Menyoal Polemik Ijazah Jokowi yang Tak Kunjung Usai
Oleh : Ummu Zalfa
Presiden ke-7 RI Joko Widodo alias Jokowi, pada Rabu (30/4/2025) secara resmi melaporkan dugaan pencemaran nama baik dan tuduhan ijazah palsu ke Kepolisian Daerah Metro Jaya. Ada lima orang yang dilaporkan, yakni Roy Suryo, Rismon Sianipar, Tifauzia Tyasssuma, Eggi Sudjana, dan Kurnia.
Alasan Jokowi turun langsung melaporkan ke polisi karena mereka sudah menghina saya sehina-hinanya, dan merendahkan saya serendah-rendahnya dengan menuduh ijazah saya palsu." Saya berharap dengan melaporkan Roy Suryo dan kawan-kawan (dkk.) bisa menjadi peringatan dan pembelajaran untuk kita semuanya, kata Jokowi. (Tempo..co, 5/5/2025)
Polemik Berkepanjangan
Polemik kasus isu keaslian ijazah Jokowi dari Universitas Gajah Mada (UGM) telah terjadi berulang kali, bahkan hampir tiga tahun bergulir. Berawal dari gugatan Bambang Tri Mulyono penulis buku Undercover, menggugat Jokowi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada 3 Oktober 2022. Lalu pada April 2023, Sugi Nur Rahardja (Gus Nur) kena delik hukum ujaran kebencian. Sehingga keduanya dibui. Anehnya ijazah Jokowi tidak pernah dihadirkan dalam persidangan sebagai bukti. Wajar, jika polemik terus berlanjut hingga kini.
Rocky Gerung seorang akademisi, intelektual publik Indonesia, juga komentator politik menanggapi isu tersebut. Seharusnya seorang presiden yang dituduh ijazahnya palsu mestinya bergegas menunjukkan langsung ijazahnya sebagai bukti untuk menutup mulut semua tudingan. Namun, yang terjadi malah dibiarkan berlarut-larut hingga memakan korban beberapa orang dipenjara.
Bayangkan, seorang kepala negara pemimpin tertinggi, tidak elok memilih bersikap diam membiarkan perdebatan publik soal keaslian ijazahnya. Sebenarnya hal yang wajar jika publik (rakyat) menanyakan keaslian ijazah Jokowi. Apa susahnya hanya tinggal menunjukkan ijazahnya saja maka urusan sudah selesai. Rakyat itu berpikirnya praktis, sebab kebenaran itu simple tidak perlu buzzer, preman, juga tidak butuh biaya untuk bayar para advokat (pengacara) segala.
Keadilan Sebuah Ilusi
Ibarat menegakkan benang basah. Itulah gambaran betapa sulitnya mencari keadilan dalam sistem demokrasi kapitatis. Sudah menjadi rahasia umum jika hukum tajam ke bawah dan tumpul ke atas, hukum dapat diperjualbelikan wani piro (berani berapa), dan hukum mudah diintervensi oleh penguasa maupun pengusaha (oligarki). Semua itu telah terbukti dengan terbongkarnya banyak kasus. Contohnya, kasus teranyar suap 60 milliar rupiah yang menjerat Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dkk. kasus korupsi Crude Palm Oil (CPO) dan masih banyak kasus-kasus lainnya yang menjijikkan. Bukankah itu mencerminkan bobroknya sistem peradilan di negeri ini? Wajar, jika masyarakat su'udzan.
Semua itu, merupakan buah busuk produk sistem demokrasi kapitalis. Sistem yang berasaskan sekularisme, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Artinya, agama tidak boleh mengatur urusan publik, baik urusan bermasyarakat maupun bernegara. Sebab falsafah demokrasi, adalah kedaulatan di tangan rakyat, artinya rakyatlah yang berhak membuat peraturan sendiri (Legislatif, Ekskutif, Yudikatif). Padahal, Allah berfirman dalam QS. Al-An'am ayat 57: "Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan kebenaran dan Dia pemberi keputusan yang terbaik."
Oleh karena itu, sangat jelas bahwa sistem demokrasi bertentangan dengan Islam. Tidak heran jika UU yang dibuat dengan mudahnya diubah sesuai dengan kepentingannya.
