Pendidikan Gratis, Janji Konstitusi yang Sulit Diwujudkan
Oleh : Ardi Juanda, Praktisi SDM
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) baru-baru ini yang mewajibkan pemerintah menjamin pendidikan dasar gratis di sekolah negeri maupun swasta, menimbulkan secercah harapan di tengah realitas pendidikan berbayar yang masih membelit jutaan keluarga. Akankah keputusan ini benar-benar terwujud, atau hanya sekadar janji konstitusi yang sulit dipenuhi dalam sistem kapitalisme yang melanggengkan komersialisasi pendidikan?
Putusan terbaru Mahkamah Konstitusi (MK) tentang pendidikan gratis telah menarik perhatian publik. MK menegaskan bahwa pemerintah pusat dan daerah memiliki kewajiban untuk menjamin pendidikan dasar gratis, tidak hanya di sekolah negeri tetapi juga di sekolah swasta yang dikelola oleh masyarakat. Keputusan ini muncul sebagai respons terhadap gugatan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dan berbagai pihak lain yang menyoroti ketimpangan akses serta pembiayaan pendidikan dasar di Indonesia—beban yang telah lama menjadi tantangan bagi jutaan keluarga.
Secara hukum, putusan MK ini mengoreksi pasal dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang sebelumnya hanya menegaskan pendidikan gratis di sekolah negeri. Namun, dalam kenyataannya, berbagai pungutan tetap harus ditanggung masyarakat, baik di sekolah negeri maupun swasta. Sekolah swasta, yang minim subsidi dari negara, masih bergantung pada iuran peserta didik sebagai sumber utama pendanaannya.
Putusan MK memang memperkuat posisi masyarakat sebagai pemegang hak atas pendidikan gratis. Namun, sistem pendidikan nasional masih beroperasi dalam kerangka berbasis biaya dan layanan. Dalam praktiknya, pendidikan lebih sering diperlakukan sebagai komoditas dalam mekanisme pasar ketimbang sebagai hak dasar yang dijamin sepenuhnya oleh negara.
Kapitalisme dan Komersialisasi Pendidikan
Keputusan MK bisa saja diartikan sebagai pengakuan negara bahwa pendidikan adalah hak dasar. Namun, dalam sistem kapitalisme yang berlaku saat ini, pendidikan sering kali dipandang dalam dua dimensi, sebagai layanan publik esensial yang penyelenggaraannya bergantung pada kemampuan fiskal pemerintah untuk memastikan pemerataan akses dan sebagai komoditas atau investasi individu di sektor swasta yang didorong oleh prinsip pasar. Pemerintah pusat maupun daerah secara terbuka menyatakan bahwa pelaksanaan putusan MK ini masih perlu dikaji berdasarkan kapasitas anggaran yang tersedia.
Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar, apakah pendidikan merupakan tanggung jawab mutlak negara, atau hanya sebatas proyek layanan publik yang disesuaikan dengan ketersediaan anggaran? Dalam sistem politik sekuler-liberal, kebijakan negara lebih sering didasarkan pada asas manfaat dan efisiensi, bukan pada akidah atau ideologi yang kuat. Negara hanya turun tangan ketika mekanisme pasar dianggap gagal, sehingga banyak layanan publik—termasuk pendidikan—dibiarkan menjadi tanggung jawab masyarakat. Pada akhirnya, rakyat tetap harus bergulat dengan beban biaya pendidikan.
Dalam perspektif Islam, praktik seperti ini menunjukkan kelalaian negara terhadap amanah kekuasaan. Rasulullah SAW bersabda, “Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan ia bertanggung jawab atas urusan mereka.” (HR Bukhari dan Muslim). Pemimpin yang gagal menjamin pemenuhan hak dasar rakyat, termasuk pendidikan, akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah SWT.
Pendidikan sebagai Kewajiban Negara
Islam memandang pendidikan sebagai kebutuhan pokok masyarakat dan kewajiban negara. Dalam sistem Islam, pendidikan tidak boleh dikomersialkan, melainkan harus diselenggarakan secara gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat tanpa diskriminasi. Baik sekolah negeri maupun swasta beroperasi dalam sistem yang menjamin pendidikan gratis bagi semua warga.
Kurikulum pendidikan dalam Islam berorientasi pada pembentukan kepribadian Islami, pemahaman tsaqafah Islamiyah, serta penyediaan sarana dan prasarana yang mencakup tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Sekolah swasta tetap diperbolehkan, tetapi hanya sebagai pelengkap, bukan sebagai pengganti peran negara.
Pendanaan pendidikan dalam Islam berasal dari berbagai sumber utama berupa pertama,
fai’ dan ghanimah, yaitu harta yang diperoleh dari musuh tanpa atau dengan peperangan;
kedua, kepemilikan umum, seperti pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam (tambang, laut, dan energi); ketiga zakat, yang dikelola untuk delapan golongan (ashnaf), termasuk kaum miskin agar mereka tetap dapat mengakses pendidikan; keempat, kharaj dan jizyah yaitu pemasukan dari tanah pertanian sebagai bagian ghanimah serta pemasukan khusus yang diambil dari warga non-Muslim yang berada dalam perlindungan negara Islam.
Dengan sistem ini, pendidikan tidak hanya gratis, tetapi juga berkualitas dan merata, karena dijalankan dalam kerangka akidah Islam. Kebijakan pendidikan tidak sekadar bertujuan memenuhi target politik, efisiensi pasar, atau tekanan sosial sesaat.
Dari Janji Konstitusi ke Kepastian Syariah
Putusan MK memang memberi harapan dalam konteks demokrasi sekuler. Namun, selama kapitalisme tetap menjadi fondasi negara, pendidikan akan terus menjadi komoditas serta janji konstitusi yang sulit diwujudkan. Islam tidak hanya mengamanahkan pemimpin untuk menjamin pendidikan, tetapi juga menyediakan sistem pemerintahan dan tata kelola keuangan yang dapat merealisasikannya secara nyata dan menyeluruh.
Pertanyaan utamanya kini bukan apakah sistem saat ini cukup baik, tetapi apakah umat siap beralih ke sistem yang menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai prioritas, bukan sekadar angka dalam statistik anggaran. Saatnya umat Islam memahami bahwa solusi sejati bagi pendidikan gratis dan berkualitas tidak sekadar revisi pasal undang-undang, melainkan transformasi sistemik menuju penerapan Islam secara menyeluruh dalam naungan Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW: “Kemudian akan ada Khilafah yang mengikuti metode kenabian...”
(HR Ahmad).[]
Posting Komentar