Indonesia Darurat Narkoba, Generasi di Ujung Bahaya
Oleh : Arni Suwarni
Aktivis Dakwah
Peredaran dan penyalahgunaan narkoba yang kian masif, membuat Indonesia menghadapi ancaman serius yang menggerogoti masa depan bangsa. Negeri ini tak lagi sekadar menjadi jalur transit, melainkan telah berubah menjadi pasar potensial bagi sindikat narkotika internasional. Ironisnya, yang menjadi sasaran utama adalah generasi muda harapan bangsa yang seharusnya tumbuh dan berkembang dalam lingkungan yang sehat. Di balik gemerlap kemajuan teknologi dan arus globalisasi, tersembunyi ancaman gelap yang mengintai di setiap sudut kehidupan.
Penyalahgunaan narkoba masih menjadi masalah serius di Indonesia. Pada 16 Mei 2025, TNI AL berhasil menggagalkan penyelundupan 705 kg sabu dan 1,2 ton kokain di Selat Durian, Kepulauan Riau. Lima WNA asal Thailand dan Myanmar ditangkap dalam operasi ini. (antaranews.com 16/5/2025)
Selanjutnya, Direktorat Reserse Narkoba Polda Riau mengungkap penyelundupan 17,37 kg sabu dari luar negeri yang masuk ke Indonesia lewat wilayah Riau. Salah satu dari empat tersangka adalah napi berinisial MN yang diduga mengendalikan peredaran narkoba tersebut. (Pekanbaru, Kompas.com 17 Mei 2025)
BNN memperkirakan nilai transaksi narkoba di Indonesia menembus angka Rp524 triliun tiap tahunnya. Ini menjadi ancaman besar bagi masyarakat, khususnya generasi muda. (antaranews.com)
Data Pusiknas Polri mencatat kasus narkoba fluktuatif tiap bulan sepanjang 2024, dengan trend kenaikan lima tahun terakhir. Dari 31.358 kasus pada 2020, jumlahnya naik menjadi 53.672 hingga November 2024. BNN menyebut ada 3,33 juta penyalahguna narkotika di Indonesia. Ini adalah ancaman besar dan penanganannya perlu pendekatan menyeluruh, bukan setengah-setengah. (katadata.co.id)
Masuknya narkoba dalam jumlah besar ke Indonesia makin memperberat upaya pemberantasannya. Jika terus lolos, maka narkoba bisa tersebar luas dan merusak banyak orang. Ada beberapa faktor yang membuat pemberantasannya begitu sulit :
Pertama, narkoba menjadi bisnis yang menggiurkan seiring permintaannya yang semakin tinggi. Selama ada pasar, peredaran narkoba akan terus berlangsung seiring dengan bertambahnya pengguna, pengedar, dan bandar.
Kedua, gaya hidup sekular dan hedonis mendorong orang mengejar materi tanpa peduli caranya halal atau haram. Kebebasan ala liberalisme juga membuat narkoba dianggap jalan cepat meraih kesenangan dan materi. Dalam tekanan ekonomi dan hidup yang sulit, narkoba sering jadi jalan pintas. Bayaran besar, seperti Rp20 juta sekali antar, membuat banyak orang tergiur. Tak heran jika tiap tahun muncul pengguna dan pengedar baru dari berbagai latar belakang, termasuk pelajar, ibu rumah tangga, hingga publik figur.
Ketiga, penegakan hukum terkait narkoba masih lemah dan belum efektif. Meski Polri aktif membongkar kasus, hukuman bagi pelaku sering tidak memberi efek jera. Misalnya, banyak pengguna hanya direhabilitasi tanpa hukuman pidana, padahal mereka juga bagian dari kejahatan narkoba. Islam pun mengakui rehabilitasi, tapi tetap memberi sanksi pidana, berbeda dengan pendekatan hukum sekular saat ini.
Isu HAM juga kerap jadi sorotan, terutama soal hukuman mati. Aktivis HAM menilai hukuman ini tidak efektif dan melanggar hak asasi, bahkan bisa memicu dendam. Padahal, meski hukuman mati masih berlaku, peredaran narkoba tetap marak. Jika dihapus, dikhawatirkan kejahatan narkoba justru makin meningkat.
