Program Makan Bergizi Gratis, Solusi Tambal Sulam Ala Demokrasi Kapitalis
Oleh : Asha Tridayana
Belum lama ini, pelantikan Presiden Baru berikut jajarannya telah diresmikan. Hal ini mengisyaratkan berbagai program semasa kampanye hendak direalisasikan. Salah satunya, program makan bergizi gratis (MBG) yang menjadi program andalan Presiden Prabowo Subianto. Program ini memiliki harapan besar agar anak sekolah tercukupi nilai gizinya sehingga mampu meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang ujungnya dapat menggerakkan ekonomi nasional. Selain memberikan dampak positif bagi masyarakat, program MBG juga memberi angin segar pada perusahaan industri pendukung. Diantaranya perusahaan di sektor pertanian dan perkebunan, consumer goods (untuk makanan olahan seperti bumbu dapur dan pendukungnya), sektor susu olahan, non-cyclical (beras), logistik (pengiriman bahan baku makanan). Berdasarkan hasil hitungan tim Prabowo, MBG dapat menciptakan lapangan pekerjaan hingga 1,8 juta dan menguntungkan sektor terkait (https://www.cnbcindonesia.com 14/10/24).
Menurut Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono menyampaikan MBG akan menjangkau sekitar 83 juta anak sekolah. Untuk memenuhi program tersebut, kebutuhan susu dan daging akan diupayakan dengan membuka peluang bagi swasta untuk mengimpor sapi hidup. Terdapat 46 perusahaan dari dalam dan luar negeri yang telah berkomitmen mendatangkan 1,3 juta ekor sapi. Sementara pemerintah akan mendukung melalui kemudahan dalam perijinan dan menyiapkan lahan seluas 1 juta hektar untuk memelihara sapi (https://www.merdeka.com 17/10/24)
Disamping itu, diperkirakan MBG dapat menyumbang ke produk domestik bruto (PDB) tahun 2025 hingga Rp4.510 triliun atau setara 34,2 persen dari PDB nasional. Hal ini disampaikan oleh Direktur Eksekutif
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti bahwa terjadi efek pengganda (multiplier effect) dari program yang anggarannya digolongkan ke dalam belanja pendidikan. Berdasar studi Indef, setiap peningkatan Rp1 triliun pada belanja pendidikan, akan mendorong peningkatan nilai PDB hingga Rp63,52 triliun terhadap perekonomian nasional. MBG juga berpotensi menaikkan kinerja sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Terlihat pada proyek percontohan oleh beberapa UMKM di 10 kabupaten/kota di Indonesia (https://tirto.id 17/10/24).
Sementara Ekonom Senior Indef Didik J Rachbini, menilai MBG sebaiknya didesentralisasikan pada UMKM di daerah untuk menghindari terjadinya intervensi dari 'bandit-bandit' atau pihak yang hanya mengambil untung. Ia berharap keseriusan Presiden Prabowo saat berkampanye akan melibatkan pengusaha lokal dan UMKM tidak sekadar janji manis. Tidak semestinya menyerahkan pada swasta/asing dengan cara impor mengingat Indonesia selama ini belum mampu memenuhi kebutuhan secara mandiri. Oleh karena itu, pemerintah perlu mempersiapkan alternatif bahan pangan lokal sebagai substitusi dengan harga yang lebih terjangkau sehingga dapat menekan impor nasional. Terlebih adanya impor cenderung dimanfaatkan oleh pihak tertentu karena peluang keuntungannya besar (https://tirto.id 18/10/24).
Terlihat MBG menjadi program unggulan pemerintah yang seolah dapat membantu rakyat melalui perbaikan gizi anak sekolah. Padahal dibalik program tersebut, terdapat pihak yang diuntungkan terutama perusahaan besar yang akan menjadi pemasok bahan baku baik swasta atau asing. Apalagi kondisi tersebut didukung dengan regulasi pemerintah yang memudahkannya seperti yang telah terjadi selama ini. Kemudian kran impor pun direncanakan dibuka selebar-lebarnya dengan alasan demi memenuhi kebutuhan rakyat. Faktanya hanya pihak berkuasa yang diuntungkan tidak lain penguasa dan pengusaha. Sementara rakyat kembali menjadi korban yang dimanfaatkan.
