaffah dalam bingkai Khilafah, sistem pangan akan direformasi secara mendasar. Negara akan memastikan rakyat mendapatkan makanan bergizi dengan mudah, murah, dan merata. Inilah sistem yang bukan hanya adil secara teori, tapi telah terbukti dalam sejarah sebagai peradaban yang menyejahterakan.

Wallahu a'lam