Anak Jadi Sasaran Judol, Kapitalisme jadi Biang Keroknya
Oleh : Patima Rahadi
Kecanggihan teknologi saat ini sangat memudahkan semua kalangan mengakses berbagai informasi, hal tersebut dapat membawa pengaruh positif dan dapat pula berdampak negatif jika arus teknologi dibiarkan begitu saja tanpa pengawasan serta diatur dengan baik. dampak negatif tersebut sangat memungkinkan anak-anak dibawah umur ikut terjerat dalam kubangan hitam arus teknologi tersebut.
Faktanya data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) per 8 Mei 2025 mencatat sekitar 197.054 anak usia 10–19 tahun terlibat dalam aktivitas judol, dengan nilai deposit mencapai Rp 50,1 miliar pada triwulan I-2025 (beritasatu.19/5/25).
PPATK menemukan bahwa transaksi judi online atau judol telah dilakukan juga oleh anak-anak berusia 10 tahun di Indonesia. Ini terungkap dalam laporan Program Mentoring Berbasis Risiko (Promensisko).
Promensisko bertujuan memperkuat kapasitas pemangku kepentingan dalam memahami pola, mendeteksi dini, dan merespons secara efektif tindak pidana pencucian uang berbasis digital.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana mengatakan data kuartal I-2025, yang dikumpulkan oleh PPATK menunjukkan jumlah deposit yang dilakukan oleh pemain berusia 10-16 tahun lebih dari Rp 2,2 miliar. Usia 17-19 tahun mencapai Rp 47,9 miliar dan deposit yang tertinggi usia antara 31-40 Tahun mencapai Rp 2,5 triliun (CNBC Indonesia, 11/05/2025).
Data tersebut menunjukan jika hal ini dibiarkan akan menjadi bencana bagi keberlangsungan generasi. Ketidakstabilan anak-anak dalam memilah prilaku rentan terhadap pengaruh buruk jika tidak diberikan arahan yang tepat serta akan menjadi kehancuran bagi kehidupan mendatang.
Fenomena judi online yang menyasar anak-anak bukan sebuah kebetulan semata. Sistem kapitalisme saat ini menjadikan keuntungan sebagai tujuan utama kehidupan, meski harus merusak generasi muda. Industri ini memanfaatkan celah psikologis dan visual untuk menarik anak-anak dengan bantuan teknologi. Inilah wajah asli kaum kapitalisme yang rakus dan tidak mengenal batas moral.
Dalam peranannya, pemerintah tidak memiliki upaya serius dan sistematis dalam mencegah maupun mengatasi permasalahan judi online. Pemutusan akses dilakukan setengah hati dan tebang pilih, sementara banyak situs lain tetap aktif. Ini membuktikan bahwa demokrasi kapitalisme tidak memiliki solusi hakiki dalam menyelamatkan generasi muda dari kriminalitas.
Orang tua khususnya ibu memiliki peran sentral dalam membentengi anak dari kerusakan moral saat ini, termasuk jebakan judi online. Keluarga Muslim senantiasa akan melahirkan anak-anak yang kuat baik secara akidah maupun moral serta tidak mudah melakukan kemaksiatan. Namun peran ini akan sulit jika orang tua sendiri terbebani oleh himpitan ekonomi dengan sistem kapitalisme seperti saat ini, yang mana semua kebutuhan menjulang tinggi dan hal itu menyebabkan para orang tua tak sempat mendidik dan mengawasi anak.
Dalam sistem pendidikan Islam tidak hanya fokus pada aspek akademik saja, tapi juga berupaya membentuk pola pikir dan sikap anak sesuai ajaran Islam. Anak dididik untuk memahami bagaimana sesuatu itu halal atau haram serta menjadikan halal-haram sebagai standar dalam berperilaku dalah berkehidupan, termasuk memilih literasi digital sesuai dengan batasan syariat.
Idealnya peran negara dalam Islam (Khilafah) bertugas sebagai penjaga rakyat dari segala bentuk kerusakan, termasuk judi online. Negara mampu menutup akses secara menyeluruh dan mencegah konten-konten merusak lainnya. Digitalisasi akan diarahkan untuk kemaslahatan rakyat, sehingga rakyat dapat dengan tenang dan aman dalam memanfaatkan perkembangan digitalisasi yang pesat bagi keluarganya.
Posting Komentar