Kenaikan Tunjangan Guru, Akankah Mensejahterakan?
Oleh : Bunda Hanif
Presiden Prabowo Subianto menaikkan alokasi anggaran untuk kesejahteraan guru ASN dan non-ASN pada 2025 menjadi RP 81,6 triliun, naik sebesar Rp 16,7 triliun dibandingkan tahun sebelumnya. Pernyataan beliau disebut-sebut sebagai “kado manis” bagi para guru pada Hari Guru Nasional, 25 November lalu.
Rencana Presiden adalah dengan menaikkan tunjangan kesejahteraan bagi guru ASN senilai satu bulan gaji, sedangkan untuk guru non-ASN kenaikan tunjangannya hanya sebesar RP 500.000 per bulan. Ini karena saat ini gaji guru non-ASN yang lulus sertifikasi / pendidikan profesi guru (PPG) sudah sebesar Rp 1,5 juta. Dengan adanya kenaikan tunjangan tersebut, pada 2025 nanti gajinya menjadi Rp 2 juta. (Muslimahnews.com, 3/12/2024)
Untuk mendapatkan gaji Rp1,5 juta itu ada syarat yang harus dipenuhi oleh guru non-ASN yakni harus memiliki 24 jam mengajar. Namun pada faktanya, banyak guru non-ASN yang telah lulus PPG tidak mendapatkan gaji sebesar itu karena jam mengajarnya masih kurang dari 24.
Rencana kenaikan tunjangan guru jika dihadapkan pada realitas saat ini, nominalnya tidak sebanding dengan besarnya biaya hidup saat ini seperti biaya konsumsi bahan pangan, biaya tempat tinggal, kesehatan, pendidikan, keamanan, transportasi/BBM hingga komunikasi/kuota data.
Di dalam sistem kapitalisme, memosisikan guru tidak ubahnya seperti pekerja, tak jauh berbeda dengan posisi para buruh bagi industri. Tambahan tunjangan yang jumlahnya secuil itu dianggap bisa meningkatkan kesejahteraan atau merubah nasib guru, padahal jasa guru bagi murid-muridnya tidak bisa dinilai dengan nominal sebesar apa pun.
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa kenaikan gaji guru adalah salah satu faktor penunjang pendidikan berkualitas. Namun, dalam sistem kapitalisme guru akan berjuang sendiri untuk meningkatkan kesejahteraan hidupnya. Pengelolaan pendidikan di sistem kapitalisme layaknya paradigma bisnis dari penguasa kepada rakyatnya. Akibatnya biaya pendidikan menjadi mahal dan harus dibayar oleh rakyat. Sebaliknya, sebagaimana berjalannya proses produksi, gaji guru sebagai faktor produksi tentu harus dibuat serendah mungkin agar keuntungan (profit) yang diperoleh bisa lebih besar. Bahkan nasib guru jauh lebih memprihatinkan dari sekadar persoalan gaji, yakni dengan adanya beban pekerjaan yang banyak dan beban administratif yang rumit.
Sebenarnya penentu kualitas pendidikan tidak hanya keberadaan guru, tetapi juga kurikulum yang harus dibenahi jika pemerintah benar-benar serius dan berniat tulus untuk mencerdaskan bangsa. Juga harus ada sinergi proses pendidikan di antara individu peserta didik, keluarga, sekolah dan masyarakat.
Guru Sejahtera Hanya di Sistem Islam
Untuk mewujudkan pendidikan yang berkualitas memang perlu upaya dan biaya yang cukup besar. Namun itu semua bisa terwujud jika pemerintah berperan penuh selaku penanggung jawab urusan rakyat. Jika mahalnya biaya pendidikan dibebankan kepada rakyat, sudah dapat dipastikan rakyat dari kalangan ekonomi lemah tidak mampu mendapatkannya.
Pendidikan seharusnya memang diselenggarakan sepenuhnya oleh negara dan diberikan kepada rakyatnya secara cuma-cuma. Mulai dari penyediaan tenaga pendidik, infrastruktur, sarana dan prasarana, serta menganggarkan seluruh pembiayaannya dari kas negara.
Pendidikan yang diselenggarakan oleh sistem Islam (Khilafah) mengharuskan negara melalui pemimpinnya untuk bertanggung jawab menjamin kemaslahatan umum, termasuk pendidikan. Negara bukan sebagai regulator seperti yang terdapat dalam sistem kapitalisme, melainkan sebagai peri’ayah (raa’in) dan penanggung jawab atas urusan rakyatnya. Pemimpin / penguasa yang dipilih harus lah yang amanah dan adil dan menghabiskan seluruh waktunya untuk rakyatnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam (khalifah/kepala negara) adalah pengurus rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawabannya atas rakyat yang diurusnya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Pendidikan di dalam Islam merupakan perkara yang vital karenanya tidak boleh diukur hanya dari dimensi keuntungan materi. Untuk membiayai pendidikan negara memiliki dua sumber pendapatan yang diambil dari baitulmal.
Sejarah mencatat, gaji guru pada masa Khilafah Abbasiyyah sangat besar jumlahnya. Gaji para guru di masa itu sama dengan gaji para muazin, yakni 1.000 dinar/tahun (sekitar 83,3 dinar/bulan). Jika nilai 1 dinar sama dengan 4,25 gram emas dan harga emas saat ini sekitar Rp 1,5 juta/gram, berarti gaji guru pada masa itu sekitar Rp 6,375 miliar / tahun atau Rp 531 juta / bulan.
Guru dan ulama pada masa kejayaan Islam benar-benar dimuliakan. Para guru dan ulama sangat dimuliakan dan dihargai jasa-jasanya. Kesejahteraan guru di masa itu benar-benar menjadi perhatian Khalifah. Mereka diberikan gaji yang sangat layak agar mereka serius dalam menjalani pekerjaannya tanpa harus memikirkan kebutuhan hidup keluarganya.
Wallahu a’lam bisshowab
Posting Komentar