-->

Kisruh Haji 2025, Di Mana Tanggung Jawab Negara?


Oleh : Linda Anisa

Kisruh penyelenggaraan ibadah haji tahun ini kembali membuka mata kita tentang betapa rapuhnya sistem pengurusan haji yang ada. Kasus-kasus seperti jemaah gagal berangkat karena visanya dibatalkan sepihak oleh pemerintah Saudi, atau jemaah yang terlantar dan bahkan ada yang dipulangkan hanya mengenakan ihram, sebagaimana dialami oleh Heri asal Indonesia (Republika, 2025), mencerminkan buruknya tata kelola ibadah yang seharusnya suci dan agung ini. Penangkapan WNI oleh otoritas Saudi karena membawa jemaah tanpa visa resmi juga memperjelas betapa kacaunya sistem regulasi dan pengawasan (BeritaSatu, 2025).

Kita tidak bisa hanya menyalahkan kebijakan baru Pemerintah Saudi sebagai biang keladi kekacauan haji tahun ini. Sebab akar persoalan sejatinya jauh lebih dalam yaitu menyangkut paradigma dan sistem pengelolaan ibadah oleh negara asal jemaah, termasuk Indonesia. Ibadah haji bukan sekadar perjalanan ke tanah suci, tetapi rangkaian ibadah yang penuh makna spiritual dan membutuhkan kesiapan logistik serta pelayanan yang menyeluruh. Sayangnya, ini tidak tercermin dalam pengelolaan yang terjadi saat ini.

Kita tidak bisa hanya menyalahkan kebijakan baru Pemerintah Saudi sebagai biang keladi kekacauan haji tahun ini. Sebab akar persoalan sejatinya jauh lebih dalam: menyangkut paradigma dan sistem pengelolaan ibadah oleh negara asal jemaah, termasuk Indonesia. Ibadah haji bukan sekadar perjalanan ke tanah suci, tetapi rangkaian ibadah yang penuh makna spiritual dan membutuhkan kesiapan logistik serta pelayanan yang menyeluruh. Sayangnya, ini tidak tercermin dalam pengelolaan yang terjadi saat ini.

Tim Pengawas Haji DPR telah menyampaikan berbagai temuan yang menunjukkan ketidaksiapan pemerintah Indonesia dalam menangani kebutuhan jemaah, khususnya dalam fase Armuzna (Arafah, Muzdalifah, dan Mina)—fase paling krusial yang menentukan sah atau tidaknya ibadah haji seseorang. Di sana ditemukan tenda yang terlalu sempit dan panas, fasilitas sanitasi yang tidak memadai, konsumsi yang datang terlambat hingga jemaah kelelahan dan kelaparan, serta transportasi yang semrawut dan sering kali tidak tersedia tepat waktu. Ini bukan hanya gangguan kenyamanan, tetapi bisa berdampak langsung pada kekhusyukan ibadah dan keselamatan jemaah. 

Masalah ini tidak cukup dijelaskan hanya dengan dalih kendala teknis atau kuota dari Sa udi. Justru yang tampak adalah kegagalan sistemik dalam pengelolaan ibadah yang seharusnya diurus sebagai tanggung jawab negara terhadap rakyatnya. Dalam sistem kapitalistik yang saat ini dominan, penyelenggaraan haji telah mengalami komersialisasi besar-besaran. Biaya yang tinggi tidak berbanding lurus dengan kualitas layanan. Proses pendaftaran sering berbelit, kuota antrean bisa mencapai puluhan tahun, dan pelayanan lapangan jauh dari kata profesional.

Dalam sistem ini, ibadah haji yang sejatinya suci dan penuh pengabdian kepada Allah justru diperlakukan seperti produk komersial. Negara, yang seharusnya bertindak sebagai pelayan umat dan penjamin terlaksananya ibadah secara aman dan nyaman, justru berperan seperti operator atau bahkan calo. Yang diutamakan bukan lagi kemaslahatan umat, tetapi pemasukan, efisiensi anggaran, dan kepentingan politik.
Sementara itu, umat Islam—para tamu Allah—harus menghadapi berbagai ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Mereka terpaksa mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya besar, namun tidak mendapatkan pelayanan yang sepadan. Ini mencerminkan abainya negara terhadap amanah besar dalam mengurus urusan umat, dan menunjukkan perlunya sistem alternatif yang benar-benar menjadikan ibadah sebagai prioritas, bukan sebagai komoditas.

Dalam sistem ini, ibadah haji yang sejatinya suci dan penuh pengabdian kepada Allah justru diperlakukan seperti produk komersial. Negara, yang seharusnya bertindak sebagai pelayan umat dan penjamin terlaksananya ibadah secara aman dan nyaman, justru berperan seperti operator atau bahkan calo. Yang diutamakan bukan lagi kemaslahatan umat, tetapi pemasukan, efisiensi anggaran, dan kepentingan politik.
Sementara itu, umat Islam—para tamu Allah—harus menghadapi berbagai ketidakpastian dan ketidaknyamanan. Mereka terpaksa mengorbankan waktu, tenaga, dan biaya besar, namun tidak mendapatkan pelayanan yang sepadan. Ini mencerminkan abainya negara terhadap amanah besar dalam mengurus urusan umat, dan menunjukkan perlunya sistem alternatif yang benar-benar menjadikan ibadah sebagai prioritas, bukan sebagai komoditas.

Padahal, dalam Islam, haji adalah ibadah yang diwajibkan atas setiap Muslim yang mampu. Negara seharusnya hadir sebagai ra’in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung), memastikan semua aspek penyelenggaraan berjalan dengan baik, dari pendaftaran hingga kepulangan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam adalah pemelihara dan penanggung jawab rakyatnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Negara Islam akan menyiapkan sistem birokrasi terbaik, logistik terbaik, dan layanan paripurna yang sebanding dengan kehormatan para tamu Allah. Bahkan seandainya pengurusan haji dikoordinasikan oleh otoritas Haramain di bawah pemerintahan pusat, maka itu dilakukan dalam bingkai satu negara Islam (Khilafah) yang menaungi seluruh negeri Muslim, bukan seperti saat ini yang terpecah-belah dalam batasan nasionalistik sempit.

Layanan paripurna ini hanya mungkin diwujudkan ketika sistem Islam diterapkan secara menyeluruh, termasuk sistem keuangan negara yang kokoh dengan Baitulmal sebagai pusat pengelolaan kekayaan umat. Pendapatan negara berasal dari berbagai sumber halal seperti fa’i, kharaj, jizyah, ghanimah, dan pengelolaan kekayaan umum. Dengan kekuatan finansial yang stabil dan sistem pemerintahan yang bersih, negara Khilafah akan mampu memfasilitasi ibadah haji dengan penuh kemuliaan—bukan hanya sebagai ritual tahunan, tetapi sebagai manifestasi pelayanan tertinggi kepada umat.

Sudah saatnya kita mempertanyakan, bukan hanya pelaksana teknis haji, tetapi juga sistem yang menaunginya. Sebab, jika sistemnya keliru, maka penderitaan jamaah akan terus berulang. Dan umat akan terus menjadi korban di tengah kapitalisasi ibadah dan abainya negara terhadap tanggung jawab syar'inya.

Wallahu a’lam bi ash sawab.