Anak Menjadi Sasaran Judi online, Kapitalisme Biang Kehancuran Generasi
Oleh : Sumiati (Aktivis Dakwah Muslimah)
Sungguh memprihatinkan, penduduk Indonesia yang mayoritas muslim ternyata banyak kecanduan judi online, bahkan termasuk anak-anak. PPATK( Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan) melaporkan bahwa terdapat transaksi judi online atau judul yang telah dilakukan oleh anak-anak berusia sejak 10 tahun di Indonesia dengan kisaran nilai Rp 2,2 m.
Data kuartal tahun 2025 yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah pemain deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10 sampai 16 tahun lebih dari Rp 2,2 miliar, usia 17 sampai 19 tahun mencapai Rp47,9 miliar, dan deposit yang tertinggi usia antara 30 sampai 40 tahun mencapai Rp 2,5 triliun. Angka- angka ini memberi dampak sosial berupa konflik rumah tangg, prostitusi, pinjaman online, dan lain-lain.
Kecanduan judi online adalah masalah yang makin meningkat di era digital titik kemudahan akses dan promosi yang agresif membuat banyak orang terjebak dalam lingkaran perilaku yang merugikan ini.
Ada beberapa faktor penyebab anak-anak kecanduan judi online baik dari sisi psikologis dan kebiasaan anak. Pertama, akses mudah ke platform judol. Permainan judol lebih mudah diakses ketimbang judi offline, hanya perlu jaringan internet yang mudah diakses serta gadget atau perangkat pintar mengakses situs atau platform judol.
Kedua, memiliki riwayat masalah psikologis. Kecanduan judi online seringkali berkaitan dengan masalah psikologis, seperti stres, kecemasan, atau depresi. Judi digunakan sebagai pelarian dari realitas yang justru memperburuk kondisi mental mereka. Pasalnya, euforia yang didapatkan dari permainan judol membantu mengalihkan rasa cemas khawatir, hingga depresi yang sedang dirasakannya. Tanpa sadar perasaan tersebut berubah menjadi perasaan aditif (ketergantungan).
Ketiga, kurangnya pengawasan. Orang tua dan pendidik sering kali tidak menyadari bahaya judi online atau kurang memahami bagaimana cara mengawasinya. Kurangnya perhatian dari orang tua dapat membuat anak-anak merasa bebas untuk melakukan hal-hal yang tidak sesuai.
Keempat, pengaruh lingkungan. Teman sebaya yang terlibat dalam judi online dapat mempengaruhi anak-anak untuk ikut-ikutan. Lingkungan yang tidak mendukung atau kurangnya pengawasan dapat memberikan kesempatan bagi anak-anak untuk terlibat dalam judi online. Kelima, rasa penasaran dan ingin mencoba hal baru, serta faktor sosial ekonomi, seperti kemiskinan dan kurangnya lapangan pekerjaan yang dapat membuat anak-anak merasa terpaksa untuk mencari sumber penghasilan alternatif, dan perasaan ingin mendapatkan keuntungan atau hiburan.
Pandangan Islam
Syariah Islam telah mengharamkan judi secara mutlak tanpa illat apapun dan tanpa pengecualian. Allah subhanahu wa ta'ala berfirman,
"Hai orang-orang yang beriman, sungguh (meminum) khamar, berjudi, ((berkorban untuk) berhala dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan karena itu jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kalian mendapat keberuntungan," (TQS Al Maidah (90).
Dalam ayat di atas, Allah SWT menyejajarkan judi dengan minuman keras, berhala, dan mengundi nasib (azlam). Ini menunjukkan keharamannya secara mutlak. Demikian kerasnya keharaman tersebut, hingga Allah menyebutkan sebagai perbuatan setan. Karena itu, Allah SWT memerintahkan kaum muslim untuk menjauhi semua perbuatan tersebut agar mendapatkan keberuntungan.
Allah SWT berfirman,
"Sungguh setan hanya bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian melalui minuman keras dan Judi juga bermaksud menghalangi kalian dari mengingat Allah dan melaksanakan salat. Karena itu tidaklah kalian mau berhenti?" (TQS Al Maidah (91).
