Fantasi Sedarah ada di Negara kapitalisme
Oleh : Sri Azzah Labibah SPd
Mencuatnya grup fanspage Fantasi Sedarah yang beranggotakan lebih dari 32 ribu orang cukup mengentak naluri kemanusiaan dan akal sehat kita. Bagaimana bisa ada segerombolan manusia yang bukan sekadar memiliki orientasi seksual menyimpang, tetapi juga berani membincangkan soal hobi menjijikkan, yakni memenuhi hasrat seksual kepada keluarga sedarah (inses), bahkan kepada balita yang menjadi darah dagingnya. Terbongkarnya fenomena ini menyusul kasus penangkapan pelaku pengiriman paket mayat bayi melalui jasa ojek online di Kota Medan. Pelakunya ternyata dua kakak beradik yang melakukan hubungan inses dan berakibat kehamilan tidak diinginkan.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) meminta polisi mengusut grup Facebook dengan nama “fantasi sedarah“. Sebab konten itu mengandung unsur eksploitasi seksual dan telah meresahkan masyarakat. (Republika.Co,Id,17-5-2025)
Ternyata bukan hanya grup-grup inses yang ditemukan di media sosial,Marak juga grup-grup amoral lainnya, mulai grup-grup pedofilia, eljibiti, hingga grup-grup swinger, yakni para peminat fantasi seksual yang dilakukan suami istri dengan cara saling bertukar pasangan. Kementerian Komunikasi dan Informatika telah mengambil tindakan tegas terhadap beberapa grup Facebook yang memposting konten pornografi yang bersifat incest, yang keberadaannya telah menimbulkan kemarahan publik. “Pemerintah telah menghubungi Meta dan platform Facebook,” kata Wakil Menteri Angga Raka. Meta telah merespons keluhan pemerintah dan menghapus akses ke enam grup Facebook yang mempromosikan konten serupa. (Antara, 16-5-2025)
Sungguh menjijikkan dan mengerikan fenomena inses di tengah masyarakat kita. Sangat jauh dari klaim sebagai negara religious. Gambaran keji ini menunjukkan adanya pengabaian terhadap aturan agama maupun masyarakat. Masyarakat hidup bebas tanpa aturan, demi kepuasan individu, bahkan laksana binatang. Keluarga telah rusak, bahkan sistem keluarga muslim sudah runtuh. Dengan terkuaknya grouping para penikmat inses tadi, menyusul penemuan grup-grup amoral lainnya di dunia maya, sejatinya tengah merefleksi apa yang terjadi di dunia nyata. Degradasi moral yang sedang terjadi di masyarakat kita sudah sedemikian parahnya.
Maraknya kerusakan moral yang merobohkan sendi-sendi bangunan keluarga dan masyarakat ini sejatinya bukan problem tunggal. Inilah buah penerapan sistem sekuler kapitalisme. Tanpa agama, maka yang berkuasa adalah hawa nafsu dan akal manusia yang lemah dan menyesatkan, rudak dan merusak. Bahkan sistem kapitalisme dengan liberalisasinya menjadikan rusaknya sendi-sendi kemuliaan manusia. Negara kadang justru meruntuhkan dan merusak keluarga melalui kebijakan yang dibuatnya. Negara lalai dalam menjaga sendi kehidupan keluarga.
Sebagaimana diketahui, meskipun terbebas dari penjajahan fisik dan militer, tapi bangsa ini terus digempur oleh serangan pemikiran dan budaya sekuler yang menjadikan kebebasan (liberalisme) sebagai ruh-nya. Gaya penjajahan jenis baru inilah sebabnya, meski penjajah sudah hengkang dari bumi Nusantara, gaya hidup buatan mereka tetap saja bercokol mengatur peri kehidupan kita. Identitas sebagai umat Islam pun tidak tampak dalam perilaku mereka. Akibatnya, bangsa ini tidak pernah berubah menjadi bangsa mandiri merdeka, melainkan tetap menjadi pengekor bagi negara-negara pengusung sistem kufur kapitalisme global, bahkan menjadi objek hegemoninya.
Tentu saja kehidupan ‘terjajah’ seperti ini sejatinya bukan habitat asli bagi kaum muslim. Saat belasan abad mereka hidup dalam sistem kepemimpinan Islam, yakni Khilafah, mereka justru tampil sebagai khairu ummah dengan peradabannya yang begitu mulia dan mencengangkan bagi bangsa-bangsa lainnya. Betapa tidak, kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh semua orang. Kehidupan masyarakat pun begitu sarat dengan hikmat dan kebaikan. Begitu pun dengan bangunan keluarga, tampak begitu kokoh penuh samawa sekaligus mampu berfungsi sebagai pabrik pencetak generasi cemerlang.
