-->

KISRUH HAJI, BUTUH SOLUSI PASTI


Oleh : Erin Azzahroh (Aliansi Penulis Rindu Islam)

Kekacauan penyelenggaraan haji di negeri ini masih berlanjut. Di media sosial, ramai beredar keluhan akan penurunan pelayanan haji di Indonesia, negara dengan kuota haji terbesar. Hal ini disepakati oleh Anggota Tim Pengawas (Timwas) Haji DPR RI dari Fraksi PAN, Eko Hendro Purnomo. Kepada inilah.com (9/6/2025), Eko menyampaikan banyak masalah yang menjadi catatan serius bagi Timwas DPR. Baik dari perihal transportasi, konsumsi, tenda, hingga kurangnya petugas pendamping. Media juga ramai dengan kasus pembatalan visa dadakan. 

Adanya perubahan aturan oleh pemerintah Arab Saudi dalam ibadah haji tahun ini semakin menambah kerumitan. Umat Islam pun makin kesulitan menunaikan ibadah haji. Salah satunya kepemilikan kartu nusuk yang berfungsi sebagai tanda pengenal resmi untuk mendapatkan akses ke wilayah Mekkah dan Masjidil Haram.

Dalam pandangan khalayak, haji merupakan ibadah sakral yang langka, sebab hanya bisa dilakukan satu tahun sekali oleh jutaan umat muslim dari berbagai penjuru dunia. Hal seperti ini semestinya dikelola dengan sangat serius, sarat ketelitian, dan penuh tanggung jawab. Sayangnya yang terjadi justru kebalikannya. Carut-marut penyelenggaraan haji 2025 menambah deretan fakta bahwa pengurusan ibadah agung ini tidak ditangani secara serius oleh negara. Ini mencerminkan kelemahan perencanaan, koordinasi, dan eksekusi dari para pihak yang seharusnya bertanggung jawab. Baik dari negara asal jamaah maupun dari pihak penyelenggara di Arab Saudi. 

Negara sebagai pihak yang seharusnya menjamin kelancaran ibadah umat justru terkesan abai dan tidak sigap. Khususnya dalam menghadapi persoalan-persoalan teknis yang sudah seharusnya bisa diantisipasi. Alih-alih mengakui kekurangan, sebagian pihak malah menuding kebijakan baru dari pemerintah Arab Saudi sebagai penyebab utama kekacauan dalam penyelenggaraan haji tahun ini.

Padahal jika ditelusuri lebih dalam, akar permasalahan sebenarnya tidak hanya terletak pada aspek teknis atau sekedar perubahan aturan dari pihak luar. Yang paling mendasar justru mengenai paradigma pelaksanaan pengurusan haji di Indonesia. Selama ini, haji dipandang hanya sebagai urusan administratif. Padahal idealnya hal ini dimaknai sebagai kewajiban negara dalam melayani urusan agama rakyatnya secara menyeluruh. Karena itu, tidak heran jika kekacauan demi kekacauan terus berulang. Sebab faktanya sistem pengelolaan haji lebih mengedepankan aspek bisnis profit. Hal ini berujung pada birokrasi yang berbelit.

Pelayanan yang seharusnya menjadi amanah justru berubah menjadi beban. Semua kekisruhan yang terjadi dalam penyelenggaraan haji sejatinya berpangkal dari kapitalisasi ibadah haji. Kekacauan ini juga berasal dari lepasnya tanggung jawab negara dalam kepengurusannya sebagai bagian dari pelayanan kepada rakyat. Ibadah yang semestinya menjadi momen suci dan sarat kekhusyukan, justru terjerat dalam sistem komersialisasi. Alhasil biaya terus melonjak, pelayanan tidak sebanding, hingga muncul berbagai skema visa non reguler yang rawan penyalahgunaan oleh pihak-pihak tak bertanggung jawab. Lagi-lagi bertambah bukti yang menunjukkan bahwa sistem kapitalisme yang menguasai negeri ini ternyata benar-benar tidak layak mengatur urusan umat Islam.

Islam sendiri telah menetapkan ibadah haji sebagai salah satu rukun Islam. Haji wajib ditunaikan oleh setiap muslim yang memiliki kemampuan, baik secara fisik, finansial, maupun keamanan perjalanan. Sebagaimana firman Allah SWT dalam QS. Ali Imran ayat 87, "dan diantara kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah. Yaitu bagi orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana." 
Kewajiban berhaji bukan sekedar ritual individual, namun juga urusan publik. Diperlukan pengaturan sistemik dari negara. Dalam pandangan Islam, negara diposisikan sebagai ra'in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung). Maka sudah seharusnya penyelenggaraan ibadah haji diselenggarakan oleh negara. Dilaksanakan secara profesional, amanah, dan memudahkan umat dalam menjalankan ibadah.

Negara wajib hadir, juga aktif dalam mengurus tiap kebutuhan jamaah. Mulai dari proses administrasi, transportasi, akomodasi, kesehatan, hingga memastikan ketenangan spiritual jamaah selama menjalankan rukun Islam kelima ini. Penyelenggaraan haji yang dikelola dengan paradigma pelayanan, bukan komersialisasi, adalah bentuk nyata dari tanggung jawab negara dalam sistem Islam. 

Negara akan menyiapkan mekanisme terbaik birokrasi yang efisien serta layanan berkualitas bagi para tamu Allah sebagai bentuk pemuliaan terhadap ibadah haji. Terwujudnya layanan paripurna seperti demikian hanya bisa jika negara memiliki sistem keuangan yang kuat dan stabil. Sementara kekuatan dan kestabilan finansial hanya bisa terjadi jika negara menerapkan sistem ekonomi keuangan dan moneter Islam secara menyeluruh.

Dalam sistem Islam, pendapatan negara bersumber dari pos-pos yang sah dan berlimpah. Diantaranya pos kharaj, jizyah, fai', ghanimah, zakat, dan kepemilikan umum yang dikelola negara. Semuanya penghasilan ini masuk ke dalam baitul mal.

Kekokohan dalam mengayomi akan semakin besar karena seluruh negeri-negeri muslim disatukan dalam satu kepemimpinan tunggal, yakni Khilafah Islamiyah. Dengan kekuatan sistemik tersebut, negara memiliki kemampuan maksimal untuk menyelenggarakan haji dengan layanan terbaik. Tentu tanpa membebani rakyat, apalagi bergantung pada pihak swasta.

Wallahu a'lam bi ash-showwab.