-->

Lonjakan Harga Pangan Menjelang Ramadan: Tradisi atau Kebijakan yang Gagal?


Oleh : Umma Almyra

Bulan suci Ramadan seharusnya menjadi momen penuh berkah dan kebahagiaan bagi umat Islam. Sayangnya, setiap tahun, kedatangan bulan ini sering kali dibayangi oleh kenaikan harga pangan yang signifikan. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan keresahan di masyarakat, tetapi juga memunculkan pertanyaan: apakah lonjakan harga menjelang Ramadan benar-benar sebuah tradisi yang harus diterima, atau justru cerminan dari kebijakan yang kurang efektif?

Harga Pangan Melonjak, Masyarakat Kian Tertekan

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengingatkan pemerintah untuk mewaspadai potensi kenaikan harga pangan menjelang Ramadan dan Idulfitri. Plt. Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, dalam Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah di Jakarta (4/2/2025) menyoroti beberapa komoditas pangan yang mengalami lonjakan harga, seperti telur ayam ras, daging ayam ras, cabai merah, cabai rawit, dan minyak goreng.

Data BPS menunjukkan bahwa harga telur ayam ras pada akhir Januari 2025 telah melampaui harga acuan penjualan (HAP), dengan angka tertinggi mencapai Rp42.000 per kg di beberapa daerah. Begitu pula dengan harga daging ayam yang di beberapa wilayah, seperti Papua, bahkan menyentuh angka Rp100.000 per kg. Sementara itu, cabai merah dan cabai rawit juga mengalami kenaikan tajam, jauh melampaui batas harga yang dianjurkan.

Inflasi akibat lonjakan harga pangan ini bukanlah fenomena baru. Pada Ramadan 2024, inflasi mencapai 0,52%, sementara sektor makanan, minuman, dan tembakau mengalami kenaikan 0,41%. Tahun ini, kenaikan harga pangan kembali terjadi di berbagai provinsi, termasuk Bengkulu, Sumatra Barat, Riau, Kepulauan Riau, dan Papua Selatan.

Ketergantungan Impor dan Distribusi yang Bermasalah

Secara teori, kenaikan permintaan pangan menjelang Ramadan seharusnya bisa diprediksi dan diantisipasi dengan perencanaan yang matang. Namun, kenyataannya, Indonesia masih sangat bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan, seperti beras, bawang putih, daging, dan gula. Pada 2023, impor pangan Indonesia mencapai US$13,8 miliar atau sekitar Rp223,97 triliun, meningkat 5,3% dari tahun sebelumnya.

Ketergantungan terhadap impor ini menjadikan Indonesia rentan terhadap fluktuasi harga global dan kelangkaan stok dalam negeri. Ironisnya, meskipun stok nasional dianggap mencukupi, harga pangan tetap meroket. Hal ini menunjukkan bahwa permasalahan utama bukan hanya pada ketersediaan barang, tetapi juga pada distribusi yang kurang efisien. Praktik penimbunan (ihtikar), monopoli, kartel, dan mafia impor semakin memperburuk keadaan.

Kasus-kasus semacam ini sudah sering terjadi. Pada 2023, Perum Bulog mengungkap adanya mafia beras yang menyebabkan harga melonjak. Di tahun yang sama, Satgas Pangan Sumut menemukan 75,6 ton minyak goreng yang ditimbun di Medan. Bahkan, pada 2024, hanya 20% dari bawang putih impor yang benar-benar didistribusikan ke pasar, sementara sisanya diduga sengaja ditahan untuk dijual dengan harga lebih tinggi.

Sistem Kapitalisme dan Pengabaian terhadap Kesejahteraan Rakyat

Lonjakan harga pangan yang terus berulang ini tidak bisa dilepaskan dari sistem ekonomi yang diterapkan. Dalam sistem kapitalisme, kebijakan pangan sering kali lebih berpihak kepada kepentingan korporasi dibandingkan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah berperan sebagai regulator yang hanya memastikan stok nasional mencukupi, tetapi tidak mengontrol distribusi hingga ke tangan rakyat.

Kondisi ini semakin diperparah dengan lemahnya daya beli masyarakat akibat kebijakan ekonomi yang tidak berpihak pada pekerja. Relaksasi impor yang berlebihan membuat banyak industri manufaktur dalam negeri terpuruk, menyebabkan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal dan rendahnya upah buruh. Akibatnya, banyak keluarga yang kesulitan memenuhi kebutuhan pangan sehari-hari, terutama saat harga melonjak tajam.

Islam Menawarkan Solusi Ketahanan Pangan yang Adil

Berbeda dengan sistem kapitalisme, Islam memiliki mekanisme yang jelas dalam menjamin ketersediaan dan distribusi pangan secara adil. Dalam Islam, negara bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan rakyat, termasuk dalam urusan pangan. Rasulullah saw. bersabda, "Sesungguhnya imam (penguasa) adalah raa’in (pengurus) dan ia bertanggung jawab terhadap (rakyat) yang dipimpinnya." (HR Bukhari).

Dalam sistem ekonomi Islam, produksi pangan dalam negeri akan ditingkatkan secara maksimal untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor. Negara akan memberikan dukungan penuh kepada petani, peternak, dan industri pangan lokal dengan menyediakan lahan, bibit, pupuk, serta subsidi lainnya. Dengan demikian, kebutuhan pangan masyarakat bisa terpenuhi tanpa harus bergantung pada pasar global.

Selain produksi, distribusi juga menjadi perhatian utama dalam sistem Islam. Negara akan melakukan pengawasan ketat terhadap harga dan mencegah praktik monopoli, penimbunan, serta permainan harga oleh spekulan. Khalifah akan menunjuk qadi hisbah sebagai pengawas pasar yang memastikan perdagangan berjalan sesuai syariat Islam.

Penimbunan barang yang menyebabkan kelangkaan dan lonjakan harga juga dilarang dalam Islam. Rasulullah saw. bersabda, "Tidak akan melakukan penimbunan selain orang yang salah." (HR Muslim). Larangan ini menunjukkan bahwa menimbun barang demi keuntungan pribadi adalah tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam Islam.

Fenomena kenaikan harga pangan menjelang Ramadan bukanlah tradisi yang harus diterima begitu saja, tetapi merupakan indikasi dari kegagalan sistem ekonomi yang diterapkan saat ini. Ketergantungan pada impor, distribusi yang tidak merata, serta praktik spekulasi yang merugikan rakyat adalah bukti nyata dari kelemahan sistem kapitalisme dalam menjamin kesejahteraan masyarakat.

Islam menawarkan solusi nyata dengan sistem ekonomi yang berbasis pada keadilan dan kesejahteraan rakyat. Dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, lonjakan harga pangan yang selalu terjadi menjelang Ramadan bisa dihindari, sehingga masyarakat dapat menjalankan ibadah dengan tenang dan penuh khusyuk. 

Wallahu a’lam bishawab.