-->

Ekonomi Kapitalis: Hutang Rakyat Makin Menjamur, Jalan Menuju Kehancuran

Oleh : Henise

Ketika ekonomi dijalankan berdasarkan asas kapitalisme, rakyat bukan hanya dijauhkan dari kesejahteraan sejati, tapi juga didorong untuk hidup dalam jerat hutang yang semakin dalam. Kenyataan hari ini memperlihatkan bagaimana utang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat, bahkan dilegalkan dan difasilitasi oleh negara. Anehnya, ini semua dibungkus dengan narasi ‘solusi ekonomi modern’.

Dalam sistem kapitalisme, utang diposisikan sebagai alat utama untuk menggerakkan ekonomi. Pemerintah berutang untuk pembangunan, rakyat disarankan berutang untuk konsumsi, dan pelaku usaha dipaksa berutang untuk ekspansi. Inilah logika ekonomi yang dibangun oleh sistem sekuler ini 'kemajuan hanya mungkin diraih jika ada utang yang menopangnya'. Akibatnya, dari pemerintah pusat hingga keluarga kecil, semuanya kini tenggelam dalam lubang yang sama. Yaitu, lubang utang yang semakin tak berujung.

Data menunjukkan, dalam beberapa tahun terakhir, angka pinjaman masyarakat ke lembaga keuangan konvensional terus meningkat tajam. Tidak hanya melalui bank, masyarakat juga dibanjiri oleh kemudahan pinjaman digital, paylater, kartu kredit, bahkan koperasi dan pinjaman informal. Semua ini dilakukan atas nama ‘kemudahan akses finansial’. Namun di balik itu, realitas menunjukkan masyarakat semakin kesulitan keluar dari jeratan bunga dan denda yang mencekik.

Ironisnya, negara justru menjadi fasilitator utama. Lewat program-program kredit mikro, KUR (Kredit Usaha Rakyat), hingga aplikasi fintech yang berizin resmi, masyarakat diarahkan untuk menyelesaikan masalah ekonomi mereka dengan cara berutang. Bukan hanya itu, kurikulum pendidikan pun diam-diam membentuk mindset generasi muda untuk menganggap pinjaman sebagai bagian wajar dari kehidupan modern.

Lebih menyedihkan lagi, saat masyarakat jatuh miskin karena utang, negara tidak hadir sebagai pelindung, melainkan justru menjadi penagih. Ribuan kasus menunjukkan bagaimana masyarakat kecil dipermalukan, diteror, bahkan disita asetnya hanya karena gagal membayar pinjaman kecil. Rakyat diposisikan sebagai objek bisnis keuangan, bukan sebagai pemilik hak kesejahteraan.
Inilah wajah kapitalisme. Sistem yang tidak dibangun untuk memenuhi kebutuhan manusia secara adil dan manusiawi, tapi justru memfasilitasi kekayaan bagi segelintir elite. Bank, fintech, dan lembaga keuangan menjadi pilar utama sistem ini, menggerogoti ekonomi rakyat demi keuntungan pemilik modal. Negara bukan lagi pengayom, tetapi bagian dari mekanisme pasar yang mengejar pertumbuhan ekonomi di atas penderitaan rakyat.

Dalam Islam, seluruh bangunan ekonomi kapitalisme ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Islam tidak pernah menjadikan utang sebagai tulang punggung pembangunan, apalagi mendorong masyarakat untuk menggantungkan hidup pada pinjaman. Dalam sistem Islam, pembangunan dilakukan atas dasar pengelolaan sumber daya alam dan kekayaan umum yang dikuasai negara untuk kepentingan umat. Negara menjadi pelindung, bukan mitra korporasi atau rentenir.
Lebih dari itu, Islam mengharamkan riba dalam segala bentuknya. Segala bentuk pinjaman berbunga, termasuk bunga bank dan denda pinjaman digital, adalah riba yang dilaknat oleh Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda:
“Riba memiliki tujuh puluh tiga pintu, yang paling ringan seperti seorang laki-laki yang menzinai ibunya sendiri.” (HR. Al-Hakim)

Betapa mengerikannya dosa riba dalam pandangan Islam, namun justru dijadikan tulang punggung ekonomi kapitalisme hari ini. Ini bukan hanya persoalan teknis ekonomi, tetapi soal pelanggaran terhadap prinsip dasar agama.
Sistem Islam hadir dengan solusi yang radikal namun solutif. Dalam Khilafah Islamiyah, negara bertugas menjamin kebutuhan pokok rakyat: pangan, papan, pendidikan, kesehatan, dan keamanan. Negara mengelola kekayaan umum seperti tambang, hutan, air, dan energi, untuk membiayai kebutuhan rakyat tanpa memungut pajak ataupun memaksa rakyat berutang. Ekonomi digerakkan berdasarkan produktivitas dan distribusi kekayaan yang adil, bukan berdasarkan dorongan konsumtif dan akumulasi utang.

Negara dalam Islam tidak akan pernah membiarkan rakyat terjerat utang berbunga. Jika pun ada utang dalam kehidupan pribadi, Islam mengaturnya dengan sangat hati-hati dan mendorong penyelesaian tanpa merugikan salah satu pihak. Utang bukan alat bisnis, melainkan hanya solusi darurat yang bersifat temporer.
Penting bagi umat untuk menyadari bahwa menjamurnya utang rakyat saat ini bukanlah tanda kemajuan ekonomi, melainkan bukti kegagalan sistem yang menjadikan riba sebagai landasan. Selama ekonomi masih dijalankan dalam kerangka kapitalisme, maka rakyat akan terus digiring ke dalam jebakan utang, dan jurang kemiskinan akan semakin dalam.

Sudah saatnya umat Islam kembali kepada sistem Islam secara kaffah. Bukan sekadar memboikot pinjaman berbunga atau menolak paylater, tetapi dengan memperjuangkan sistem kehidupan yang mengharamkan riba sejak dari akarnya, yaitu Khilafah Islamiyah. Hanya dengan sistem inilah, ekonomi akan berjalan berdasarkan keadilan dan keberkahan, bukan utang dan kehancuran.
Jika utang menjadi wajah dari ekonomi hari ini, maka Islam menawarkan wajah lain yaitu wajah rahmat dan keadilan yang sejati. Tinggal kita, umat ini, mau tetap tenggelam dalam hutang-hutang kapitalisme, atau bangkit menuju kejayaan ekonomi Islam yang bebas dari riba.

Wallahu a'lam