Khilafah, Darurat Selamatkan Palestina dari Penjajahan Zionis Israel
Oleh : Ghooziyah
Selama lebih dari tujuh dekade, bumi Palestina tak pernah benar-benar merdeka. Di sana, derita mengalir tanpa henti, darah menetes setiap hari, dan jeritan anak-anak terdengar nyaring menembus langit-langit dunia yang bisu. Zionis Israel, entitas penjajah, terus menerus melancarkan agresi brutal atas tanah para nabi. Dunia internasional hanya mampu mengutuk, sementara rakyat Palestina kehilangan rumah, keluarga, dan tanah kelahirannya.
Fakta-fakta kekejaman Israel sudah tak terbantahkan. Pembantaian, blokade, perampasan tanah, hingga penghancuran masjid dan rumah sakit menjadi pemandangan biasa. Bahkan, tempat-tempat yang seharusnya menjadi zona aman, seperti sekolah PBB atau kamp pengungsian, tak luput dari rudal-rudal penjajah. Namun anehnya, tak satu pun negara berani bertindak tegas. Kecaman-kecaman keras di panggung internasional hanyalah basa-basi diplomatik yang tak menghentikan genosida.
Dalam kondisi seperti ini, banyak yang bertanya: sampai kapan penderitaan ini akan berakhir? Apakah cukup hanya dengan bantuan kemanusiaan, demonstrasi, atau donasi? Jawabannya jelas: tidak. Semua itu penting sebagai bentuk kepedulian, tetapi bukanlah solusi tuntas untuk mengakhiri penjajahan. Palestina tidak butuh belas kasihan, mereka butuh pembebasan. Dan pembebasan tidak akan datang dari sistem internasional buatan Barat yang justru membiarkan Israel eksis.
Realitas ini membongkar kedok sistem politik global yang gagal menjamin keadilan. PBB, yang seharusnya menjadi lembaga penjamin perdamaian, justru tidak berdaya menghentikan agresi Israel. Amerika Serikat dan sekutu-sekutunya malah menjadi pendukung utama Israel secara ekonomi dan militer. Bahkan, negara-negara Muslim pun banyak yang memilih jalan kompromi. Alih-alih memutus hubungan, mereka membuka jalur normalisasi, membangun hubungan dagang, dan menandatangani perjanjian keamanan bersama penjajah.
Ini adalah bentuk nyata ketidakmampuan sistem nasionalis-sekuler dalam membela umat Islam. Negara-negara Muslim yang berdiri sendiri-sendiri, tanpa kepemimpinan yang menyatukan, tak ubahnya seperti potongan tubuh yang tercerai berai—tak mampu bertindak walau menyaksikan bagian tubuh lain dilukai. Padahal Islam telah mengajarkan bahwa umat ini adalah satu tubuh, dan setiap luka yang menganga di Palestina adalah luka bagi seluruh kaum Muslim.
Di sinilah pentingnya kehadiran Khilafah Islamiyah. Dalam sejarah, Khilafah adalah institusi yang mempersatukan umat Islam lintas wilayah dan bangsa. Di bawah naungan Khilafah, tidak ada batas-batas semu yang menghalangi bantuan militer dan politik untuk saudara seiman. Saat satu wilayah diserang, seluruh kekuatan Khilafah dikerahkan untuk membela. Sebagaimana dulu Khalifah Abdul Hamid II menolak keras permintaan Theodor Herzl untuk menyerahkan Palestina, Khilafah adalah benteng terakhir umat dari penjajahan.
Khilafah bukan hanya lambang persatuan, tetapi juga institusi yang memiliki kekuatan riil untuk bertindak. Ia memiliki otoritas syar’i, kekuatan militer, dan keberanian ideologis untuk mengusir penjajah dan melindungi wilayah kaum Muslim. Jihad fi sabilillah yang selama ini dibatasi oleh batas negara dan regulasi internasional, akan menjadi kebijakan resmi negara, bukan sekadar aksi sporadis kelompok tertentu.
Ketika Khilafah tegak, maka solusi atas Palestina akan kembali kepada hakikatnya: pembebasan tanah yang dijajah, pengusiran penjajah, dan perlindungan terhadap kaum Muslim yang tertindas. Tidak ada kompromi, tidak ada negosiasi wilayah, dan tidak ada normalisasi dengan entitas zionis yang telah menumpahkan darah umat.
Di sisi lain, upaya penegakan Khilafah juga merupakan bentuk nyata ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Islam tidak hanya datang sebagai agama spiritual, tetapi juga sistem kehidupan yang mengatur politik, militer, dan hubungan internasional. Ketika umat abai terhadap kewajiban menegakkan sistem Islam secara kaffah, maka yang terjadi adalah dominasi kekuatan kafir atas tanah-tanah kaum Muslim—seperti yang terjadi di Palestina hari ini.
Rasulullah SAW bersabda:
“Sesungguhnya Imam (Khalifah) itu laksana perisai, tempat orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa pemimpin umat Islam sejati bukan hanya pengurus administrasi, melainkan pelindung yang berdiri di garda depan membela umat. Tanpa Khilafah, umat Islam seperti domba yang tercerai berai tanpa gembala, mudah diserang oleh serigala-serigala buas seperti Israel.
Kini, tanggung jawab ada di pundak setiap Muslim. Apakah kita akan terus menonton penderitaan rakyat Gaza tanpa bergerak? Ataukah kita akan bersatu, menyadari bahwa hanya dengan kembalinya sistem Islam dalam bentuk Khilafah, umat ini dapat kembali memiliki kehormatan dan kekuatan?
Palestina menunggu pembebas, bukan penonton. Masjid Al-Aqsha tidak butuh slogan, tetapi pasukan. Rakyat Gaza tidak butuh pemimpin yang pandai bicara, tetapi pemimpin yang berani bertindak. Dan semua itu hanya mungkin terwujud dengan tegaknya Khilafah Islamiyah yang akan memimpin umat menuju kemuliaan.
Khilafah bukan mimpi, ia adalah janji Rasulullah SAW. Maka bangkitlah, wahai umat Islam. Jangan biarkan darah anak-anak Gaza tumpah sia-sia. Jangan biarkan Al-Aqsha terus direndahkan. Saatnya menyambut janji Allah, dan memperjuangkan institusi yang mampu menyelamatkan Palestina secara hakiki: Khilafah Islamiyah.
Wallahu a'lam
Posting Komentar