Syaikh Ali ash shabuni menyatakan bahwa penyebutan berbagai keburukan pada ayat di atas mengisyaratkan adanya bahaya besar dan kejahatan dari perjudian dan minuman keras. Syaikh Ali Ash Shabuni mengatakan,
"Sungguh setan itu bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kalian lantaran meminum khamar dan berjudi itu: juga bermaksud menghalangi kalian dari mengingat Allah dan menunaikan salat. Karena itu berhentilah kalian dari mengerjakan pekerjaan itu." (Ash Shabuni, Tafsir Ayat Al ahkam 1/562).
Beliau juga menyebutkan bahaya judi tidak lebih ringan dibandingkan dengan minuman keras, yakni menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara para penjudi, menghalangi orang dari mengingat Allah, dan dari menunaikan salat. Kemaksiatan ini juga merusak masyarakat, membiasakan manusia di jalan kebatilan dan kemalasan, mengharapkan keuntungan tanpa kerja keras dan usaha, serta menghancurkan keluarga dan rumah tangga.
Berjudi termasuk ke dalam cara memperoleh harta haram. Sementara itu harta haram hanya akan mengantarkan pelakunya pada ancaman Allah SWT. Nabi SAW bersabda kepada Ka'ab bin Ujrah ra,
"Wahai ka'ab bin ujrah, sungguh daging badan yang tumbuh berkembang dari sesuatu yang haram berhak dibakar dalam api neraka," (HR at Tirmidzi).
Keharaman judi dan sanksinya ini mengikat semua warga negara muslim maupun non muslim (Ahlu dzimmah). Negara tidak boleh membiarkan atau memberikan izin perjudian online maupun melokalisasi perjudian. Contohnya seperti yang dilakukan oleh sebagian negeri muslim hari ini yang menyediakan kawasan judi untuk non muslim. Memberikan izin perjudian walaupun kepada kalangan non muslim sama artinya dengan menghalalkan perjudian. Karena itu memungut pajak dari perjudian juga haram. Nabi SAW bersabda,
"Akan datang suatu zaman saat manusia tidak lagi peduli dari mana mereka mendapatkan harta apakah dari usaha yang halal atau yang haram," (HR Al Bukhari).
Larangan berjudi dalam Islam bukanlah sekadar himbauan moral belaka. Allah SWT pun telah mewajibkan kaum muslim untuk menegakkan sanksi pidana ('uquubaat) terhadap para pelakunya. Mereka adalah bandar, pemain, pembuat program, penyedia server, mereka yang mempromosikan, dan siapa saja yang terlibat di dalamnya. Sanksi bagi mereka berupa ta'ziir, yakni jenis sanksi yang diserahkan keputusannya kepada khalifah atau kepada qaadhi (hakim).
Syaikh Abdur Rahman Al Maliki di dalam Nizhaam Al 'uquubaat fii Al Islam menjelaskan bahwa kadar sanksi yang dijatuhkan disesuaikan dengan tingkat kejahatannya. Atas tindak kejahatan atau dosa besar maka sanksinya harus lebih berat agar tujuan preventif (zawaajir) dari sanksi ini tercapai. Beliau juga menjelaskan bahwa khalifah atau qaadhi memiliki otoritas menetapkan kadar ta'ziir ini. Oleh karena itu, pelaku kejahatan perjudian yang menciptakan kerusakan begitu dahsyat layak dijatuhi hukuman yang berat, seperti dicambuk, dipenjara, bahkan dihukum mati.
Hukum yang tegas ini adalah bukti bahwa syariah Islam berpihak kepada rakyat dan memberikan perlindungan kepada mereka. Dengan adanya pengharaman atas perjudian, maka harta umat dan kehidupan sosial akan terjaga dalam keharmonisan. Umat juga akan didorong untuk mencari nafkah yang halal tidak bermalas-malasan, apalagi mengundi nasib lewat perjudian.
Negara juga harus hadir menjamin kehidupan rakyat seperti pendidikan yang layak, hingga tingkat pendidikan tinggi dan lapangan kerja yang luas, serta jaminan kesehatan yang memadai secara cuma-cuma. Dengan perlindungan hidup yang paripurna dalam syariah Islam, maka kecil peluang rakyat terjerumus ke dalam perjudian.
Semua ini hanya bisa terwujud dalam kehidupan yang ditata dengan syariat Islam di dalam naungan khilafah, bukan dalam sistem kehidupan yang kapitalistik seperti hari ini. Dalam sistem kehidupan yang kapitalistik negara minim hadir dalam kehidupan rakyat. Sementara itu, berbagai bisnis kotor, seperti perjudian terus menjamur seolah tidak bisa dihentikan.
Posting Komentar