Ironi Nasib Guru di Tengah Pungutan Liar dan Ketidakadilan Sistemik
Oleh : Eli Ermawati (Pembelajar)
Profesi guru merupakan ujung tombak dalam mencerdaskan dan membangun peradaban bangsa. Namun alih-alih dimuliakan dan disejahterakan, nasib guru di negeri ini justru sering kali berada dalam ketidakpastian dan penderitaan struktural. Di balik tugas mulia mencetak generasi penerus, para guru justru kerap menjadi korban pungutan liar yang merampas hak mereka secara semena-mena. Realitas ini terus terulang, tanpa solusi hakiki yang mampu mengakhirinya.
Berdasarkan laporan dari Forum Pembela Honorer Indonesia (FPHI) Kabupaten Bekasi, praktik pungutan liar terhadap guru masih marak terjadi hingga saat ini. Para guru, baik dari kalangan Aparatur Sipil Negara (ASN) maupun Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), harus rela menerima pemotongan gaji dengan jumlah yang tidak sedikit. Nominal pungutan yang dialami bervariasi, mulai dari Rp10 ribu, Rp25 ribu, bahkan hingga Rp200 ribu per guru. Selain potongan dinas sebesar Rp25 ribu, guru-guru juga mengalami pemotongan saat pencairan Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) sebesar Rp50 ribu. Belum lagi potongan yang terjadi setiap kali sertifikasi pendidikan cair, di mana oknum-oknum tertentu memungut uang antara Rp200 ribu hingga Rp250 ribu setiap tiga bulan. (Radarbekasi.id, 19/6/2025)
Kabar mengejutkan juga datang dari Al Kareem Islamic School, sekolah swasta bergengsi di Bekasi, yang menambah daftar panjang persoalan dunia pendidikan. Sejumlah tenaga pendidik di sekolah tersebut mengaku mendapat perlakuan yang tidak layak. Mereka diperlakukan seperti asisten rumah tangga, tidak dihargai sebagai tenaga profesional, hingga akhirnya memutuskan mengundurkan diri secara massal. (Pojoksatu.id, 18/6/2025)
Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan di negeri ini masih jauh dari kata berpihak kepada guru. Ketika tenaga pendidik mengalami eksploitasi secara ekonomi dan psikologis, maka sejatinya kita sedang menghadapi krisis penghargaan terhadap profesi guru. Ini bukan sekadar persoalan oknum, tapi merupakan dampak dari sistemik yang lebih besar yaitu sistem kapitalisme sekulerisme yang hanya memandang guru sebagai alat produksi pengetahuan, bukan sebagai elemen utama dalam pembangunan peradaban.
Dalam sistem kapitalisme, orientasi utama negara dan lembaga pendidikan bukanlah kualitas generasi atau kesejahteraan guru, melainkan bagaimana menghasilkan keuntungan sebesar-besarnya. Guru seolah menjadi sapi perah yang harus bekerja keras, mengemban beban administratif dan pengajaran yang besar, namun tidak mendapat imbalan yang setimpal. Ketika tunjangan dan insentif pun masih dipotong, maka hilanglah kepercayaan dan motivasi di antara para pendidik. Negara yang seharusnya menjadi pelindung, justru tampil abai terhadap ketidakadilan yang mereka alami.
Ironi ini semakin terasa ketika kita menyadari bahwa profesi guru seharusnya mendapatkan tempat yang sangat mulia. Mereka bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, tetapi juga membentuk karakter, moral, dan kepribadian peserta didik. Namun penghargaan terhadap jasa guru seringkali tidak sebanding dengan kesejahteraan yang mereka terima. Lantas, sampai kapan guru harus terus menjadi korban dari sistem yang tidak adil ini?
Islam memberikan jawaban yang sangat jelas dan solutif. Dalam tatanan Islam, guru diangkat derajatnya sebagai tokoh penting dalam pembangunan umat.
Mereka dihargai bukan hanya dalam kata-kata, tetapi juga dalam tindakan nyata oleh negara dan masyarakat. Islam memandang bahwa guru adalah kunci penting dalam membentuk generasi yang bertakwa, berilmu, dan siap menjadi bagian dari peradaban yang agung. Oleh karena itu, negara dalam sistem Islam yakni Khilafah memastikan bahwa guru mendapatkan perhatian, penghormatan, dan kesejahteraan yang layak.
Sejarah Islam mencatat bahwa para guru mendapatkan perlakuan istimewa dari negara. Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab, tiga orang guru di Madinah yang mengajar anak-anak diberi gaji sebesar 15 dinar per bulan. Jika dikalkulasikan dengan harga emas saat ini (1 gram = Rp500.000), maka gaji mereka setara dengan Rp31.875.000 per bulan. Sebuah angka yang tidak hanya layak, tetapi juga mencerminkan penghormatan negara terhadap profesi pendidik.
Lebih dari itu, pada masa Shalahuddin al-Ayyubi, gaji guru di dua madrasah besar, yakni Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah, bahkan berkisar antara 11 hingga 40 dinar. Artinya, jika dikonversi ke dalam nilai rupiah hari ini, kisaran gaji guru saat itu antara Rp26 juta hingga Rp96 juta. Ini menjadi bukti nyata bahwa Islam memuliakan guru, bukan sebatas slogan, tapi diwujudkan dalam kebijakan yang berpihak pada mereka.
Kebijakan ini tidak muncul secara kebetulan, melainkan merupakan konsekuensi dari paradigma Islam yang menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan pokok umat. Dalam negara Islam, pendidikan bukanlah komoditas yang diperdagangkan atau dijadikan ladang bisnis. Pendidikan adalah tanggung jawab negara yang harus dipenuhi secara menyeluruh, termasuk dalam hal penyediaan tenaga pengajar yang berkualitas dan sejahtera.
Oleh karena itu, solusi tuntas terhadap persoalan pungli, ketidakadilan, dan ketidaklayakan gaji guru bukanlah sebatas penindakan terhadap oknum atau reformasi administratif semata. Solusi yang sejati terletak pada perubahan sistem secara mendasar, yakni kembali kepada sistem Islam yang kaffah dalam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan kesejahteraan para pendidik.
Masyarakat pun harus membuka mata bahwa selama sistem sekuler kapitalis tetap menjadi landasan kehidupan, ketimpangan terhadap guru akan terus terjadi dalam berbagai rupa. Maka saatnya kita mendorong hadirnya sistem Islam yang bukan hanya menjanjikan kesejahteraan, tetapi juga memberikan penghormatan dan perlindungan nyata kepada profesi guru. Karena hanya dalam sistem Islam, guru tidak hanya dihargai karena jasanya, tetapi juga dimuliakan karena perannya dalam membangun generasi dan peradaban.
Posting Komentar