-->

Sengkarut Jual Beli Hukum Peradilan


Oleh : Evie Andriani

Maraknya kasus korupsi yang baru-baru ini terungkap semakin membuat miris negeri. Terutama kasus korupsi di kalangan aparat negara yang menjabat sebagai dewan peradilan (hakim). Mereka yang mengerti hukum dan paham akan sanksinya mampu menyelewengkan kekuasaannya dengan menjualbelikan hukum untuk kepentingan pribadi. Makelar atau mafia peradilan sebutan yang pantas dan biasa didengar untuk orang-orang yang ahli dalam menyalahgunakan jabatan atau kekuasaannya dalam hukum. 

Munculnya mafia peradilan ini tak bisa lepas dari hilangnya ketakwaan pada diri para pejabat. Para mafia peradilan merasa tak perlu bertanggung jawab pada Allah SWT dalam menjalankan tugas yang diembannya. Mereka mengabaikan agama demi sebuah prinsip sekuler. Mereka terjebak dalam kerakusan dan gaya hidup hedonis, terus mencari uang sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan mana yang halal dan haram. 

Kondisi ini tak lepas dari sistem politik sekuler yang melingkupinya dan bertujuan untuk kepentingan pribadi tanpa mementingkan rakyat. Selama sistem ini dipertahankan perubahan menuju keadilan yang diidam-idamkan tak akan pernah terwujud. 

Contohnya saja dalam 5 tahun terakhir, tiga pejabat tinggi Mahkamah Agung (MA) berhasil ditangkap dalam kasus yang sama. Miris sangat miris, pejabat MA dalam kurun waktu 10 tahun bisa mengumpulkan pundi-pundi kekayaan hampir senilai 1 triliunan dan 51 kg emas batangan. Amazing bukan. 

Jelas wajah hukum sekuler seperti hukum rimba, siapa yang kuat dialah yang menang. Peradilan yang mestinya dilakukan demi tegaknya keadilan justru makin menampakkan ketidakadilannya. Selain penanganan kasus butuh waktu yang lama, proses yang lambat dan birokrasi yang panjang sering dimanfaatkan untuk mempengaruhi hasil persidangan melalui praktik-praktik korupsi. 

Harus diakui sistem peradilan memiliki mekanisme yang lemah, sulit untuk mengungkap dan menghukum hakim yang terlibat dalam praktik makelar kasus. Apalagi badan pengawas hakim agung kurang dirasa keberadaannya. Kurang transparannya dalam proses peradilan memudahkan hakim untuk menyembunyikan praktik korupsi. Banyak kasus, keputusan hukum tidak diaudit atau dikaji ulang. Sehingga praktik makelar kasus bisa berjalan lancar tanpa terdektesi. 

Butuh Sistem Islam

Eksistensi mafia peradilan tak bisa lepas dari keberadaan sistem sekuler. Sistem ini memungkinkan siapa saja termasuk penegak hukum sekalipun berlepas dan berlena diri jauh dari aturan Tuhan. Sekuler merupakan prinsip yang mengajarkan, menerapkan dan memisahkan agama dari kehidupan politik publik. 

Wajar saja jika mafia bisa mudah berkembang biak dan sulit untuk ditumpas. Mafia peradilan dalam jual beli hukum hanya bisa ditumpas dengan sistem yang di dalamnya terdapat pengawasan melekat dari Allah SWT. Karena Islam menekankan pentingnya iman dan taqwa sebagai integritas bagi aparat penegak hukum. Rasullulah pernah bersabda:

القُضَاةُ ثَلَاثَةٌ: قَاضِيَانِ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ فِي الجَنَّةِ، رَجُلٌ قَضَى بِغَيْرِ الحَقِّ فَعَلِمَ ذَاكَ فَذَاكَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ لَا يَعْلَمُ فَأَهْلَكَ حُقُوقَ النَّاسِ فَهُوَ فِي النَّارِ، وَقَاضٍ قَضَى بِالحَقِّ فَذَلِكَ فِي الجَنَّةِ  

Artinya: “Hakim itu ada tiga: dua di neraka dan satu di surga. Hakim yang memutuskan hukum dengan tidak benar, sedangkan ia mengetahuinya, maka ia di neraka. Hakim yang tidak mengetahui kebenaran (jahil), sehingga ia menghilangkan hak orang lain, maka ia pun di neraka. Hakim yang memutuskan hukum dengan kebenaran, maka ia di surga”. (HR. At-Tirmidzi).

Islam juga mengingatkan para hakim bahwa jabatan bukanlah untuk mencari kekayaan, tetapi menegakkan hukum Allah SWT. Islam mewajibkan para hakim dalam peradilan memberlakukan hukum Islam dalam semua aspek kasus. Allah SWT berfirman : 

وَمَنْ لَّمْ يَحْكُمْ بِمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الْكٰفِرُوْنَ

Artinya : siapa saja yang tidak memutuskan hukum menurut wahyu yang Allah turunkan, maka mereka itu adalah kaum kafir (QS al Maidah ayat 44) 

Dalam Islam para pejabat dan pegawai termasuk para penegak hukum akan diberi fasilitas dan gaji yang layak untuk memenuhi kebutuhan mereka. Ini dapat menutup celah para penegak hukum mengambil sesuatu di luar gaji mereka. Aparat penegak hukum yang melakukan maksiat dengan menerima suap untuk mengurangi keputusan peradilan telah diancam dan dilaknat Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda :

لَعْنَةُ اللَّهِ عَلَى الرَّاشِي وَالْمُرْتَشِي

Artinya : Laknat Allâh kepada pemberi suap dan penerima suap (HR. Ahmad)

Islam juga memberikan sanksi hukum yang tegas bagi penegak hukum yang menerima suap berupa ta’zir. Hal ini dilakukan untuk memberikan efek jera pada penyelewengan hukum peradilan. Sehingga penegak hukum menjalankan amanah yang mampu memberikan keadilan bagi umat semata mata karena Allah SWT. 

Wallahu a’lam bish-shawabi.