Food Estate Menuju Swasembada Pangan, Mungkinkah?
Oleh : Jengwilu, Ibu Rumah Tangga
Pada penutupan BNI Investor Daily Summit 2024, 9 Oktober lalu, Prabowo mengatakan tekadnya untuk swasembada pangan. Beliau optimis Indonesia akan menjadi negara swasembada pangan dan penyedia kebutuhan pangan dunia dalam waktu 3 tahun kedepan. Proyek ini dianggap penting, sebab Indonesia memiliki sumber daya alam yang melimpah.
Food estate merupakan salah satu upaya untuk menghadapi krisis pangan dan meningkatkan kualitas produk pertanian. Selain itu proyek ini bertujuan untuk menciptakan lumbung pangan, mewujudkan swasembada pangan sehingga akan mampu untuk menguatkan ketahanan pangan nasional.
Proyek ini mendapatkan dana yang diambil dari APBN dan masuk pada Proyek Strategis Negara (PSN). Namun pemerintah bermaksud tidak hanya memakai uang negara, tetapi juga mengandalkan investor. Akan tetapi menurut Menteri Pertanian Amran Sulaiman, food estate ini tidak harus menggunakan dana dari investor. Anggaran dari APBN juga bisa dipakai. Pada dasarnya, dari manapun dana yang diperoleh nantinya, swasembada pangan ini akan terus dilakukan.
Minim Rencana dan Butuh Dana Besar
Proyek food estate ini saat ini sudah mulai berjalan di beberapa daerah. Misalnya di Merauke Papua Selatan. Disana selama lima bulan ini telah ditanami tebu. Menurut Direktur Utama PTPN III Mohammad Abdul Ghani penanaman tebu di Merauke hasilnya bagus. Namun, permasalahannya adalah pengairan, bendungan, jalan, jembatan dan pelabuhan belum dibangun. Minimnya fasilitas infrastruktur ini akan mengancam masuknya investor yang menyebabkan internal rate of return (IRR) rendah.
Selain di Merauke Papua Selatan, proyek ini juga dilakukan di Sumatera Utara, Kalimantan Tengah dan NTT. Namun sayang, banyak pihak yang mengklaim bahwa proyek ini akan gagal. Menurut Peneliti Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Deni Friawan, proyek ini dianggap lemah perencanaan dan terkesan asal.
Sebagai contoh, untuk proyek food estate, Kementan membuka 600 ha hutan untuk ditanami singkong di Gunung Mas Kalimantan Tengah pada 2020 lalu. Namun faktanya tanaman itu tidak cocok dan gagal panen.
Selain itu, disaat proyek ini sedang berjalan, pemerintah masih saja impor bahan pangan untuk memenuhi pasokan pangan dalam negeri.
Belum lagi jika membicarakan masalah modal dan biaya yang dibutuhkan dalam usaha pertanian ini. Dari bibit, media tanam, pengolahan lahan, pupuk, pemberantasan hama, mesin dan alat yang dibutuhkan, cara mengatasi saat gagal panen, dan sebagainya. Dari sini bisa dilihat bahwa proyek ini memerlukan biaya yang sangat besar. Untuk diketahui bahwa proyek ini telah menghabiskan dana sebesar Rp. 108,8 triliun pada tahun 2024 ini. Padahal kita tahu keuangan negara kita, dimana setiap tahunnya negara harus membayar hutang pada bank dunia. Sedangkan penghasilan negara hanya berasal dari pajak.
Alhasil, investorlah satu-satunya cara untuk mensukseskan proyek ini. Yang mana di sistem kapitalisme saat ini, Investor hanya akan melakukan investasi jika mereka mendapatkan untung dari proyek ini. Pertimbangannya adalah untung dan rugi. Investor akan menjadi penguasa tanpa peran negara di dalamnya. Negara hanya akan berperan sebagai fasilitator dan regulator. Kemudian rakyat yang sejatinya menjadi tujuan utama pada proyek ini, tetap saja akan membeli bahan pangan dengan harga yang mahal.
Swasembada Pangan Hanya Mungkin dengan Islam
Islam memiliki konsep ketahanan pangan untuk menjamin seluruh kesejahteraan rakyatnya. Konsep ini harus dilakukan oleh negara. Sebagaimana yang telah dicontohkan Rasulullah SAW, dimana beliau mendorong rakyatnya untuk produktiv di bidang pertanian dan perkebunan.
Dari Jabir ra., ia berkata, “Sesungguhnya Nabi saw. memasuki pekarangan Ummu Ma’bad, kemudian beliau berkata, ‘Wahai Ummu Ma’bad siapakah yang menanam kurma ini? Muslim atau kafir?’ Ummu Ma’bad menjawab, ‘Muslim.’ Lalu Nabi saw. bersabda, ‘Tidaklah seorang muslim menanam tanaman lalu memakannya baik manusia atau keledai atau burung kecuali itu akan menjadi sedekah baginya hingga hari kiamat.'” (HR Muslim).
Negara akan memprioritaskan pembangunan infrastruktur untuk menunjang produktivitas pertanian seperti pembuatan irigasi, jalan, gedung penyimpanan, hingga fasilitas pascapanen. Negara akan menerapkan politik industri yang tidak hanya mengarah pada alat-alat produksi konsumsi, namun juga dalam industri alat berat yang bisa digunakan dalam pengolahan pertanian. Selain itu negara juga akan meningkatkan skill petani agar bisa beradaptasi dengan teknologi terbaru.
Dalam pengelolaan lahan, negara akan menerapkan hukum pertanahan Islam dimana negara akan mendistribusikan tanah pada orang-orang yang mampu mengelola tanah tersebut menurut hukum ihyaul mawat (menghidupkan tanah mati) dan larangan menelantarkan lahan. Dengan hukum ini tidak akan ada tanah yang menganggur. Negara juga akan menjamin ketersediaan lahan pertanian tanpa adanya alih fungsi lahan secara besar besaran.
Dalam kebijakan ketahanan pangan, negara tidak melarang impor pangan. Namun harus sesuai dengan politik luar negeri Islam, yaitu tidak boleh bekerjasama dengan negara kafir harbi fi’lan. Sebab jika itu terjadi negara akan mengalami ketergantungan pangan yang akan berdampak kepada kedaulatan negara.
Dalam permodalannya, negara akan mengambil dari baitulmal. Dimana baitulmal didapatkan dari beberapa pos, seperti jizyah, fai, kharaj, ganimah, dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan ini maka tidak diperlukan lagi investasi atau utang luar negeri.
Dalam pendistribusian bahan pangan, negara memastikan harga pangan stabil dan terjangkau agar bisa dibeli oleh masyarakat. Dengan mengawasi pasar supaya tidak ada kecurangan seperti penimbunan dan penipuan.
Demikianlah pentingnya peran negara dalam mengatasi krisis pangan dan tercapainya swasembada pangan. Namun ini hanya bisa dilakukan oleh negara yang menerapkan Islam dalam pelaksanaan seluruh kebijakannya.
Wallahu'alam bishowab.
Posting Komentar