-->

PPN NAIK : RAKYAT KEMBALI DI CEKIK!


Oleh : Umma Almyra

Sungguh menyedihkan, di tengah tekanan ekonomi akibat deflasi, masyarakat harus terus menghadapi kenyataan pahit. Pemerintah kembali mengumumkan kenaikan pajak. Tanpa menghiraukan kondisi kehidupan rakyatnya, pemerintah memandang kenaikan harga sebagai hal yang wajar.

Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% yang diumumkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati akan mulai berlaku paling lambat 1 Januari 2025. Kebijakan ini diambil berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan dan bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara serta mendukung pembangunan.

Para pengamat ekonomi telah memperingatkan bahwa kenaikan PPN dapat menambah beban bagi konsumen, berpotensi mengurangi Produk Domestik Bruto (PDB), dan meningkatkan angka kemiskinan. Walaupun peningkatan PPN hanya berkisar antara 1 hingga 2 persen, hal ini tetap akan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Harga barang akan meningkat, sehingga pengeluaran untuk biaya hidup akan semakin besar. Terlebih lagi, sejak awal tahun, harga barang kebutuhan masyarakat seperti minyak goreng, gas elpiji, ayam, daging sapi, dan cabai rawit telah melonjak. Tentu saja, ini akan membuat beban ekonomi masyarakat semakin berat.

PPN Indonesia akan menjadi salah satu yang tertinggi di kawasan ASEAN, sebanding dengan Filipina. Pemerintah berkomitmen untuk melakukan sosialisasi yang efektif agar masyarakat dapat memahami perubahan ini. Penjelasan yang baik sangat penting untuk menjaga kesehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta memastikan bahwa kebijakan ini dapat dikelola dengan baik. Jika diterapkan secara tepat, diharapkan kenaikan tarif ini tidak hanya dapat memperbaiki sistem perpajakan, tetapi juga mendorong inovasi dan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.

Narasi Pajak

Kenaikan tarif PPN diklaim sebagai upaya untuk meningkatkan pendapatan negara demi mendukung pembiayaan pembangunan dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, kenyataannya tidak selalu berujung pada peningkatan pendapatan negara atau pengurangan utang. Yang jelas, dampaknya adalah kesengsaraan masyarakat, terutama di tengah kondisi ekonomi yang sulit, yang menyebabkan penurunan daya beli rakyat.

Selain itu, terdapat masalah korupsi dan kebiasaan pemerintah yang cenderung berhutang. Situasi ini merupakan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalis, di mana pajak dijadikan sebagai sumber pendapatan negara. Di sisi lain, negara hanya berperan sebagai regulator dan fasilitator, melayani kepentingan para pemilik modal.

Narasi tentang pajak sering kali diposisikan sebagai keharusan yang perlu didukung oleh masyarakat dengan pemahaman dan sikap positif. Negara terus berupaya meyakinkan rakyat bahwa pajak adalah suatu kebaikan, meskipun dalam praktiknya, pajak menjadi sumber utama pendapatan negara, yang mencapai lebih dari 80% dari total penerimaan.

Data BPS 2023 menunjukkan bahwa dari total penerimaan negara sebesar Rp2.443,187 triliun, pajak berkontribusi Rp2.016,923 triliun. Hal ini menunjukkan ketergantungan besar negara pada pajak, sementara penerimaan dari sumber lain sangat terbatas. Sejak reformasi perpajakan dimulai pada tahun 1983, penerimaan pajak meningkat pesat, dari hanya Rp13 triliun hingga diperkirakan mencapai Rp1.998,9 triliun pada 2024.

Di sisi lain, pascapandemi, pemerintah harus fokus pada pemulihan ekonomi yang memerlukan dana besar untuk pembangunan dan pembayaran utang. Hingga April 2024, utang pemerintah mencapai Rp8.338,43 triliun, meningkat sekitar 0,92% dari bulan sebelumnya. Dengan demikian, beban pajak yang ditanggung rakyat semakin berat, menciptakan kesan bahwa sistem perpajakan berfungsi lebih sebagai pemalak daripada sebagai instrumen pembangunan.

Pajak dalam Islam

Berbeda dengan negara khilafah yang menerapkan hukum Islam, pajak tidak dijadikan sebagai sumber pendapatan tetap. Pajak hanya dipungut saat kas negara kosong. Setelah kondisi keuangan negara membaik, penarikan pajak harus segera dihentikan. Dalam pandangan Islam, pajak tidak dikenakan kepada semua warga negara, melainkan hanya pada kaum muslim yang memiliki kekayaan, khususnya laki-laki yang telah baligh. Wanita, anak-anak, orang tua, dan mereka yang tergolong fakir miskin tidak dikenakan pajak.

Jika seseorang tidak memiliki kelebihan, maka pajak tidak akan dipungut darinya. Memungut pajak di luar ketentuan ini dianggap sebagai tindakan zalim yang akan mendapatkan ancaman dari api neraka. Sebagaimana sabda Rasulullah saw. dalam hadis: “Sesungguhnya para pemungut pajak (diazab) di neraka.” (HR Ahmad 4/143, Abu Dawud 2930).

Dalam Islam, pendapatan negara seharusnya tidak bergantung pada utang atau pajak. Negara seharusnya mandiri tanpa utang luar negeri dan tidak membebani rakyat dengan pajak yang menyengsarakan. Sebaliknya, negara berperan sebagai pelindung yang memenuhi kebutuhan pokok rakyat, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan.

Pengelolaan sumber daya alam juga menjadi alternatif pendapatan negara. Dengan pengelolaan yang tepat, negara bisa memenuhi anggaran belanja tanpa harus bergantung pada swasta atau utang. Selain pajak, Islam memiliki beragam sumber pendapatan negara seperti ghanimah, jizyah, kharaj, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan harta orang murtad.

Kekayaan alam dianggap sebagai milik bersama. Rasulullah saw. bersabda, “Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, rumput, dan api” (HR Ibnu Majah). Oleh karena itu, tidak sah jika hanya segelintir orang yang memiliki kekayaan tersebut. Negara juga dilarang menyerahkan pengelolaannya kepada pihak swasta. Kekayaan alam yang melimpah di negara-negara umat Islam seharusnya dikelola oleh negara, dan hasilnya dikembalikan untuk kesejahteraan rakyat. Dengan cara ini, masyarakat dapat menikmati kekayaan alam tanpa dibebani berbagai jenis pajak oleh negara.

Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini telah jelas membuat kehidupan masyarakat semakin sulit. Berbagai jenis pajak yang dipungut sebagai sumber pendapatan utama negara justru memperburuk kondisi ekonomi dan meningkatkan angka kemiskinan.
Islam terbukti menciptakan keadilan dan keberkahan dengan prinsip taqwa, bukan sekadar motif ekonomi. Dengan syariat Islam, konsentrasi kekayaan dapat dicegah, dan pengambilan harta orang lain secara zalim diharamkan. Apakah masih ada keraguan terhadap sistem Islam?

Wallahu’alam bish shawab