Bukan Layak Tapi Zalim
Oleh : Sartinah (Aktivis Mahasiswa)
Badan Pusat Statistik merilis standar hidup layak warga Indonesia sebesar Rp1,02 juta perbulan. BPS mengatakan meskipun namanya standar tapi ini bukan kriteria layak atau tidaknya warga Indonesia. Karena standar hidup layak hanya bagian dalam pengukuran indeks pembangunan manusia (PIM). Nominal tersebut hanya mencerminkan banyaknya jumlah barang dan jasa yang di konsumsi masyarakat Indonesia. BPS pun menyebut semakin tinggi angkanya makan standar hidupnya lebih baik, (28-11-24).
Standar hidup layak yang dirilis BPS pun banyak menuai kontroversi dari kalangan masyarakat dimulai dari para buruh hingga presiden ASPIRASI (Asosiasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) juga ikut mengomentari bahwa kata standar itu jangan sampai salah pemaknaan karena dengan standar hidup layak di Indonesia itulah yang dijadikan sebagai salah satu dasar perhitungan upah minimum propinsi. Sedangkan kebayakan pendapatan yang di peroleh buruh dalam sebulan sebesar Rp3 juta perbulan yang harus menghidupi istri dan anaknya, jangan sampai BPS hanya mensurvei para pekerja lajang yang belum ada tanggungan kepada istri dan anaknya, Ujarnya.
BPS sepertinya hanya mensurvei masyarakat yang memiliki kecukupan kebutuhan sehingga merilis jumlah tersebut, sedangkan didunia nyata tidak demikian. Masih banyak masyarakat yang memperoleh gaji dibawah Rp 1jt perbulan dimana dengan gaji kecil itu harus terbebani dengan biaya kebutuhan yang semakin mahal dan tak bisa dikurangi, semisal biaya listrik dan biaya kontrakan yang tidak bisa ditawar-tawar. Harga sandang dan pangan pun setiap bulan harganya selalu melonjak.
Maka masyarakat yang kurang pendapatannya dalam sebulan akan terus menjerit sedangkan masyarakat yang memiliki kebutuhan cukup akan ada di zona aman-aman saja. Artinya ini bukan standar hidup layak melainkan zalim. Hal demikian suatu keniscayaan dalam sistem kapitalisme, yang kaya akan semakin kaya dan miskin semakin miskin. Negara seharusnya mampu mengatur dan mengurus rakyatnya sehingga tidak ada yang terzalimi namun nyatanya negara hanya hadir sebagai regulator yang membiarkan rakyatnya mengurus dan memgatur hidupnya masing-masing. Tanpa memperhatikan layak atau tidak.
Berbeda halnya dengan sistem yang diatur dengan Islam. Islam menjadikan negara sebagai (raa'in) yang wajib mengurus rakyat, menjamin kebutuhan rakyatnya dimulai dari kebutuhan sandang, pangan, papan, pendidikan dan kesehatan sehingga dapat terwujud kesejahteraan bagi rakyat. Rakyat tidak lagi pusing untuk memikirkan bagaimana cara menghidupi dirinya dan keluarganya. Sebagaimana sabda Nabi “Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal : dalam air, padang rumput [gembalaan], dan api.” (HR. Abu Dawud, Ahmad, Ibnu Majah).
Negara harus mampu mengelola tiga hal itu untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan segelintir orang. Sehingga hasil pengelolaan tersebut akan dikembalikan kepada rakyat untuk memenuhi kebutuhan mereka secara baik. Sungguh indahnya bila aturan kehidupan bersumber dari Sang Pencipta Allah Swt.
Posting Komentar