Layakkah Macron Dihormati?
Oleh : Sri Azzah Labibah. Spd.
Pengamat hubungan internasional Hikmahanto Juwana menilai kunjungan Presiden Prancis Emmanuel Macron ke Indonesia, khususnya ke Akademi Militer (Akmil) Magelang dan Candi Borobudur, bukan sekadar simbolis. Menurutnya, kunjungan ini mencerminkan dua fokus utama dalam hubungan bilateral Indonesia–Prancis, penguatan kerja sama pertahanan dan diplomasi kebudayaan. Di Akmil, kata Hikmahanto, Macron ingin lebih memahami kualitas sumber daya manusia militer Indonesia, terutama di matra darat, sebagai bagian dari upaya memperdalam kerja sama di bidang pertahanan. Kehadiran Macron bersama Presiden Prabowo Subianto juga dinilai sebagai bentuk keyakinan Prancis terhadap potensi Indonesia sebagai mitra strategis, termasuk dalam pengembangan industri alutsista. (MetroTV,29-5-2025)
Selain itu menurut Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman, Macron membawa misi kerja sama bilateral, khususnya pada sektor ketahanan pangan dan pertanian. Dia mengungkapkan, pihaknya telah menandatangani declaration of intent (DOI) dengan Menteri Ekonomi, keuangan, dan Kedaulatan Industri dan Digital Prancis, Eric Lombard. Amran juga menyebut Indonesia berminat untuk mengimpor sapi atau produk susu dari Prancis. Sebagai imbal balik, ia menekankan pentingnya Prancis membuka pintu untuk ekspor crude palm oil (CPO) dari Indonesia.
Maksud kunjungan Macron ini dilakukan dalam rangka memperingati 75 tahun hubungan diplomatik Indonesia-Prancis dan menjadi lawatan resmi pertamanya sejak Presiden Prabowo Subianto menjabat. Kerja sama yang disepakati tidak hanya sebatas impor-ekspor. Beberapa poin penting meliputi, pertukaran teknologi pertanian, peningkatan kapasitas SDM dan pelatihan petani, modernisasi alat dan infrastruktur pertanian, dan riset bersama untuk varietas tahan iklim ekstrem. (Beritasatu.com, 30-5-2025).
Kedatangan kepala negara yang banyak membuat kebijakan islamophobia yang disambut dengan hangat perlu menjadi perhatian. Pengamat politik Fatma Sunardi mengingatkan kaum muslim tentang kedatangan Presiden Prancis Emmanuel Macron di Indonesia. “Praktik sekularisme di Prancis terasa radikal dan memunculkan persoalan integrasi komunitas-komunitas imigran, khususnya dengan latar belakang negeri-negeri Islam. Sekularisme yang berkelindan dengan xenofobia, faktanya telah melahirkan islamofobia yang menyulut konflik horizontal,” paparnya kepada MNews, Ahad (1-6-2025).
Kita sebagai kaum muslimin tidak boleh lupa akan negara-negara yang kebijakannya memusuhi Islam dan umatnya. Perancis adalah contoh negara yang sering membuat kebijakan yang menguatkan islamophobia, seperti pelarangan hijab, kasus kartun yg menghina Nabi saw, dll. Sikap tegas dan menunjukkan pembelaan atas kemuliaan agama seharusnya ditunjukkan oleh pemimpin negeri muslim, terlebih sebagai negara dengan umat islam yang jumlahnya mayoritas. Namun dalam sistem sekular kapitalisme, di mana hubungan negara dilihat berdasarkan manfaat, maka abai atas sikap suatu negara terhadap islam.
Kedatangan Macron ke Indonesia menguatkan penjajahan pemikiran Barat. Kerja sama kebudayaan dengan Indonesia harus dipandang sebagai upaya Prancis menyebarkan pemikiran yang lahir dari kapitalis. Kerja sama ini di domain teknis, bicara teknologi dan keilmuan, tetapi dibalut dengan nilai dan pemikiran Prancis, yakni nilai-nilai liberal dan pemikiran kapitalisme secara umum. Inilah yang kita sebut dengan hegemoni tsaqafah atau penjajahan pemikiran. Mengutip pendapat Syekh Taqiyyudin an-Nabhani dalam kitab Mafahim Siyasi, ia menyebutkan, politik luar negeri negara-negara yang memiliki ideologi adalah untuk mengemban fikrah (pemikiran) ideologi mereka. “Negara seperti Prancis dengan ideologi kapitalisme sangat jelas politik luar negerinya di dasarkan pada pemikiran bagaimana menyebarkan nilai dan pemikiran kapitalisme. Metode untuk meyebarkannya adalah dengan penjajahan (imperialisme)”.
