Islam Menjamin Pendidikan Murah dan Berkualitas
Oleh : Lintang Wandira
Dalam rapat kerja Badan Anggaran, Rabu (4/9/2024), Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengusulkan perubahan basis 20% mandatory spending dari belanja negara menjadi pendapatan negara.
Usulan ini berpotensi mengurangi anggaran yang dialokasikan untuk sekolah. Jika perubahan ini diterapkan, anggaran pendidikan yang sebelumnya Rp665 triliun (mengacu pada belanja negara) dapat turun menjadi sekitar Rp560,4 triliun (ekonomi.bisnis.com, 6/9/2024).
Hal ini memicu perdebatan di berbagai kalangan. Dari besaran alokasi dana pendidikan sebesar 20% setiap tahun anggaran, sebesar 4% tidak terealisasi, yaitu mencapai Rp111 triliun yang seharusnya dapat digunakan untuk meringankan rakyat dalam memperoleh layanan pendidikan di semua tingkatan, mulai SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi.
Karut-marutnya sistem pendidikan kita diperparah dengan sederet masalah. Fakta bahwa sekolah/kampus negeri kini tidak ada bedanya dengan swasta dari sisi biaya, ditambah lagi dengan permasalahan gaji guru honorer yang masih belum terselesaikan. Juga infrastruktur pendidikan yang begitu minim di berbagai pelosok negeri, terlebih di daerah tertinggal.
Belum lagi sistem zonasi yang membingungkan peserta didik saat pendaftaran pada tahun ajaran baru. Hasil dari proses pembelajaran pun tidak kalah menyedihkan. Peserta didik mengenyam pendidikan hanya untuk mendapatkan nilai bagus dan pekerjaan yang mentereng. Mereka dicetak untuk menjadi insan-insan instan tanpa kedalaman dan kecemerlangan berpikir.
Kemudian masalah lain yang tak kalah serius, yaitu masih adanya bangunan sekolah yang ala kadarnya di daerah terpencil dan tertinggal, juga murid-murid yang tidak mampu membeli baju seragam, bahkan tidak punya buku dan alas kaki. Namun tetap saja anggaran pendidikan dari pusat tidak sampai kepada mereka. Itu artinya dengan anggaran sekarang saja masih belum cukup memenuhi kebutuhan jaminan layanan pendidikan yang gratis atau murah, adil, dan merata, apalagi jika anggarannya dipotong.
Akar masalah dalam sistem pendidikan kita adalah pemerintah dengan sistem sekuler kapitalisme yang diembannya tidak memandang pendidikan sebagai satu kesatuan yang holistik untuk mencetak generasi beradab, berilmu, dan berkualitas. Negara seharusnya berfungsi menjadi ra’in (pengurus) dan junnah (pelindung) agar umat tercegah dari berbagai kefasadan melalui pemenuhan berbagai hajat hidup, termasuk pendidikan dengan pemenuhan secara benar. Namun, pemerintah saat ini justru memosisikan pendidikan sebagai komoditas ekonomi dengan menyerahkan pengelolaan pendidikan pada skema bisnis serta mekanisme pasar ala swasta.
Sistem Pendidikan Islam
Pemerintah semestinya menyadari bahwa pendidikan adalah investasi peradaban masa depan. Pemerintah tidak akan rugi jika menganggarkan dana besar untuk pendidikan. Hal ini demi menghasilkan barisan generasi terdidik, para calon pemimpin, dan SDM unggul pembangun peradaban.
Cara pandang dan pengaturan syariat Islam terhadap penyelenggaraan dan pembiayaan pendidikan berawal dari sabda Rasulullah saw.:
“Menuntut ilmu itu wajib atas setiap muslim.” (HR Ibnu Majah)
Juga berdasarkan firman Allah Taala:
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, ‘Berilah kelapangan di dalam majelis-majelis,’ maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan, ‘Berdirilah kamu,’ maka berdirilah, niscaya Allah akan mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat. Dan Allah Maha Teliti dengan apa yang kamu kerjakan.” (TQS Al-Mujadalah [58]: 11)
Serta hadits:
“Imam/khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad)
Anggaran pendidikan dalam negara Islam (Khilafah) bersifat mutlak. Pendidikan dalam Islam diposisikan sebagai salah satu kebutuhan pokok (primer) rakyat yang disediakan oleh negara dan diberikan kepada rakyat dengan biaya murah, bahkan gratis karena Khilafah memiliki sumber pemasukan yang beragam dan berjumlah besar. Khilafah juga wajib menyelenggarakan pendidikan sesuai tuntunan dan metode pembelajaran Islam. Semua individu rakyat mendapatkan kesempatan yang sama untuk menikmati pendidikan pada berbagai jenjang, mulai dari dasar, menengah, hingga pendidikan tinggi, tanpa membedakan latar belakang mereka, baik muslim maupun non muslim, miskin maupun kaya.
Dalam Khilafah, sumber pembiayaan pendidikan bisa berasal dari sejumlah pihak, yakni dari individu warga secara mandiri, infak/donasi/wakaf dari umat untuk keperluan pendidikan, serta pembiayaan dari negara. Bagian pembiayaan dari negara inilah yang porsinya terbesar.
Bersamaan dengan itu, Islam tidak akan membiarkan adanya celah yang memungkinkan pendanaan pendidikan secara haram. Khilafah menerapkan sistem ekonomi Islam yang memiliki banyak mekanisme sehingga harta yang masuk ke Baitul Mal adalah harta yang halal dan berkah.
Khilafah juga menetapkan sejumlah pos pemasukan negara di Baitul Mal untuk memenuhi anggaran pendidikan. Di antaranya dari pendapatan kepemilikan umum seperti tambang minerba dan migas. Juga fai, kharaj, jizyah, dan dharibah (pajak). Khusus untuk pajak, hanya diambil dari rakyat pada saat kas baitulmal kosong dan dikenakan hanya pada orang kaya laki-laki.
Untuk mengelola pembiayaan pendidikan, Khilafah menunjuk para pejabat yang amanah. Hal ini akan menutup celah korupsi karena para pejabat itu sadar bahwa jabatan mereka mengandung pertanggungjawaban di akhirat kelak.
Selain pembiayaan, Khilafah juga menjamin keberlangsungan sistem pendidikan. Hal ini terwujud dalam bentuk pembangunan infrastruktur pendidikan, sarana dan prasarana, gaji yang layak untuk pegawai dan tenaga pengajar, serta asrama dan pemenuhan kebutuhan hidup para pelajar, termasuk uang saku mereka. (Sumber: muslimahnews.net)
Dengan terpenuhinya hak pendidikan seluruh warga negara, menjadikan mereka individu-individu yang cerdas dan berkualitas. Mereka hanya perlu fokus menuntut ilmu karena tidak dibebankan oleh biaya pendidikan yang sangat besar seperti dalam sistem kapitalis. Sistem Islam mampu melahirkan sosok seperti Imam Syafi'i, Imam Al-Ghazali, Ibnu Khaldun dan tokoh-tokoh besar lainnya.
Wallahualam bissawab.
Posting Komentar