Pajak & retribusi tiap sudut : ketika ruang publik di komersialisasi
Oleh : Neni Moerdia
Berita mengenai tarif parkir Rp 800.000 di Kota Blitar sempat viral di media sosial pada Mei 2025, memicu kontroversi dan protes dari masyarakat. Kejadian ini bermula dari sebuah video yang menunjukkan seorang wisatawan mengeluhkan biaya parkir yang dianggap terlalu mahal untuk tiga bus wisatawan yang parkir di area Pusat Informasi Perdagangan dan Pariwisata (PIPP). Dalam video tersebut, disebutkan bahwa total biaya parkir mencapai Rp 800.000.
Namun, Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Blitar, Edi Wasono, memberikan klarifikasi bahwa angka Rp 800.000 mencakup total biaya parkir dan retribusi masuk wisatawan ke Makam Bung Karno, bukan hanya tarif parkir bus saja. Menurutnya, tarif parkir bus sesuai Peraturan Daerah adalah Rp 18.000, sementara retribusi masuk wisatawan ke Makam Bung Karno adalah Rp 4.000 per orang. Dengan asumsi satu bus berisi sekitar 40 penumpang, total biaya dapat mencapai sekitar Rp 800.000 untuk tiga bus.
dampak dari viralnya video tersebut cukup signifikan. Para tukang becak wisata yang biasanya mengantarkan wisatawan dari PIPP ke Makam Bung Karno mengeluhkan penurunan pendapatan akibat berkurangnya jumlah wisatawan yang datang. Sebelumnya, mereka dapat mengantarkan hingga lima kali dalam sehari, namun kini jumlah tersebut menurun drastis.
Dalam sistem kapitalisme saat ini pajak dan retribusi memberikan sumbangan terbesar terhadap negara. Adapun pajak adalah pungutan wajib yang dibayarkan rakyat kepada negara tanpa imbalan langsung, dan digunakan untuk membiayai pengeluaran negara demi kepentingan umum. Sedangkan retribusi adalah pungutan yang dikenakan oleh pemerintah kepada masyarakat sebagai imbalan atas jasa atau fasilitas yang disediakan.
Keduanya merupakan pungutan yang harus dibayarkan oleh setiap individu untuk mendapatkan manfaat dari tempat ataupun barang yang dimiliki.
Apakah tepat untuk mendapatkan fasilitas yang layak ditempat umum, harus membayar biaya tambahan berupa retribusi. Padahal kita telah membayar pajak bumi & bangunan yang kita tempati, setiap toko yang dikunjungi, setiap makanan yang dilahap, kendaraan yang kita miliki, bahkan ikut menyumbang biaya hidup para wakil rakyat di negeri ini.
Tidak ada celah untuk hidup gratis untuk saat ini. Masyarakat di peras dari segala sisi atas nama pembangunan negara.
Dalam sistem Islam, pungutan pajak & retribusi (Dharibah) ada dalam Situasi Darurat
Beberapa ulama klasik (seperti Imam Al-Ghazali, Al-Mawardi) dan kontemporer (Yusuf al-Qaradawi) dengan syarat :
• Kebutuhan negara sangat mendesak (perang, bencana, krisis).
• Dipungut dari orang orang kaya saja.
• Bersifat sementara saja.
Adapun kebutuhan untuk pembangunan negara serta menyediakan fasilitasi publik yang aman, nyaman, dan memadai didanai dari baitul mal. Baitul memperoleh pemasukan dari 7 pos yaitu:
◦ Zakat
◦ Kharaj (Pajak atas tanah pertanian milik non-Muslim yang ditaklukkan dalam perang dan tetap dikuasai oleh mereka)
◦ Jizya (dibayarkan oleh non-Muslim (ahl al-dzimmah) sebagai imbalan atas perlindungan negara)
◦ Ghonimah (harta rampasan perang)
◦ Fa’i
◦ Ushr’ (pajak perdagangan internasional)
◦ Ghullah (harta tak bertuan)
Adapun pemasukan terbesar baitul mal yang membiayai fasilitas publik adalah pemanfaatan sumber daya alam yang 100% dikelola oleh negara, tidak boleh diberikan kepada swasta baik itu orang asli pribumi atau bahkan pihak asing. kemudian hasilnya di manfaatkan untuk pembangunan serta perbaikan fasilitas-fasilitas ruang publik.
Masyarakat tidak harus membayar retribusi untuk mendapatkan pelayanan yang adil, aman, dan nyaman.
Tetapi perlu digaris bawahi saudaraku,
Hal ini hanya akan terjadi jika syariat Islam diterapkan secara keseluruhannya. Kita tidak bisa melihat Islam hanya dari individu saat ini. Karena saat ini Islam hanya dipakai secara ibadah saja, itupun banyak hal yang tidak sesuai dengan syariat nya Allah SWT. padahal syariat Islam itu lengkap dan jelas. Sangat tidak adil jika kita hanya menilai dari melihat individu saja.
Kita harus benar sadar jika ketidakadilan ini terjadi karena tidak adanya syariat Islam yang di terapkan oleh sebuah instalasi bernama negara yang disebut Khilafah 'ala Minhaj an-Nubuwwah (الخلافة على منهاج النبوة) adalah konsep pemerintahan dalam Islam yang mengikuti metode kenabian, yaitu tata kelola negara yang meneladani sistem yang diterapkan oleh Rasulullah ﷺ dan para Khulafaur Rasyidin.
Posting Komentar