Kisruh Haji, Mana Tanggung Jawab Negara
Oleh : Yuniasri Lyanafitri
Lagi, penyelenggaraan ibadah haji lagi-lagi banyak mengalami masalah. Banyak ditemukan fasilitas-fasilitas yang kurang layak untuk jamaah haji. Bahkan terjadi kasus penolakan visa jamaah haji regular saat pemeriksaan imigrasi di bandara Jeddah. Padahal tidak ada pengajuan pembatalan oleh jamaah haji tersebut. (https://khazanah.republika.co.id/ 02/06/2025)
Kemudian pasukan keamanan haji Arab Saudi juga menangkap sejumlah orang termasuk WNI yang tidak memiliki ijin haji resmi di sejumlah pintu masuk Kota Makkah. Hal ini dilakukan setelah Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi mewajibkan setiap orang yang ingin memasuki Kota Makkah wajib memiliki izin haji resmi mulai 29 April hingga 10 Juni 2025. Terangnya untuk menjamin keamanan, keselamatan, dan kelancaran pelaksanaan ibadah haji. (https://www.beritasatu.com/ 07/06/2025)
Di sisi lain, anggota tim pengawas haji DPR, Adies Kadir berpendapat Kementerian Agama kurang melakukan antisipasi dan evaluasi dalam pelaksanaan ibadah haji 2025. Hal ini dinyatakan setelah meninjau situasi penyelenggaraan haji dan kondisi jamaah di lapangan. Misalnya, jamaah haji yang diusir dari tempat istirahat pada malam hari, jamaah yang tertinggal rombongan, transportasi yang terlambat, akibat perusahaan layanan haji Arab Saudi tidak memadai, hingga keterlambatan distribusi konsumsi. Petugas hajinya pun kurang siap dalam mengurusi jamaah haji. (https://www.tempo.co/ 08/06/2025)
Hal ini dibahas dalam rapat Timwas Haji DPR, Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH), serta sejumlah instansi terkait lainnya. Dalam rapat itu, Ketua Timwas Haji DPR sekaligus Wakil Ketua DPR, Cucun Ahmad Syamsurijal menyatakan bahwa temuan persoalan ibadah haji ini harus segera ditangani atau kondisi serupa akan terus terulang di musim haji mendatang. Karena penyelenggaraan ibadah haji adalah tugas nasional sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Jadi, sinergi antarkementerian dan lembaga harus terus diperkuat. (https://www.tempo.co/ 03/06/2025)
Kisruh penyelenggaraan haji tahun ini tentu tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab negara dalam mengurus ibadah. Ada banyak hal yang tidak diurus dengan baik sehingga muncul banyak kekacauan terutama saat maktab di Armuzna. Padahal ibadah haji benar-benar ibadah yang aktivitasnya menguras banyak tenaga. Namun, kenyataannya persoalan selalu berulang tiap tahunnya. Kenyamanan dalam beribadah belum tercipta secara maksimal.
Dalih pemerintah malah menyalahkan sana sini termasuk kebijakan baru pemerintah Arab Saudi. Padahal sudah menjadi pengertian bersama bahwa pemerintah Indonesia selalu mengalami masalah dalam kepengurusan apapun termasuk dalam ibadah haji tahun ini. seolah tidak pernah belajar dari pengalaman sebelumnya, persoalan yang ada terus menerus bermunculan. Padahal termasuk persoalan yang kecil dan cenderung untuk tidak terjadi kesalahan.
Hal ini menjadi bukti bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi tidak hanya terletak pada teknis tetapi juga tata aturan yang diberlakukan yang berasal dari paradigma manusia saat ini terutama para penguasanya. Asas yang digunakan dalam memahami sesuatu didasarkan pada manfaat yang diperoleh. Maka wajar semua fasilitas yang digunakan akan berbayar. Dan besar sedikitnya dana yang dikeluarkan akan mempengaruhi kualitas fasilitas tersebut. Sebagaimana pengurusan jamaah haji regular terkesan seadanya. Bahkan dikatakan kurang manusiawi.
Akhirnya negara terkesan berperan sebagai penjual yang menjajakan dagangannya kepada rakyatnya sendiri. Negara berlepas tangan jika terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak mengenakan. Seolah aktif meninjau untuk evaluasi tetapi faktanya hanya sekadar formalitas tanpa arti yang membekas.
Asas seperti ini dijunjung oleh sistem kapitalis demokrasi. Sistem yang menolak aturan agama untuk ikut campur dalam kepengurusan umat. Padahal sistem ini rusak dan akan melahap apapun untuk bertahan hidup. Sebagai contoh, negara hanya menganggap ibadah haji ini sebagai ibadah ritual yang dilakukan berulang. Bukan sebagai kewajiban untuk bersungguh-sungguh melayani umat dalam beribadah kepada Allah swt.
Sistem yang melahirkan penguasa serakah yang hanya memikirkan dirinya dan golongannya. Rela untuk menumbalkan umat demi keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dalam melayani urusan umat negara bersikap tak acuh dan sekadarnya. Hanya bersikap seolah telah bekerja mensejahterakan rakyat.
Berbeda dengan Islam. Islam menetapkan haji sebagai rukun islam, yang diwajibkan atas muslim yang mampu, baik dalam harta, fisik, dan kelengkapannya. Namun, dengan adanya khilafah, pasti akan dengan sepenuh hati mengusahakan agar para jamaah haji tidak terbebani terkait dana. Karena dalam khilafah memiliki Baitul Mal yang pendistribusiannya jelas. Hal ini menjadikan khilafah menjadi negara mandiri dan memiliki pengaruh untuk menentukan sikap.
Terlebih wilayah negeri-negeri kaum muslimin menjadi satu di bawah naungan khilafah yang menjadikannya mudah dalam setiap perjalanan. Tidak perlu repot mengurus visa dan surat-surat lainnya, selama memiliki kartu tanda penduduk daulah, maka diperbolehkan warga tersebut untuk berpergian. Apalagi perjalanan yang dilakukan merupakan rukun Islam yang pasti akan mendapat perhatian khusus dari negara, termasuk penyediaan sarana dan prasarana yang menunjang dalam ibadah haji.
Semua ini adalah salah satu bentuk tanggung jawab negara. Karena di dalam Islam penguasa adalah pengurus yang wajib mengurus semua urusan rakyat dengan baik termasuk dalam ibadah haji. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah saw yang artinya, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Negara akan menyiapkan mekanisme terbaik, birokrasi terbaik, dan layanan premium bagi para tamu Allah. Seandainya pengurusan diserahkan kepada Haramain pun, itu dalam pengarahan dan pengaturan Khilafah, yang menaungi semua wilayah negeri muslim.
Layanan paripurna ini memang hanya mungkin terjadi jika sistem keuangan negara kuat. Dan ini dimungkinkan ketika negara Khilafah menerapkan sistem ekonomi, keuangan, dan moneter Islam yang membuat harta Baitulmal negara akan melimpah ruah dari sumber-sumber pendapatan yang sangat besar dan beragam. Ini tersebab seluruh negeri muslim akan dipersatukan dalam satu kepemimpinan. Untuk itu, tidak ada keraguan lagi untuk becampakkan sistem kapitalis yang rusak dan beralih ke sistem Islam yang bersumber dari Yang Maha Benar, Allah swt.
Wallahu’alam bishshowwab
Posting Komentar