-->

Penambangan Nikel di Raja Ampat, Bukti Gagalnya Kapitalisme dalam Mengelola SDA


Oleh : Linda Anisa

Penambangan nikel di Raja Ampat kembali menjadi sorotan publik, tak hanya karena kerusakan lingkungan yang ditimbulkan, tetapi juga karena pelanggaran serius terhadap hukum dan prinsip-prinsip kelestarian alam. Raja Ampat, yang dikenal dunia sebagai salah satu wilayah dengan keanekaragaman hayati laut tertinggi (BBC Indonesia, 2024), kini justru terancam oleh aktivitas tambang yang mengatasnamakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah pun akhirnya menghentikan sementara operasi tambang tersebut menyusul tekanan publik dan temuan pelanggaran oleh Kementerian Lingkungan Hidup, yang menyatakan adanya kerusakan hutan, pencemaran, dan pelanggaran administratif oleh perusahaan tambang (Tirto.id, 2024; BeritaSatu, 2024).

Fakta ini mengungkap kelemahan mendasar dari sistem kapitalisme yang saat ini mengatur pengelolaan sumber daya alam (SDA). Kapitalisme menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama, sehingga segala sesuatu—termasuk alam dan kehidupan manusia—dapat dikorbankan demi akumulasi modal. Dalam sistem ini, pengusaha atau korporasi besar memiliki kekuatan yang sering kali melebihi hukum dan bahkan dapat memengaruhi kebijakan negara melalui lobi, tekanan politik, atau relasi ekonomi. Ketimpangan ini menjadikan hukum hanya formalitas, bukan alat pelindung rakyat dan lingkungan.

Bahkan ketika undang-undang tentang pelestarian lingkungan sudah ditetapkan, seperti Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, pelanggaran tetap marak terjadi. Hal ini karena dalam praktiknya, kepentingan ekonomi dan investasi jangka pendek lebih diutamakan daripada keberlanjutan lingkungan dan keselamatan generasi masa depan. Ketika SDA diperlakukan sebagai komoditas yang bisa diperjualbelikan secara bebas, maka kerusakan ekosistem, pencemaran, dan konflik sosial menjadi keniscayaan.
Sistem ini membuka celah bagi eksploitasi yang tidak bertanggung jawab, di mana kekayaan alam yang seharusnya dikelola untuk kepentingan umum justru menjadi ladang keuntungan segelintir elit. Rakyat di sekitar wilayah tambang kerap tidak mendapatkan manfaat apa pun, bahkan harus menanggung dampak kerusakan seperti kehilangan sumber air bersih, rusaknya tanah pertanian, hingga rusaknya ekosistem laut yang menjadi sumber utama penghidupan mereka. Inilah wajah nyata ketidakadilan struktural yang diciptakan oleh sistem ekonomi kapitalistik: kekayaan dinikmati oleh segelintir, sementara kerusakan dibebankan kepada masyarakat luas.

Berbeda dengan kapitalisme, Islam memiliki pandangan yang sangat jelas dalam mengelola sumber daya alam. Dalam Islam, SDA seperti tambang, air, dan energi adalah milik umum (milkiyah 'ammah) yang tidak boleh dikuasai oleh individu atau korporasi swasta. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara: air, padang rumput, dan api."
(HR. Abu Dawud, Ahmad, dan Ibnu Majah)
Hadis ini menunjukkan bahwa sumber daya strategis seperti air, energi, dan hasil tambang merupakan kepemilikan umum yang haram untuk diprivatisasi. Negara bertanggung jawab penuh untuk mengelolanya, dan hasilnya harus dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat dalam bentuk pelayanan publik, subsidi, atau fasilitas umum.

Pemimpin dalam Islam, sebagai ra'in (pengurus rakyat) dan junnah (pelindung), wajib menjalankan amanah ini dengan penuh tanggung jawab sesuai hukum syariat. Rasulullah ﷺ bersabda:
"Imam (pemimpin) adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab terhadap rakyatnya." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya alam dalam sistem Islam bukan hanya soal ekonomi, tetapi juga bentuk tanggung jawab syar'i untuk mewujudkan keadilan sosial dan menjaga kelestarian ciptaan Allah SWT.

Lebih dari itu, Islam juga mengenal konsep "hima", yaitu zona perlindungan lingkungan yang ditetapkan untuk menjaga keseimbangan ekosistem. Konsep ini menegaskan bahwa eksplorasi dan eksploitasi tidak boleh merusak habitat atau mencemari lingkungan hidup. Islam secara tegas mewajibkan menjaga keseimbangan lingkungan karena kerusakan alam akan berdampak langsung pada kehidupan manusia. Maka dari itu, syariat Islam tidak hanya menyentuh aspek hukum, tetapi juga etika dan tanggung jawab moral terhadap alam.
Sudah saatnya Indonesia, negeri yang kaya akan sumber daya alam, mengevaluasi model pengelolaan yang digunakan. Krisis ekologis di Raja Ampat adalah alarm bahwa sistem kapitalisme tidak mampu menjamin keadilan ekologis maupun kesejahteraan rakyat. Kembali kepada aturan Islam bukan sekadar alternatif, melainkan kebutuhan untuk memastikan pengelolaan SDA yang adil, berkelanjutan, dan berpihak pada rakyat serta lingkungan.

Wallahu a’lam bi ash sawab.