Liberalisasi Ekonomi Penyebab Ketimpangan Pendapatan di Indonesia
Oleh : Muh. Abdul Gani, Aktivis Muslim
Liberalisasi ekonomi di Indonesia telah terbukti menyebabkan ketimpangan ekonomi yang sangat dirasakan rakyat. Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin. Studi dari Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan, harta 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan harta 50 juta warga lainnya. Lebih parahnya menurut Sri Mulyani, kekayaan 4 orang terkaya Indonesia sama dengan kekayaan 100 juta penduduk.
Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, gini ratio (alat ukur untuk mengetahui tingkat kesenjangan pembagian pendapatan di suatu wilayah) yang menjadi indikator ketimpangan pendapatan, mengalami kenaikan dari 0,379 pada Maret 2024 menjadi 0,381 pada September 2024. Hal ini menunjukkan distribusi pendapatan di Indonesia semakin tidak merata.
Nilai Rasio Gini berkisar antara 0 hingga 1. Nilai 0 menunjukkan kesetaraan sempurna, artinya semua orang memiliki pendapatan yang sama. Sedangkan sebaliknya nilai 1 menunjukkan ketimpangan sempurna. Nilai 1 dibaca satu orang memiliki seluruh pendapatan sementara yang lain tidak memiliki apa-apa. Secara umum rasio gini di bawah 0,3 dianggap sebagai ketimpangan rendah. 0,3–0,4 sebagai ketimpangan sedang, dan di atas 0,4 sebagai ketimpangan tinggi.
Jika dilihat, liberalisasi ekonomi adalah salah satu ciri dari sistem ekonomi kapitalisme, seperti yang di ungkapkan oleh Adam Smith dalam bukunya The Wealth of Nations, yang lebih menekankan pada perdagangan bebas dan pengurangan regulasi serta pembatasan pemerintah dalam perekonomian. Pemerintah akan membantu memastikan kegiatan ekonomi yang sedang berlangsung berjalan lancar dan berkelanjutan. Hal inilah yang menyebabkan investor asing berlomba-lomba masuk untuk menanamkan sahamnya sebagai pertukaran agar bisa mengeruk Sumber Daya Alam (SDA) yang ada di negeri ini. Sehingga menyebabkan mayoritas rakyat menjadi ‘budak’ di negeri sendiri dan menerima semua dampak dari kerusakan lingkungan akibat eksploitasi alam para investor.
Para investor juga telah menanamkan sahamnya di Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Beberapa BUMN yang telah diprivatisasi oleh segelintir pemodal yaitu PT. Telkom, PT. Bank Rakyat Indonesia, PT. Bank Negara Indonesia, PT. Semen Indonesia, dan PT. Krakatau Steel. Saham atau modal ini dijadikan cara sah untuk memprivatisasi BUMN yang seharusnya pemerintah kelola untuk dipergunakan semata-mata demi kemakmuran rakyat.
Kapitalisme-liberal pada kondisi saat ini telah berubah bentuk menjadi penjajahan gaya baru (neo-imperialisme). Sebelumnya bertumpu pada dominasi aspek militer, berikutnya lebih menekankan pada aspek ekonomi seperti utang luar negeri, tekanan politik, dan embargo. Pemerintah yang memilih sistem ekonomi ini pun akhirnya harus rajin berutang dan semua beban utang itu di limpahkan kepada rakyat dengan cara memajaki.
Inilah wajah buruk dari dampak penerapan sistem ekonomi kapitalisme-liberal yang terus menerus menggerogoti setiap sendi-sendi dalam kehidupan rakyat Indonesia. Dengan demikian, sistem ekonomi yang berbasis pada kapitalisme sudah selayaknya dijadikan musuh bersama karena menjadi biang kerok berbagai persoalan di Indonesia khususnya ekonomi.
