-->

PPN NAIK 12%, SEJAHTERA HANYA ILUSI


Oleh : Soelijah W. (Aktivis Muslimah)

Menjelang pergantian tahun 2025, pemerintah mengeluarkan berbagai peraturan baru berkaitan dengan pajak yang harus disoroti karena berhubungan dengan hajat hidup masyarakat luas. Adalah disahkannya kenaikan PPN dari 11% jadi 12% melalui revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2022 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang berlaku mulai 1 Januari 2025. Alasan pemerintah menaikkan PPN adalah kestabilan kesehatan APBN. Kebijakan ini tentu saja menuai kritik dari berbagai pihak karena dikeluarkan saat situasi perekonomian Indonesia pasca pandemi masih relatif lemah, ditambah dengan pertumbuhan ekonomi global yang tidak pasti.

Ketua Umum Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), Hariyadi Sukamdani, menyampaikan saat ini tidak tepat menaikkan tarif PPN menjadi 12%. Karena sebelumnya kenaikan PPN dari 10% ke 11% telah membuat penjualan di berbagai sektor usaha merosot akibat turunnya permintaan dan lemahnya daya beli masyarakat (www.kompas.id). 

Kebijakan ini tentu saja akan makin menekan daya beli masyarakat dan mengganggu jalannya roda ekonomi dunia usaha yang mengakibatkan pengangguran karena bergugurannya beberapa perusahaan yang tak mampu mempertahankan kestabilan operasionalnya. Industri tekstil misalnya, banyak yang gulung tikar disebabkan karena serbuan barang impor yang harganya jauh lebih murah.

Kebijakan yang Tidak Tepat

Tidak saja kenaikan PPN, ada beberapa kebijakan antara lain diberlakukannya asuransi kendaraan, cukai minuman berpemanis dalam kemasan, kenaikan iuran BPJS serta pengurangan konsumsi BBM bersubsidi. Semua ini bakal semakin memberatkan beban hidup rakyat dan berpotensi semakin memperburuknya kondisi masyarakat yang sudah tidak sejahtera. Tahun akan berganti namun harapan meraih kesejahteraan hanya jadi mimpi.

Belum lagi fakta kenaikan pajak yang belum tentu meningkatkan penerimaan negara dan mengurangi hutang karena ada problem korupsi uang rakyat (APBN) yang dilakukan oleh birokrat dan pemerintah yang getol berhutang.
Kebijakan impor hampir pada semua jenis komoditas dari bahan pangan yang membuat petani mati kutu dan hilang semangat bercocok tanam hingga komoditas barang industri dari yang berat hingga yang ringan. 

Dalam bidang pendidikan pun tak luput dari sasaran kebijakan yang tidak tepat. Wacana kenaikan UKT yang ditentang habis-habisan mengindikasikan bahwa penguasa benar-benar tidak serius dalam upayanya mensejahterakan kehidupan rakyat. Bahkan terkesan sangat kental aroma komersialisasi dalam bidang pendidikan di negeri ini.

Kapitalisme Sumber Semua Keburukan

Sungguh zalim luar biasa kondisi saat ini, semua karena konsekuensi penerapan sistem ekonomi kapitalis oleh pemerintah. Padahal negara mempunyai sumber daya alam (SDA) melimpah yang jika dikelola oleh negara akan menghasilkan pemasukan sangat besar dan mencukupi. Namun karena pemberlakuan sistem ekonomi kapitalis menjadikan sumber daya alam yang bisa dipergunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat malah diserahkan pada pihak korporat/pemilik modal yang membuat rakyat sulit mendapat kebermanfaatannya. Oleh karena itu sistem kapitalis tak layak dijadikan sistem yang mengatur kehidupan manusia, karena lahir dari akal manusia yang serba lemah dan terbatas.

Islam Tempat Kembali yang Ideal

Dalam sistem Islam yang mana risalahnya diturunkan secara shahih dan sempurna kepada Rasulullah SAW, dijelaskan bahwasannya Islam memiliki sistem ekonomi yang mewajibkan negara menjadi ra'in yang mengurus rakyat dengan penuh tanggung jawab (pengayom).
Rasulullah SAW bersabda: "Imam/Khalifah adalah ra'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.(HR. al Bukhari).

Islam menetapkan pendapatan rutin negara adalah berasal dari pos-pos tertentu yang ditetapkan oleh Allah SWT sebagai hak kaum muslim dan hak Baitul Maal. Pemasukan tersebut adalah pos Fai' & Kharaj, pos dari pengelolaan harta-harta milik umum hingga zakat. Harta-harta tersebut dimasukkan ke dalam Baitul Maal. Ada 2 mekanisme pemasukan yaitu:

1. Ketika pemasukan Baitul Maal mencukupi untuk membiayai seluruh kewajiban keuangan maka negara tak butuh pemungutan pajak dari kaum muslim. 

2. Jika kondisi genting dimana pemasukan Baitul Maal tidak mencukupi sedangkan urusan periayahan rakyat yang wajib tidak terlaksana karena kurangnya pos pemasukan Baitul Maal maka kewajiban pemasukan Baitul Maal beralih kepada umat Islam. Dalam hal ini, negara berhak menarik harta dari umat dengan mewajibkan pajak sesuai dengan batas-batas yang sudah ditentukan oleh syariah. Artinya tidak semua orang ditarik pajak. Hanya pihak-pihak yang dirasa mampu dan berkecukupan saja yang akan dibebani pajak. Bila kondisi sudah benar-benar pulih kembali maka penarikan atas pajak pada pihak-pihak tersebut akan dihentikan (bersifat insidental).

Ternyata ada perbedaan yang sangat signifikan terkait pajak dalam sistem Islam dan pajak dalam sistem kapitalisme. Negara Khilafah hanya akan menarik pajak apabila kondisi negara berada dalam keadaan darurat, yaitu ketika harta yang tersimpan dalam Baitul Maal tidak mencukupi.
Sementara dalam sistem Kapitalis, pajak menjadi sumber penerimaan utama negara yang mengakibatkan beban pembiayaan masyarakat dan industri semakin meningkat karena banyaknya pungutan yang harus ditanggung. Parahnya penarikan pajak ini juga diikuti oleh aktivis utang kepada Bank Dunia dan juga negara-negara besar seperti Cina.

Oleh karena itu kaum Muslim wajib mendorong agar negara ini beserta sistem ekonominya diatur sesuai dengan syariah Islam. Aturan sempurna yang berasal dari Tuhan yang Maha Mengetahui. Hanya Islam tempat kembali yang ideal karena sistem Islam telah terbukti mampu membuat sejahtera umat manusia dan selamat dunia dan juga akhirat. WalLaahu a'lam bi ash-shawaab.[]