-->

DI BALIK POLEMIK PEREBUTAN PULAU


Oleh : Irawati Tri Kurnia
(Ibu Peduli Umat)

Kabar menghentak datang dari ujung Barat Indonesia. Empat pulau dari wilayah Aceh yang selama ini dalam pengelolaan Aceh; yaitu Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek; tiba-tiba berpindah tangan secara sepihak ke Sumatera Utara melalui keputusan Menteri Dalam Negeri nomor 300.2.2-2138 tahun 2025. Anggota DPR asal Aceh, Muslim Ayub, menyatakan bahwa polemik kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara atau Sumut ini, ada hubungannya dengan potensi kandungan minyak dan gas migas di wilayah tersebut (www.cnnindonesia.com, Minggu 15 Juni 2025) (1).

Pro kontra pun pecah di tengah masyarakat tentang pengalihan kepemilikan ini, diduga karena memiliki potensi Sumber Daya Alam (SDA) berupa minyak dan gas bumi. Ini bukan hanya sebatas sengketa administratif, tapi mencerminkan problem mendasar, yaitu tentang sistem pengelolaan pemerintahan daerah dengan mekanisme “Otonomi Daerah” atau ODA. Faktanya ODA seringkali menimbulkan konflik kewenangan antar wilayah, terutama jika wilayahnya kaya SDA. 

ODA lahir dari paradigma demokrasi sekuler kapitalis yang berasal dari Barat pasca revolusi industri dan proses modernisasi pemerintahan. Tujuannya untuk meningkatkan efisiensi dan partisipasi lokal dalam pemerintahan. Tapi sering menghadirkan masalah baru. Tidak kunjung berhasil memperkuat keadilan dan pemerataan; tapi justru sering memunculkan konflik kepentingan dan tarik-menarik kekuasaan, serta eksploitasi SDA atas nama pembangunan. 

Aceh mempunyai status otonomi khusus. Sehingga pengalihan wilayah ini dianggap mencederai semangat desentralisasi itu sendiri. Masyarakat dizalimi haknya, selalu terkalahkan oleh kepentingan strategis daerah dan dikalahkan oleh keputusan pusat yang diskriminatif dan tidak transparan. Ini menjadi bukti bahwa sistem ODA hanya dimanfaatkan oleh elit politik untuk kepentingannya, bukan untuk kesejahteraan rakyat secara menyeluruh. 

Sistem ODA juga memberi kewenangan luas bagi daerah untuk mengatur urusan pemerintahan, termasuk untuk mengelola Pendapatan Asli Daerah atau PAD. Dampaknya terjadi perbedaan kesejahteraan antar wilayah, antara wilayah yang jaya SDA dengan yang tidak. Kesenjangan ini memicu kecemburuan sosial dan potensi konflik, seperti yang terlihat dalam kasus pengalihan empat pulau dari Aceh ke Sumatera Utara. Ketidak merataan kesejahteraan juga dapat menjadi ancaman disintegrasi. 

Berbeda dengan sistem sentralisasi, yaitu pengelolaan SDA dan pembangunan lebih merata karena berada di bawah kendali pusat. Hal ini hanya ditemukan dalam sistem Islam kafah yang diterapkan di bawah institusi Khilafah sebagai negara pemersatu seluruh umat Islam di dunia. Hanya dengan Khilafah, umat Islam akan bisa mewujudkan konsekuensi keimanannya yaitu berIslam secara kafah (menyeluruh), karena memang hal ini membutuhkan penjagaan sistem dan negara. Sesuai firman Allah :
“Wahai orang-orang yang beriman, masuklah Islam secara kafah dan jangan ikuti Langkah-langkah setan” (Al-Baqarah : 208).

Islam mengatur pengelolaan wilayah negara dilakukan secara sentralistik di bawah kepemimpinan Khalifah atau kepala negara yang bertanggung jawab penuh terhadap seluruh rakyat, tanpa membedakan satu daerah dengan yang lainnya. ODA tidak ada dalam Islam. Semua SDA dalam wilayah Khilafah, diatur secara sentralistik oleh Khilafah berdasarkan Syariat Islam. Tujuannya agar kesejahteraan merata di seluruh penjuru negeri, tidak tergantung pada potensi ekonomi atau pendapatan daerah masing-masing. 

Khilafah mengelola semua kekayaan alam seperti tambang, minyak, gas, laut, dan hutan sebagai milik umum atau milkiah ammah, yang hasilnya dikembalikan untuk kepentingan seluruh rakyat. Ini mengacu sabda Rasulullah :
"Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yakni padang rumput, air, dan api." (Hadis riwayat Abu Daud).
Hadis ini menjadi dasar bahwa SDA tidak boleh dimiliki individu atau dikuasai daerah tertentu, melainkan harus dikelola oleh negara demi kepentingan seluruh rakyat. Ini akan mencegah kecemburuan sosial antar wilayah, menghindari ketimpangan pembangunan, dan menjamin bahwa setiap warga negara mendapatkan haknya secara adil dan merata tanpa tergantung pada lokasi geografis atau kekayaan alam daerah tempat tinggalnya. Inilah keunggulan sistem sentralistik dalam Islam yang berlandaskan keadilan dan kemaslahatan bersama. 

Khilafah akan berlaku adil dan amanah dalam mengurus seluruh urusan rakyatnya tanpa memandang perbedaan suku, daerah, ataupun tingkat ekonomi. Hal ini karena Islam menetapkan bahwa penguasa adalah Raa’in atau penggembala dan Junnah atau perisai bagi rakyatnya. Penguasa bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan, keamanan, dan keadilan. Karena ini akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah di hari akhir kelak. Sesuai sabda Rasulullah :
"Setiap kalian adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (Hadis riwayat Bukhari dan Muslim). Dengan dasar ini, penguasa dalam Islam tidak boleh bertindak zalim, memihak kepentingan kelompok tertentu, atau membiarkan kesenjangan dan ketidakadilan terjadi di antara rakyat. Penguasan wajib menciptakan distribusi kekayaan yang adil sesuai syariat Islam, pelayanan publik yang merata, serta menjamin kebutuhan mendasar setiap warga negaranya. 

Hanya sistem Islam kafah dibawah naungan Khilafah dengan penerapkan sentralisasi, akan mampu menjamin keadilan, kesejahteraan merata, dan perlindungan hak seluruh rakyat.

Wallahualam Bisawab

Catatan Kaki :
(1) https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250615012345-32-1239850/polemik-4-pulau-aceh-sumut-anggota-dpr-duga-berkaitan-potensi-migas