Rasulullah menyampaikan dalam sebuah hadis riwayat Ahmad dan Ibnu Hibban, “Ikatan Islam akan terlepas satu demi satu. Setiap kali satu ikatan terlepas, manusia akan bergantung pada ikatan berikutnya. Yang pertama kali akan terlepas adalah hukum dan yang terakhir adalah shalat.”
Hal tersebut, tentu berdampak buruk terhadap umat Islam, yaitu semakin menguatnya hegemoni tsaqafah kapitalisme ke tubuh umat di Indonesia akan mengikis nilai dan ajaran islam. Bahkan, pengikisan itu akan berjalan cepat karena difasilitasi oleh negara melalui kebijakan dan program.
Islam memberikan tuntunan bagaimana bersikap terhadap orang yang memusuhi agama Allah. Apalagi jika banyak kebijakan yang menyengsarakan umat islam. Dalam Islam, negara-negara di dunia hanya dibagi dua, darul Islam dan darul kufur. Islam juga sudah menentukan tuntunan bersikap terhadap negara kafir sesuai posisi negara tersebut terhadap Daulah Islam. Tuntunan Islam ini seharusnya menjadi pedoman setiap muslim, terlebih penguasa. Apalagi di tengah penjajahan Palestina yang mendapat dukungan dari penguasa Barat. Sikap kita harus tegas dan keras terhadap mereka, bukan malah bersikap manis dan lembut. Inilah yang Allah Swt. nyatakan saat menggambarkan sikap Baginda Rasulullah saw. dan umat beliau, “Muhammad Rasulullah dan orang-orang yang bersama dengan ia itu bersikap keras terhadap kaum kafir dan berlemah lembut kepada sesama mereka (kaum muslim).” (QS Al-Fath [48]: 29).
Perancis terkategori sebagai kafir harbi fi’lan. Dengan demikian, sikap kaum muslim bahkan negara seharusnya memerangi bukan malah berpelukan erat dan menjalin kerjasama. Terhadap kafir harbi fi’lan (de facto), yaitu negara kafir yang kebijkannya sering merugikan Islam maka hukum bermuamalah dengan mereka adalah haram, baik hubungan dagang, hubungan diplomatik, dll. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani menjelaskan, “Adapun jika negara tersebut adalah negara kafir harbi fi’lan (seperti Israel, Perancis,AS,dll), tidak boleh berdagang dengan negara tersebut, baik barang dagangannya itu senjata, bahan makanan, maupun barang yang lainnya. Ini karena perdagangan dengan negara tersebut bisa memperkuat negara itu untuk terus bertahan melawan kaum muslim.” Dengan demikian, kerjasama diplomatik bilateral dengan negara tersebut merupakan bentuk pertolongan untuk melakukan dosa dan permusuhan. Ini jelas dilarang (An-Nabhani, An-Nizhâm al-Iqtishâdi fî al-Islâm, hlm. 300).
Contoh yang mashur tentang sikap tegas khalifah atas negara penjajah dan kebijakannya yang menghina Islam. Khalifah Abdul Hamid II akan menghentikan semua penghinaan itu, serta melindungi kehormatan Islam dan umatnya, terhadap Prancis dan Inggris yang hendak mementaskan drama karya Voltaire, yang menghina Nabi Muhammad SAW.
Umat islam seharusnya memiliki negara yang kuat dan berpengaruh dalam konstelasi hubungan negara-negara di dunia sebagaimana pernah diraih oleh Daulah islam dan kekhilafahan selanjutnya. Umat harus berjuang Kembali untuk mewujudlkan khilafah yang menjadi negara adidaya dan disegani negara-negara ini. Sungguh perjuangan penegakan Khilafah adalah perjuangan yang sangat mulia, sebagaimana posisinya sebagai tajul furudh ‘mahkota kewajiban’ dalam keseluruhan ajaran Islam. Terlebih Khilafah yang akan datang adalah Khilafah yang tegak di atas minhaj kenabian. Para pejuangnya disetarakan dengan generasi penegak Khilafah pada masa awal, sedangkan pahalanya dilipatgandakan hingga 50 kali pahala yang diperoleh para sahabat Rasulullah ﷺ. Wallahu a’lam bisshowab.
Posting Komentar