-->

Layakkah Menghormati Negara Pengusung Islamophobia?


Oleh : Cutiyanti, Anggota Komunitas Muslimah Menulis (KMM) Depok

Prancis merupakan salah satu negara dengan tegas menerapkan islamophobia. Menurut peneliti Ilmu politik di pusat penelitian ilmiah nasional (CHSR) Julien Talpin mengatakan masa Presiden Emanuel Macron adalah masa suram bagi Muslim Prancis dengan penerapan undang-undang sparatisme pada musim panas 2021. Undang-undang ini disebut oleh sebagian kritikus ada ketidakadilan di dalamnya karena hanya mengasingkan komunitas Muslim dan membatasi kebebasan beragama. Undang-undang ini pertama kali diperkenalkan setelah pembunuhan mengerikan terhadap Samuel Paty, seorang guru yang di penggal oleh seorang pengungsi muslim Rusia berusia 18 tahun setelah dia menunjukan kartunside Charli Hebdo yang menggambarkan Nabi Muhammad SAW pada muridnya. (Sindonews, 13/3/24).

Jika dilihat latar belakangnya, Emanuel Macron sangat anti dengan Islam dan jelas-jelas memusuhi Islam dan kaum Muslimin. Namun, anehnya, ketika datang ke Indonesia yang notabene mayoritas beragama Islam, sambutan hangat dan meriah dilakukan Presiden RI, Prabowo Subianto saat kedatangan kepala Negara Prancis Emmanuel Macron di Borobudur. Pertemuan tersebut bukan sekadar simbolis, tapi mencerminkan dua fokus utama dalam hubungan bilateral Indonesia-Prancis, untuk penguatan kerja sama pertahanan dan diplomasi kebudayaan (Metro TV, 29/5/2025).

Oleh karena itu, layakkah menghormati negara yang jelas-jelas pengusung islamophobia? Jelas sekali tidak layak. Itu semua sangatlah bertolak belakang dengan harapan masyarakat Indonesia yang mayoritas Muslim agar negaranya bisa mandiri dan tidak bergantung pada negara barat apalagi yang memusuhi Islam dan anti Islam. Apalagi Prancis banyak membuat kebijakan yang mengarah kepada islamofhobia dan ini perlu menjadi perhatian seluruh kaum Muslimin. Contohnya, bagi seorang Muslimah mendapatkan perlakuan tidak manusiawi saat menjalankan kewajibanya untuk memakai hijab dan kasus kartun yang menghina Nabi Muhammad, sangat jelas bagaimana Prancis menerapkan islamophobia.

Seharusnya ada sikap tegas dan menunjukan pembelaan atas kemuliaan agama ditunjukan oleh pemimpin Muslim, salah satunya dengan membatasi segala ketergantugan ataupun kerja sama yang hanya menguntungkan secara materi, terlebih sebagai negara dengan umat Islam yang jumlahnya mayoritas. Namun dalam sistem sekuler kapitalisme, hubungan negara dilihat berdasarkan manfaat semata, mengadakan kerja sama pun karena banyak keuntungan baik secara materi maupun lainnya. 

Padahal dalam Islam, yakni darul Islam (negara Islam), ketika hendak mengadakan kerja sama dengan negara kafir (darul kufur) ada aturannya yang sangat tegas. Tidak boleh dan dilarang melakukan kerja sama dengan negara kafir harbi atau penjajah yang memusuhi Islam dan kaum Muslimin seperti halnya Prancis. Namun, boleh kerja sama dengan kafir dzimmi yakni kafir yang tunduk dan patuh terhadap aturan Islam dengan syarat membayar jizyah. 

Namun, saat ini negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah belum tegak kembali. Aturan yang dibuat pun sesuai dengan keinginan manusia sebagai pembuat hukum. Yang pasti aturannya banyak yang tidak sesuai dengan aturan Islam, dan sering merugikan Islam dan kaum Muslimin. Maka, umat Islam seharusnya memiliki negara yang kuat dan berpengaruh dalam konstelasi hubungan negara di dunia agar Islam dan kaum Muslimin tidak bisa lecehkan. Sebagaimana pernah terjadi dulu, negara Islam bisa menguasai hampir sepertiga belahan dunia selama 13 abad. Dengan sistem Islam, bangsa Barat tidak bisa berbuat semena-mena dan negara Islam memiliki batas dan ketegasan terhadap mereka. 

Maka, umat Islam harus berjuang kembali untuk mewujudkan negara yakni Khilafah Islam yang menjadi negara adidaya dan disegani negara lain. Islam akan menjaga negara dari hegemoni barat dengan kekuatan fisik dan keimanan yang kuat. []