NEGARA LALAI, ATASI KISRUH HAJI
Oleh : Kanti Rahayu (Aliansi Penulis Rindu Islam)
Penyelenggaraan haji tahun 2025 mengalami kekacauan. Begitulah judul yang tertera dalam sebuah media. Pernyataan ini tidak berlebihan sebab banyak sekali bukti di lapangan yang memperlihatkan masalah dalam pelaksanaan ibadah haji.
Penyelenggaraan ibadah haji pada tahun 2025 kembali menarik perhatian publik. Tim Pengawas Haji DPR telah mengidentifikasi berbagai isu penting yang memerlukan evaluasi mendalam untuk perbaikan di masa depan. Situasi ini menimbulkan kekhawatiran yang signifikan mengenai kenyamanan dan keamanan bagi jemaah asal Indonesia. Anggota Tim Pengawas Haji DPR, Habiburokhman, mengungkapkan berbagai keluhan yang telah dikumpulkan, termasuk jemaah yang tidak mendapatkan tempat tinggal yang layak, terpisahnya anggota keluarga inti, kurangnya transportasi bus, keterlambatan dalam penyaluran makanan dan tidak memenuhi setandar makanan . "Penyelenggaraan haji bagi jemaah Indonesia pada tahun 2025 perlu mendapatkan evaluasi yang menyeluruh. Sebagai tim pengawas, kami menemukan banyak masalah dalam penyelenggaraan haji tahun ini," ujar Habiburokhman pada hari Minggu, 8 Juni 2025, dilansir dari Memoindonesia. co. id – 9 Juni 2025.
Kekacauan dalam penyelenggaraan haji tahun ini tentu tidak terlepas dari tanggung jawab negara dalam mengelola pelaksanaan ibadah. Semua organisasi yang mengatur rombongan haji berada di bawah pengawasan pemerintah. Banyak aspek yang tidak ditangani dengan baik sehingga timbul berbagai persoalan. Segala hal negatif ini jelas akan mengganggu dan mengurangi fokus para jamaah dalam menjalankan ibadah mereka. Situasi seperti ini seharusnya tidak terus-menerus terjadi setiap tahun.
Pemerintah seharusnya telah mempersiapkan diri dan memiliki solusi untuk mengatasi masalah yang tidak diinginkan. Adanya kebijakan baru dari pemerintah Saudi dikritik sebagai penyebab dari kekacauan ini. Namun sebenarnya, bukan hanya karena kebijakan baru dari pemerintah Saudi, melainkan berbagai masalah ini juga berkaitan dengan pengelolaan haji di Indonesia. Jadi, masalah yang ada bukan hanya sekedar teknis, tetapi juga bersifat paradigmatik. Setiap tahun, jamaah haji Indonesia selalu menghadapi berbagai kendala. Bahkan, sering kali masalah yang dihadapi juga masih sama.
Semua ini berawal dari komersialisasi ibadah haji dan hilangnya tanggung jawab negara dalam masalah ini. Pengelolaan ibadah haji dalam sistem kapitalis tentu berfokus pada keuntungan dan manfaat semata. Jika ingin mendapatkan pelayanan yang lebih memadai, maka jamaah harus membayar lebih dari biaya haji reguler. Sangat disayangkan jika ibadah dalam sistem kapitalis ini berubah menjadi bisnis yang mengutamakan untung dan rugi.
Sudah seharusnya pelaksanaan ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam yang kelima ini dipermudah bagi para jamaah saat beribadah. Penyediaan fasilitas yang dibutuhkan selama menjalani ibadah haji, seperti tempat menginap, tenda, dan berbagai kebutuhan saat berada di Armuzna, layanan transportasi, konsumsi, dan lain-lain sangat penting. Semua ini menjadi tanggung jawab negara untuk mempermudah rakyatnya melaksanakan rukun Islam yang kelima. Terlebih lagi, dalam pandangan Islam, penguasa diibaratkan sebagai raain (pengurus) yang harus mengurus semua kepentingan rakyat dengan baik, termasuk yang berkaitan dengan pelaksanaan ibadah.
Di dalam agama Islam, pelaksanaan haji bukan hanya sekadar urusan administratif dan teknis, melainkan juga memiliki dasar keimanan dan ketakwaan. Haji adalah salah satu rukun Islam yang kelima yang diwajibkan bagi setiap Muslim yang mampu melakukannya.