Jika dalam sistem ekonomi kapitalisme-liberal lebih menitikberatkan pada kepemilikan individu dan korporasi untuk menguasai alat dan bahan produksi, berbeda halnya dengan sistem ekonomi Islam yang membagi kepemilikan menjadi 3 bagian yaitu milik pribadi, milik umum, dan milik negara.
Kepemilikan individu adalah izin Allah SWT kepada individu untuk memanfaatkan barang dan jasa. Contohnya bekerja, warisan, kebutuhan harta untuk mempertahankan hidup, pemberian negara, dan harta yang diperoleh indivudu tanpa bekerja.
Kepemilikan umum adalah izin dari asy-Syari’ (Allah SWT) kepada masyarakat secara bersama untuk memanfaatkan barang dan jasa. Misalnya, memanfaatkan; fasilitas umum, yaitu barang-barang yang mutlak diperlukan manusia dalam kehidupan sehari-hari seperti air, api (bahan bakar, listrik, gas), padang rumput (hasil hutan); barang barang yang kepemilikannya menghalangi adanya penguasaan individu seperti: sungai, danau, jalan, lautan, udara, masjid dan sebagainya; barang tambang dalam jumlah besar yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat seperti emas, perak, minyak dan sebagainya.
Kepemilikan negara adalah izin dari asy-Syari’ atas setiap harta yang hak pemanfaatannya berada di tangan negara seperti harta ghanimah, fa’i, khumus, kharaj, jizyah, 1/5 harta rikaz, ’ushr, harta orang murtad, harta orang yang tidak memiliki ahli waris, dan tanah hak milik negara.
Juga diatur tentang pengelolaan SDA agar bisa memberikan kesejahteraan yang sebenarnya. Nabi SAW bersabda “Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Pengelolaan kepemilikan umum pada prinsipnya menjadi hak dan wewenang negara. Adapun dari sisi pemanfaatannya dinikmati oleh masyarakat umum. Masyarakat umum bisa secara langsung memanfaatkan sekaligus mengelola harta-harta milik umum tadi jika barang-barang tersebut bisa diperoleh dengan mudah tanpa harus mengeluarkan dana yang besar, seperti pemanfaatan air di sungai atau sumur, mengembalakan ternak di padang rumput dan sebagainya.
Jika pemanfaatannya membutuhkan eksplorasi dan eksploitasi yang sulit, dan jika tidak dikelola oleh negara akan menimbulkan perselisihan, maka pengelolaan milik umum seperti ini dilakukan hanya oleh negara demi kemakmuran dan kesejahteraan seluruh rakyat. Hasil-hasil pengelolaan negara atas harta-harta milik umum jenis ini, diberikan kepada seluruh rakyat secara cuma-cuma atau dengan harga murah. Dengan cara ini rakyat bisa memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan murah.
Peran negara atas kepemilikan umum sebatas mengelola dan mengaturnya untuk kepentingan masyarakat umum. Negara tidak boleh menjual aset-aset milik umum atau melakukan privatisasi. Sebab, prinsip dasar dari pemanfaatan adalah kepemilikan. Seorang individu tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang dan jasa yang bukan menjadi miliknya.
Demikian pula negara, tidak boleh memanfaatkan atau mengelola barang yang bukan menjadi miliknya. Laut adalah milik umum, bukan milik negara. Pabrik-pabrik umum, tambang, dan lain-lain adalah milik umum, bukan milik negara. Atas dasar ini, negara tidak boleh menjual aset yang bukan menjadi miliknya kepada individu-individu masyarakat.
Dengan cara pengelolaan SDA seperti dalam pandangan Ekonomi Islam, maka setiap individu memiliki hak yang sama dan kekayaan alam yang dimiliki oleh negara akan dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan seluruh warga negara. Tidak akan terjadi yang namanya ketimpangan pendapatan dalam negara Islam karena individu atau korporasi tidak di perbolehkan untuk mengeksplorasi kekayaan alam dalam jumlah besar.[]
Posting Komentar