Dengan kekuatan kekuasaan dan uang bisa mengubah segalanya. Seperti, memanipulasi keadilan dan kejujuran, untuk membeli suara (money politic), membayar buzzer dan preman, untuk menyuap pejabat dan penguasa, membeli ijazah dan untuk menutup mulut. Intinya, semua sama saja tak terkecuali rakyat kecil, karena asas perbuatannya bukan halal dan haram, melainkan asas materi dan manfaat. Inilah akibat agama dicabut dari kehidupan, sungguh miris.
Alhasil demokrasi kapitalisme sekuler telah nyata-nyata rusak dan menghasilkan kerusakan di semua lini kehidupan. Menghasilkan pemimpin, pejabat, dan individu materialistik tak bermoral akibat tidak berhukum pada hukum Allah Swt. Karena itu saatnya diganti dengan sistem Islam.
Islam Solusinya
Islam adalah agama sempurna mengatur semua aspek kehidupan. Mengatur hubungan manusia dengan Allah (akidah dan ibadah); mengatur hubungan manusia dengan dirinya (makanan, minuman, pakaian, dan akhlak); juga mengatur hubungan antar manusia (muamalah: pendidikan, ekonomi, sosial budaya, politik, pemerintahan dan uqubat/persangsian). Semua aturan itu dari Allah Swt. sebagai Al-Khalik (Pencipta) dan Al-Mudabbir (Pengatur).
Oleh sebab itu, sebagai makhluk ciptaan Allah konsekuensinya kita wajib taat dan tunduk patuh hanya kepada-Nya. Dengan berlandaskan akidah yang shahih maka akan terbentuk ketakwaan, yakni melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan-Nya. Karena kita meyakini besok di yaumil akhir akan dihisab oleh Allah Swt. Oleh karena itu, wajib bagi seorang muslim terikat dengan aturan-aturan Allah (syariat Islam).
Sejatinya syariat Islam jika diterapkan secara kafah akan mengatasi semua problematika umat. Termasuk, mencegah polemik ijazah palsu yang dampaknya sungguh luar biasa, yakni menjamurnya buzzer, preman, penjilat, para munafik, terjadinya perpecahan di antara anak bangsa dan mengganggu stabilitas negara.
Dalam peradaban Islam, ijazah adalah izin untuk memberikan fatwa atau mengajar. Adapun menurut kalangan ahli hadis, adalah izin untuk meriwayatkan baik hadis maupun kitab. Ijazah diperoleh melalui nukilan dari seorang guru (ulama) kepada muridnya sebagai bentuk pemeliharaan dari kesalahan yang terjadi dalam Al-Qur'an dan hadis mulia.
Jadi, ijazah adalah perintah yang dinisbatkan dalam Islam sejak permulaan penyebaran ilmu ribuan tahun silam. Oleh sebab itu, ijazah merupakan syahadat (persaksian) kuat, meliputi seluruh ilmu syariat dan ilmu sains yang didapat oleh penuntut ilmu sebagai bukti kelulusan, bukti kepercayaan, dan bukti kompetensi.
Oleh sebab itu, pemalsuan ijazah dan jual beli ijazah termasuk sebuah kebohongan haram hukumnya karena melanggar nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kepercayaan.
Pada hakikatnya penguasa dalam Islam (Khalifah) adalah menerapkan syariat Islam secara kafah dalam institusi Khilafah. Alhasil akan terbentuk individu- individu yang berkepribadian Islam, yakni pola pikir dan pola sikapnya Islam. Tidak seperti pada sistem demokrasi yang menghasilkan individu dan pemimpin yang materialistis, koruptor, pembohong, fasik menghalalkan segala cara, dan zalim.
Rasulullah saw. bersabda: "Pemimpin-pemimpin setelahku yang tidak mau mengambil petunjukku dan tidak mengikuti sunnahku. Siapa yang membenarkan kebohongan mereka dan membantu kezaliman mereka, maka mereka tidak termasuk golonganku dan aku bukan bagian dari mereka serta mereka tidak akan datang ke telagaku." (HR. Ahmad dan Al Hakim)
Wallahuallam bissawab.
Posting Komentar