-->

PPN NAIK, RAKYAT MAKIN TERCEKIK?


Oleh : Linda Anisa

Kebijakan terkait naiknya PPN menjadi 12% terhitung 2025 yang menuai penolakan dari masyarakat, tampaknya akan tetap direalisasikan oleh pemerintah. Menteri Keuangan Sri Mulyani berdalih kenaikan PPN 12 persen sesuai mandat Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 yang memutuskan PPN dinaikkan secara bertahap, yakni 11 persen pada 1 April 2022 dan 12 persen pada 1 Januari 2025 (Tempo.co, 25/11/2025).

Kenaikan PPN ini diklaim sebagai cara untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Dikutip dari situs resmi Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), rencana kenaikan tarif PPN ini adalah bagian dari upaya reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan (Detikjogja,14/5/2024).

Namun tidak dipungkiri badai penolakan juga datang dari berbagai kalangan. Mereka menganggap kebijakan ini hanya akan semakin menambah penderitaan rakyat. Partai Buruh yang mengklaim sebagai satu-satunya partai politik yang digerakkan oleh kelas pekerja, menolak dengan tegas wacana PPN 12 persen dan mengancam akan mogok massal.

Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta Widjaja Kamdani, juga menuturkan penolakan tersebut berlandaskan kekhawatiran penurunan konsumsi masyarakat. "Implementasi kebijakan PPN pada saat seperti ini justru berisiko menekan konsumsi domestik" ungkapnya.

Dampak Negatif Kenaikan PPN 
 
Dalam situs Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), Kumara Adji Kusuma selaku ekonom Umsida, mengungkapkan terdapat dampak positif dan negatif dari kenaikan PPN ini. Adapun dampak negatifnya menurut Kumara antara lain (detikjogja.com): Kenaikan biaya hidup, Inflasi, Pengurangan daya beli, Dampak sektor usaha (usaha kecil dan menengah kesulitan menaikkan harga produk untuk menutupi tambahan tarif PPN, sementara perusahaan besar mungkin dapat mentransfer biaya ini kepada konsumen), Potensi pengeluaran negative, Keseimbangan pendapatan (masyarakat dengan pendapat rendah mungkin akan lebih terbebani).

Ekonomi Kapitalisme Sumber Masalah 
  
Sekalipun kebijakan kenaikan PPN di klaim sebagai upaya reformasi perpajakan dan menaikkan penerimaan perpajakan, namun faktanya belum tentu meningkatkan penerimaan negara apalagi mengurangi utang. Namun kesengsaraan rakyat tentulah sesuatu yang pasti, terlebih di tengah situasi ekonomi yang kian sulit. Belum lagi korupsi yang tiada henti hingga pemerintah yang gemar hutang. 

Inilah konsekuensi yang harus dihadapi akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan negara. Disisi lain negara hanya sebagai fasilitator yang melayani kepentingan para pemilik modal.

Mirisnya lagi hasil pajak yang menjadi modal utama pemasuskan negara untuk biaya pembangunan nyatanya tidak memberikan pengaruh yang nyata pada nasib rakyat. Ini bisa dilihat dari banyaknya jalan yang rusak hingga memakan korban, banyaknya sekolah – sekolah yang memiliki gedung tak layak pakai bahkan hingga tak memiliki gedung, mahalnya biaya kesehatan dan pendidikan, dan sebagainya. 

Beginilah nasib suatu negeri yang menjadikan pajak sebagai pendapatan utama negara sehingga rakyat yang menjadi korbannya. Tentu ini akan berbeda jika hidup dalam negara yang menjadikan aturan Islam sebagai landasannya. Islam tidak menjadikan pendapatan negara dari satu sumber saja melainkan menetapkan sumber pendapatan negara dari banyak hal. 

Adapun pemasukan dalam negera Islam dibagi kedalam tiga sumber. Pertama pemasukan yang berasal dari Fa’I dan kharaj yang meliputi ghanimah, kharaj, tanah – tanah, jizyah fa’I dan pajak. Kedua, pemasukan yang berasal dari kepemilikan umum seperti minyak bumi, gas, listrik, barang tambang, laut, padang gembalaan, hutan, mata air, dan sebagainya. Ketiga, melalui zakat. Melalui pendapatan negara ini, maka negara akan mampu memenuhi kebutuhan rakyat dan memberikan kesejahteraan pada mereka tanpa adanya pungutan pajak apalagi menambah beban rakyatnya.
Dan negara pun hanya memungut pajak dalam kondisi tertentu saja yaitu ketika kas negara mengalami kekosongan sedangkan pada saat yang sama ada kebutuhan rakyat yang harus segera dipenuhi. Zakat tersebut pun hanya dipungut dari kaum muslim yang kaya saja. Dan ketika kebutuhan dana sudah tercukupi maka pemungutan pajak pun akan diberhentikan sehingga kedzaliman tidak adkan ditimbulkan.     

Wallahu a’lam bi ash sawab