Begitu pula dikatakan akan dapat menyerap banyak tenaga kerja, belum tentu rakyat sendiri yang diberdayakan karena melihat yang sebelumnya justu tenaga kerja asing (TKA) lebih dominan. Belum lagi terkait upah yang diberikan, terpatok dengan UMR bahkan sering kali lebih rendah. Padahal besaran upah tersebut masih jauh dari kecukupan untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyat. Lagi-lagi tenaga rakyat diperas dan mesti hidup dalam keterbatasan.
Disamping itu, sudah menjadi rahasia umum jika proyek berdana besar sering kali berpotensi membuka celah korupsi bagi pihak terkait. Mereka beranggapan yang terpenting program tetap terealisasi sementara rill laporan anggaran bukan menjadi prioritas yang dipertanggungjawabkan. Korupsi seolah menjadi tradisi negara ini. Tergiur dengan nilai anggaran yang besar kemudian berbagai cara dilakukan agar keuntungan dapat dinikmati sebanyak mungkin tanpa peduli nasib rakyat.
Tidak hanya itu, adanya MBG sebetulnya bukanlah solusi tuntas permasalahan kualitas gizi anak. Justru menimbulkan masalah baru seperti korupsi, impor yang semakin besar, dominasi pengusaha swasta/asing dalam perekonomian, dan masih banyak lagi. Karena sejatinya bermacam persoalan yang terjadi di negara ini tidak terlepas dari sistem yang diterapkan, tidak lain demokrasi kapitalis. Sehingga dapat dikatakan jika MBG hanyalah solusi tambal sulam, lebih-lebih sebatas program saat kampanye dan pada akhirnya korporasi yang tetap diuntungkan.
Demokrasi hanya memanfaatkan rakyat sebagai slogan untuk mencapai kepentingan sekelompok orang baik penguasa maupun pengusaha. Mereka senantiasa berupaya melanggengkan kekuasaan dan memupuk kekayaan agar hanya berputar di lingkaran mereka. Buktinya kursi parlemen menjadi bancaan ketika Presiden baru telah terpilih sebagai bentuk balas budi atau mengamankan posisi. Oleh karena itu, jika menginginkan kualitas gizi anak terpenuhi dan sederet persoalan hidup lain juga dapat terselesaikan tanpa memunculkan masalah lain maka hanya dengan menggantikannya dengan sistem Islam.
Karena hanya Islam yang mampu menjamin pemenuhan kebutuhan hidup rakyat dan menjadikannya prioritas. Bukan sebagai pencitraan untuk mendapatkan simpatisan. Sehingga negara yang menerapkan Islam tidak membutuhkan program khusus karena pada dasarnya kebijakan dalam Islam senantiasa berorietasi untuk mensejahterakan rakyat dan tidak hanya anak sekolah. Hal ini karena negara menjadi rain dan junnah sebagaimana Rasulullah saw bersabda, "Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya." (HR al-Bukhari).
Terwujudnya kepengurusan rakyat oleh negara dengan sebaik-baiknya karena penerapan sistem ekonomi Islam yang mampu membawa negara pada ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. Dalam mencukupi kebutuhan rakyat, negara tidak terjebak pada intervensi swasta/asing. Justru negara dapat memaksimalkan sumber daya alam yang dimiliki sebagai salah satu sumber pemasukan negara dengan mengelolanya sendiri sesuai tuntunan syara'. Sehingga hasil yang diperoleh dapat diperuntukan untuk rakyat menyeluruh. Belum sumber pemasukan lain yang diatur melalui Baitul mal sehingga kesejahteraan rakyat menjadi suatu keniscayaan.
Sementara dari sisi pejabat atau penguasa yang berwenang, mereka memiliki sifat amanah sebagai bentuk keimanan yang kuat. Inilah yang membentengi diri dari tindak korupsi termasuk penyalagunaan kekuasaan dan memperkaya diri. Karena menyadari jabatan dan kekuasaan yang diemban akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah swt. Dengan begitu, sudah seharusnya Islam diterapkan secara kaffah.
Wallahu'alam bishowab.
Posting Komentar