Islam adalah jalan hidup shahih, yang mengatur semua urusan manusia dan menjadikan rakyat sebagai pelaksana hukum syara. Islam mewajibkan negara untuk mengurus rakyat dalam semua aspek termasuk menjaga keutuhan keluarga dan norma-norma keluarga dalam sistem sosial sesuai dengan Islam. Sistem aturan yang diterapkan Islam oleh Khilafah benar-benar menawarkan kesejahteraan tanpa bandingan. Para khalifahnya pun benar-benar memfungsikan dirinya sebagai pengurus sekaligus benteng penjaga bagi rakyatnya. Di pihak lain, masyarakat melaksanakan fungsi amar makruf nahi mungkar yang dengannya hukum-hukum Islam yang berkeadilan tetap tegak di tengah mereka. Adapun para individunya, terasah dengan sistem pendidikan yang berbasis akidah Islam, hingga mereka berhasil tampil sebagai profil bersyahsiah Islam, sekaligus siap menjawab semua tantangan zaman dan menjalankan peran sebagai pengisi peradaban.
Dalam Islam, generasi adalah aset pembangun peradaban sehingga harus dibina, dijaga, dan dioptimalkan pemberdayaannya dengan baik. Islam mengingatkan agar tidak meninggalkan generasi yang lemah, sebagaimana termaktub dalam Al-Qur’an surah An-Nisa ayat 9 yang artinya, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”Perintah takwa untuk menjaga agar generasi tidak lemah diwujudkan dalam tiga pilar, yaitu individu/keluarga yang bertakwa, masyarakat yang bertakwa, dan negara yang bertakwa. Takwa dalam keluarga diwujudkan dengan kesadaran untuk menguasai ilmu-ilmu (tsaqafah) yang terkait dengan kehidupan sebagai panduan mengarungi hidup. Baik ilmu terkait dengan hubungan dirinya dengan Allah, hubungan dengan dirinya sendiri, maupun hubungan dengan sesama manusia. Tsaqafah ini akan menjadi bekal dalam pembentukan syakhshiyah Islam bagi anggota keluarga.
Islam menetapkan inses sebagai satu keharaman yang wajib dijauhi. Sistem sanksi yang tegas akan membuat jera yang lain dan menjadi penebus bagi pelakunya kesucian keluarga akan terjaga jika sistem Islam diterapkan. Dalam kitab Nizham al-Uqubat wa al-Ahkam al-Bayyinat fil Islam, Syekh Abdurrahman al-Maliki rahimahullah dalam bab “Pelanggaran terhadap Kehormatan” menjelaskan, ”Barang siapa membujuk dengan harta atau menjanjikan akan menikahi atau dengan bujukan yang lainnya, kemudian ia menggauli wanita seperti layaknya menggauli istrinya, serta melakukan perbuatan seperti halnya perbuatan yang dilakukan seorang suami terhadap istrinya—kecuali bersetubuh—maka akan dikenakan sanksi penjara sampai 4 tahun lamanya. Siapa saja yang melakukan hal tersebut dengan mahramnya, meski tanpa ada bujukan, maka akan dikenakan sanksi penjara sampai 10 tahun lamanya, ditambah dengan hukuman jilid dan diasingkan. Seorang wanita juga akan diberi sanksi serupa jika melakukan perbuatan tersebut dengan mahramnya. Barang siapa memerintahkan seorang wanita atau laki-laki untuk melakukan perkara-perkara yang melanggar adab atau memaksa keduanya untuk melakukan perbuatan cabul, merayu keduanya dengan kata-kata cabul, maka akan dikenakan sanksi penjara 6 bulan sampai 2 tahun.” Demikian juga negara akan mengawasi dan mengatur informasi serta konten digital untuk melindungi anak-anak dari konten negatif seperti pornografi dan kekerasan seksual. Pengawasan ini dilakukan di bawah kepemimpinan khalifah melalui departemen yang bertanggung jawab atas penerangan dan informasi.
Negara ideal seperti ini tentu harus segera kembali dihadirkan, sebelum individu, bangunan keluarga, dan masyarakat makin rusak bahkan hancur. Caranya adalah dengan masif menarasikan urgensi dan kewajiban menerapkan Islam, serta menarasikan keharaman dan dosa hidup berlama-lama dalam sistem kufur yang jauh dari hukum-hukum Islam. Sungguh, sistem kehidupan rusak yang sedang tegak sekarang sudah menampakkan kebobrokannya. Sebagian umat pun sudah merasakan dampak buruk yang menjauhkan mereka dari harapan beroleh hasanah hidup, baik di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, tidak ada alasan lagi bagi kita untuk menyerah pada keadaan. Sudah saatnya kita mengambil peran untuk terlibat dalam perubahan, baik sebagai bentuk pertanggungjawaban kepada Sang Pencipta alam maupun pada anak-cucu atau generasi mendatang. Wallahu a’lam bisshowab.
Posting Komentar