Penyelenggaraan ibadah haji seharusnya memberikan kemudahan bagi jemaah dalam melaksanakan ibadah serta menyediakan fasilitas selama mereka menjalankan haji, seperti tempat tidur, tenda, dan berbagai perlengkapan di Armuzna, transportasi, makanan, dan lain-lain. Semua hal ini menjadi tugas negara, karena dalam ajaran Islam, pemimpin diibaratkan sebagai raa’in yang berkewajiban untuk mengurus semua urusan rakyat dengan baik, termasuk dalam pelaksanaan haji.
Siapa pun yang pertama kali tiba di suatu lokasi di Mina dan menghuninya, maka tempat itu menjadi haknya, karena Mina adalah kawasan bersama di antara umat Islam, bukan hak individu. Dengan terbatasnya area di Armuzna dan tingginya semangat umat Islam untuk menunaikan ibadah haji, maka perlu dilakukan pembatasan jumlah jemaah haji. Pembatasan ini bertujuan untuk menjaga keselamatan dan kenyamanan para jemaah, tanpa ada maksud untuk meraih keuntungan finansial.
Khilafah akan menciptakan sistem yang optimal, tata birokrasi yang efisien, dan layanan berkualitas tinggi untuk para jemaah Allah. Fokus utama negara dalam menyediakan fasilitas haji adalah kesejahteraan masyarakat, bukan laba finansial. Dengan demikian, ibadah haji tidak dapat diperdagangkan dalam sistem Islam. Bahkan jika pengelolaan haji diserahkan kepada pihak berwenang di Haramain, tetap saja harus berada di bawah pengawasan dan pengaturan negara Islam, yaitu Khilafah, yang meliputi seluruh wilayah negara-negara muslim. Ini dikarenakan jangkauan Khilafah mencakup semua negeri muslim di seluruh dunia, termasuk Makkah dan Madinah.
Khalifah akan memberikan instruksi kepada wali (gubernur) di kedua kota tersebut untuk mengatur pelaksanaan ibadah haji dan memberikan pelayanan terbaik kepada para tamu Allah Taala. Khalifah akan melibatkan sejumlah petugas agar tidak ada jemaah yang terabaikan. Mereka akan menjalani pelatihan yang memadai agar dapat melayani jemaah dengan cara yang profesional. Khalifah akan ikut serta dalam rombongan haji dan memastikan bahwa seluruh kebutuhan mereka selama ibadah terpenuhi dengan baik. Apabila khalifah tidak dapat ikut haji karena alasan syar’i, seperti tengah menjalankan jihad fi sabilillah, ia akan menunjuk seorang pejabat, seperti muawin (asisten khalifah), untuk mewakilinya dalam mengatur urusan haji.
Ketika melaksanakan ibadah haji, khalifah tidak hanya terlibat dalam aktivitas keagamaan, tetapi juga menjalankan peran politik, seperti bertemu dengan masyarakat dan menerima keluhan serta masukan (muhasabah). Selain itu, khalifah juga akan menanyakan kepada para jemaah mengenai kondisi para wali yang telah ia tunjuk.
menugaskan sejumlah pemuka agama untuk menjadi sumber bagi umat dalam meminta nasihat dan mengajukan pertanyaan terkait ajaran agama. Dengan adanya pemimpin di antara jemaah, persoalan yang mungkin timbul dalam proses penyelenggaraan haji akan segera diselesaikan dan tidak akan menyebabkan kekecewaan pada jemaah atau bahkan membahayakan keselamatan mereka. Untuk mendukung pelaksanaan haji, Khilafah akan membangun berbagai fasilitas yang diperlukan oleh jemaah. Contohnya adalah jalan, jembatan, pelabuhan, bandara, dan lainnya. Khilafah juga akan menyediakan berbagai moda transportasi seperti pesawat, kereta, bus, kapal, dan lain-lain, sehingga jemaah dapat diangkut ke lokasi ibadah, seperti kawasan Armuzna, tanpa ada yang terabaikan.
Layanan yang maksimal ini hanya bisa terwujud jika keuangan negara berada dalam kondisi yang kuat. Hal ini akan tercapai ketika negara Khilafah menerapkan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter berdasarkan ajaran Islam yang akan membuat harta baitulmal melimpah dari berbagai sumber pendapatan yang sangat besar dan banyak sumbernya. Harta baitulmal diperoleh dari fai, kharaj, jizyah, khumus, usyur, dan aset umum seperti tambang, hutan, laut, sungai, gunung, dan lain-lain. Semua pendapatan tersebut akan digunakan demi kebaikan umat Islam, termasuk untuk pelaksanaan ibadah haji. Besarnya penerimaan pasti akan terjadi karena seluruh negara yang berpenduduk Muslim akan bersatu di bawah satu kepemimpinan, yakni Khilafah, sehingga potensi yang ada juga akan terintegrasi.
Posting Komentar