Secara hukum Islam, narkoba jelas haram. Terkait hal ini, sebagian Ulama menyamakannya dengan hukum Khamr, dan sebagian yang lain mengharamkannya karena melemahkan akal dan tubuh.
Rasulullah saw. melarang dari segala yang memabukan dan mufattir (yang membuat lemah). Karena itu, negara tidak boleh berkompromi terhadap apa pun yang dilarang syariat.
Pemberantasan narkoba harus sistematis, mencakup pencegahan dan penindakan yang efektif, melalui berbagai langkah dan kebijakan yang terarah diantaranya:
Pertama, membangun ketakwaan masyarakat bisa dimulai lewat pendidikan berbasis akidah Islam. Dengan sistem ini, pola pikir dan sikap masyarakat dibentuk sesuai syariat, sehingga muncul kesadaran untuk menjauhi hal-hal haram, termasuk narkoba.
Kedua, perlu adanya pengawasan terhadap segala aktivitas dan tempat yang rawan dilakukannya maksiat. Masyarakat berperan penting dalam menerapkan amar makruf nahi mungkar, dengan menegur, mengingatkan, atau melaporkan pelanggaran kepada pihak berwenang.
Ketiga, Negara harus menjamin kebutuhan dasar rakyat. Masalah ekonomi sering jadi pemicu kejahatan narkoba. Jika kesejahteraan dan lapangan kerja terjamin, rakyat tak perlu mencari nafkah lewat jalan haram. Sistem ekonomi Islam bisa menjadi solusi yang adil dan halal.
Keempat, Negara wajib menerapkan sanksi hukum Islam terhadap pelaku narkoba. Meski rehabilitasi diakui, pengguna tetap harus mendapat hukuman. Tujuannya agar ada efek jera bagi pelaku dan menjadi peringatan bagi yang lain. Dalam Islam, penyalahgunaan narkoba dikenai sanksi takzir, yaitu hukuman atas kemaksiatan yang tidak ditentukan kadar hukumannya oleh syariat. Penentuan hukum diserahkan kepada Qodhi sebagai wakil Khalifah. Qodhi akan menilai tingkat pelanggaran dan menetapkan sanksi yang sesuai, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al-Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat hlm. 230.
Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam Nizham al-Uqubat wa Ahkam al-Bayyinat hlm. 272 memberikan penjelasan umum mengenai sanksi untuk pelaku kejahatan narkotika, baik produsen, pengedar, maupun pembelinya.
Pertama, orang yang memperdagangkan narkotika seperti ganja, heroin, dan sejenisnya dianggap melakukan kejahatan. Sanksinya berupa cambuk, penjara hingga 15 tahun, serta denda yang ditentukan oleh Qodhi.
Kedua, siapa pun yang terlibat dalam aktivitas jual beli, meracik, mengedarkan, atau menyimpan narkotika akan dijatuhi hukuman cambuk dan penjara maksimal 5 tahun, disertai denda ringan.
Ketiga, orang yang menjual bahan seperti anggur atau gandum, yang diketahui bisa dibuat khamar, akan dikenai hukuman cambuk dan penjara 6 bulan hingga 3 tahun. Namun, ini tidak berlaku bagi non-Muslim di negara Khilafah yang agamanya membolehkan untuk mengkonsumsinya.
Keempat, siapa pun yang membuka tempat tersembunyi atau terbuka untuk perdagangan narkotika akan dikenai hukuman cambuk dan penjara hingga 15 tahun.
Kelima, orang yang membuka tempat untuk menjual barang memabukkan, baik secara diam-diam maupun terang-terangan, akan dihukum cambuk dan dipenjara hingga 5 tahun.
Keenam, pembelaan bahwa khamar dijual untuk pengobatan tidak akan diterima, kecuali bisa dibuktikan bahwa penjualan dilakukan sesuai prosedur medis seperti apotek. Jika bukti ada, maka akan dipertimbangkan.
Islam menawarkan solusi komprehensif dan terarah dalam mengatasi masalah narkoba. Upaya pemberantasan harus dimulai dari mencabut akar persoalannya, yaitu sistem sekular kapitalis dan menggantinya dengan penerapan sistem Islam secara menyeluruh dalam kehidupan.
Wallahu a'lam bish shawab
Posting Komentar