Haji, Simbol Persatuan Tapi Umat Islam Masih Bercerai-berai?
Oleh : Henise
Setiap tahun, jutaan umat Islam dari berbagai penjuru dunia berkumpul di Tanah Suci. Mereka mengenakan pakaian ihram yang sama, melafalkan talbiyah yang sama, menunaikan ibadah dengan gerakan dan arah yang sama. Haji adalah momen puncak persatuan simbolik umat Islam. Tidak ada perbedaan ras, bangsa, jabatan, atau kasta. Semua tunduk kepada Allah dalam satu gerakan masif, serempak, dan penuh kekhusyukan.
Namun, ironi muncul ketika kita melihat kenyataan di luar ibadah ini. Umat Islam justru hidup dalam perpecahan. Negara-negara Islam tercerai-berai, saling curiga, bahkan berperang satu sama lain. Umat Islam di Palestina dibantai, di Uighur ditindas, di India ditekan, dan di berbagai wilayah lainnya hidup dalam ketidakadilan. Di mana makna persatuan itu? Kenapa energi spiritual dari haji tak menjelma menjadi kekuatan politik dan sosial?
Persatuan Umat: Cita-cita atau Ilusi?
Persatuan umat Islam sering digaungkan dalam khutbah, ceramah, dan peringatan hari besar. Namun dalam praktiknya, dunia Islam dipenuhi sekat nasionalisme, egoisme negara, dan dominasi kepentingan asing. Alih-alih satu tubuh, umat ini dipisah menjadi lebih dari 50 negara, masing-masing dengan kepentingan politik sendiri, bahkan rela menjilat Barat demi stabilitas rezim.
Pernyataan bahwa “umat Islam adalah satu tubuh” hanya menjadi wacana normatif tanpa daya realisasi. Negara-negara Muslim yang kuat tidak kunjung membantu saudara mereka yang dijajah dan ditindas. Dunia Islam lemah karena tidak memiliki satu kepemimpinan global yang menyatukan kekuatan mereka.
Haji dan Makna Politik Islam
Dalam sejarah Islam, ibadah haji bukan hanya ritual spiritual, tapi juga peristiwa politik. Rasulullah ﷺ melakukan haji wada’ sebagai momentum penguatan peradaban Islam. Haji saat itu juga menjadi ajang konsolidasi umat, menyampaikan khutbah politik, dan mewariskan misi besar Islam sebagai agama yang mengatur seluruh aspek kehidupan, bukan hanya ibadah mahdhah.
Sayangnya, haji hari ini tereduksi menjadi ritual pribadi yang dipisahkan dari misi dakwah dan kekuasaan. Dunia Islam yang hadir di Mekah hanya datang sebagai tamu negara, bukan sebagai umat yang satu. Bahkan, sebagian penguasa Muslim menjadikan haji sebagai ajang diplomasi murahan dan citra politik untuk memperkuat legitimasi kekuasaan yang tunduk pada sistem sekuler.
Sekat Nasionalisme: Warisan Kolonial yang Memisahkan
Setelah keruntuhan Khilafah Utsmaniyah pada 1924, dunia Islam dipecah-pecah oleh Barat menjadi negara-negara kecil. Munculnya paham nasionalisme dan patriotisme lokal berhasil memecah belah umat. Tiap negara Muslim kini lebih mementingkan bendera, lagu kebangsaan, dan kepentingan nasionalnya daripada persatuan umat Islam secara global.
Umat Islam pun mulai terbiasa melihat batas negara sebagai batas loyalitas. Tragedi yang menimpa Muslim di tempat lain dianggap bukan urusan kita. Inilah buah dari sekularisasi dan nasionalisme yang mencabut ruh ukhuwah Islamiyah dan menggantinya dengan ikatan semu buatan manusia.
Haji Butuh Kelanjutan: Khilafah sebagai Institusi Persatuan
Jika haji adalah simbol persatuan, maka Khilafah adalah alat realisasi persatuan itu. Dalam sejarahnya, hanya Khilafah yang mampu menyatukan umat Islam lintas wilayah, bahasa, dan budaya. Di bawah Khilafah, kaum Muslim menjadi satu umat yang solid. Seruan “hayya ‘alal jihad” dijawab dari Andalusia hingga Syam, dari Khurasan hingga Mesir.
Tanpa institusi politik global, persatuan umat Islam hanya tinggal simbol. Maka, tugas kita bukan hanya menunaikan haji sebagai ritual tahunan, tetapi juga menjadikannya sebagai pengingat akan perlunya membangun kembali institusi pemersatu umat: Khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.
Apa yang Menghalangi Persatuan Umat Hari Ini?
Persatuan umat terhalang oleh tiga perkara besar: sistem sekuler, penguasa boneka, dan penjajahan asing. Sistem sekuler memisahkan agama dari kehidupan sehingga Islam hanya dipahami sebagai ibadah spiritual, bukan sistem kehidupan. Penguasa-penguasa di negeri-negeri Islam hari ini tidak berpihak kepada umat, tetapi menjadi pelindung kekuasaan Barat. Mereka takut persatuan Islam karena itu berarti hilangnya kekuasaan sempit mereka.
Penjajahan asing juga terus melanggengkan perpecahan ini. Melalui organisasi internasional, perjanjian bilateral, dan dominasi ekonomi-politik, Barat memastikan umat Islam tetap tercerai dan tidak memiliki kekuatan global. Maka, selama akar masalah ini tidak dicabut, persatuan umat hanya akan menjadi slogan kosong.
Umat Harus Sadar dan Bergerak
Umat Islam hari ini membutuhkan kesadaran ideologis. Mereka harus paham bahwa selama dunia Islam terpecah-pecah dan tidak memiliki kepemimpinan politik tunggal, penderitaan di Palestina, Suriah, Yaman, dan tempat lainnya akan terus berulang. Kita tidak bisa lagi berharap pada PBB, Liga Arab, atau OKI yang terbukti lemah dan mandul.
Kebangkitan umat Islam dimulai dari perubahan pemahaman: bahwa Islam bukan sekadar ibadah ritual, tapi ideologi dan sistem kehidupan. Persatuan umat bukan utopia, tapi keniscayaan jika umat ini kembali kepada Islam secara kaffah.
Khilafah: Janji Allah, Bukan Nostalgia
Kembalinya Khilafah bukan mimpi masa lalu, tapi janji masa depan. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Kemudian akan datang Khilafah 'ala minhajin nubuwwah (di atas metode kenabian)” (HR. Ahmad)
Janji ini bukan sekadar kabar gembira, tapi arah perjuangan. Di tengah keterpecahan umat, Khilafah adalah satu-satunya institusi yang bisa menyatukan kembali kekuatan umat Islam. Ia bukan sekadar simbol, tapi solusi riil yang mampu menghentikan penindasan, menjawab krisis, dan melindungi kehormatan umat.
Kesimpulan: Dari Haji ke Perjuangan Hakiki
Haji setiap tahun menyatukan umat dalam simbol dan ritual. Tapi persatuan hakiki hanya akan lahir ketika umat Islam bangkit menegakkan kembali sistem Islam dalam kehidupan. Bukan hanya seragam dalam ihram, tapi juga seragam dalam arah perjuangan. Bukan hanya satu suara saat talbiyah, tapi juga satu suara menolak penjajahan dan menuntut tegaknya kembali Khilafah.
Inilah makna hakiki dari haji: panggilan persatuan, bukan hanya untuk datang ke Mekah, tapi untuk membebaskan dunia dari belenggu sistem kufur dan menegakkan kembali peradaban Islam yang mulia.
Wallahu a'lam
Posting Komentar