Pajak Naik Kok Bangga?
Oleh : Rini Mumtazs
“Kita semua mengetahui bahwa, untuk terus bisa menjaga Republik Indonesia, membangun Negara ini, Negara dan Bangsa kita, cita – cita yang ingin kita capai, ingin menjadi Negara maju, ingin menjadi Negara yang sejahtera, adil, tidak mungkin bisa dicapai tanpa Penerimaan Pajak suatu Negara” kata Sri Mulyani, dalam sambutannya pada acara Spectaxcular 2024, di GBK, Jakarta, Minggu (14/7/2024)
Bendahara Negara ini menyebut, pajak merupakan “Tulang Punggung” dan sekaligus instrument yang sangat – sangat penting bagi sebuah Bangsa dan Negara untuk mencapai cita – citanya. “Oleh karena itu, kita semua di Kementrian Keuangan, Direktorat Jenderal Pajak, terus melakukan tanggung jawab dan tugas ini harus dengan sepenuh hati.”
Dalam kesempatan tersebut, Sri Mulyani juga menyampaikan terkait perkembangan penerimaan Negara yang setiap masa terus membaik, hal itu dilihat dari pencapaian penerimaan pajaknya. “Saya senang mendengar tadi disampaikan oleh Pak Suryo bahwa Direktorat Jenderal Pajak terus melakukan perbaikan, penguatan yang berkelanjutan. Setiap masa selalu ada inisiatif untuk memperbaiki diri” ujarnya.
Menkeu menilai angka penerimaan pajak pada 1983 yang sebesar Rp13 triliun terlampau kecil untuk penerimaan pajak nasional. Bahkan, besaran itu saat ini diperkirakan tidak lebih kecil dibandingkan dengan penerimaan di level Kantor Pelayanan Pajak (KPP).
"Kita juga lihat ini ada lini masa penerimaan pajak. Kalau pada tahun 1983, itu masih penerimaan pajak Rp13 triliun. Ini mungkin kalau di sini ada Kanwil Pajak dia mengatakan itu tempat saya salah satu KPP. Bahkan lebih kecil, betul enggak?" kata Ani lebih lanjut.
Begitu pula pada era reformasi pada 1998 hingga menjelang 2000, penerimaan pajak RI berada di posisi Rp400 triliun. Jika dibandingkan dengan target penerimaan pajak pada tahun ini, angkanya telah naik hampir 5 kali lipat.
"Dan sekarang teman-teman Direktorat Jenderal Pajak bertanggung jawab di undang-undang APBN untuk mencapai target Rp1.988,9 triliun," tutur Ani.
Ani menjelaskan bagaimana kondisi ekonomi global mempengaruhi perekonomian dalam negeri dari tahun ke tahun, yang juga mempengaruhi kinerja penerimaan pajak.
Misalnya, pada 1983 saat terjadi banjir minyak, yang berakibat harga minyak kala itu naik menjadi US$24 dari US$12. Kemudian, pada 2000 ditandai dengan perubahan teknologi digital yang mengubah seluruh gaya hidup serta cara hidup dan ekonomi bekerja.
DJP Gandeng Kantor Pajak Australia demi Genjot Kepatuhan Pajak Kripto
Sebelumnya, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Indonesia dan Kantor Pajak Australia (ATO) menandatangani Nota Kesepahaman untuk pengaturan pertukaran informasi Cryptocurrency pada 22 April 2024 di Kedutaan Besar Australia di Jakarta.
Pengaturan ini dirancang untuk meningkatkan deteksi aset yang mungkin memiliki kewajiban pajak di salah satu negara. Artinya, otoritas pajak dapat berbagi data dan informasi terkait aset kripto dengan lebih baik, serta bertukar pengetahuan untuk memastikan kepatuhan terhadap kewajiban perpajakan.
Direktur Perpajakan Internasional DJP, Mekar Satria Utama mengatakan MoU ini mencerminkan perlunya otoritas pajak untuk inovatif dan kolaboratif untuk mengimbangi perubahan global yang cepat dalam teknologi keuangan.
"Meskipun aset kripto relatif baru, kebutuhan untuk memastikan perpajakan yang adil tetap penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan memberikan pendapatan bagi investasi publik yang penting di berbagai bidang seperti infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan,” kata Mekar, dikutip dari siaran pers pada situs kedutaan Australia di Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Relevansi Kenaikan Pajak dan Kesejahteraan Masyarakat
Di tengah kondisi Ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akibat pandemi, Pemerintah akan kembali menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 2025. Kenaikan itu tertuang dalam amanat UU Nomor 7 tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), atas pengesahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI pada 29 Oktober 2021.
Menanggapi rencana tersebut, Pakar Ekonomi Universitas Airlangga (UNAIR) Prof Dr Sri Herianingrum SE MSc menyatakan bahwa kenaikan pajak akan “Meningkatkan Pendapatan Pemerintah”. Namun, itu juga “Berpotensi Mengurangi Aktivitas Ekonomi Mikro”. “Dampaknya akan terasa pada proses produksi dengan adanya tambahan biaya. Yang kemungkinan akan mengurangi profitabilitas perusahaan,” tuturnya.
Dengan adanya kenaikan PPN ini, maka harga barang meningkat. Oleh sebab itu, masyarakat harus berhemat dengan mengurangi belanja mereka atau mencari alternatif barang lain yang lebih murah.
Kondisi ini juga akan mempersulit masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebab, dampak kenaikan PPN tidak memandang bulu serta tidak melihat status maupun penghasilan subjek pajaknya. Jadi, semua orang harus membayar tarif PPN tersebut ketika melakukan transaksi barang kena pajak atau jasa kena pajak.
Berbanding terbalik dengan hal itu, pemerintah yang terus meng-genjot pajak terhadap rakyat “Sipil”, justru mengeluarkan berbagai kebijakan yang membantu rakyat “Pengusaha” seperti Tax Amnesty dan Insentif lainnya. Negara juga dapat mengubah aturan pajak, tanpa “dianggap melanggar aturan Negara”
Lalu di mana Relevansi Kenaikan Pajak dan Kesejahteraan Masyarakat nya ???
Sumber Pendapatan Utama Negara
Dalam sudut pandang Ekonomi Kapitalisme, Pajak dipandang sebagai “Tulang Punggung” dan sekaligus instrument yang sangat – sangat penting bagi sebuah Bangsa dan Negara untuk mencapai cita – citanya. Seperti yang di sampaikan oleh Menkeu Sri Mulyani di atas.
Paham ini memandang, bahwa Sumbar Daya Alam adalah ladang investasi, yang siapa saja boleh mengelola, asal memenuhi persyaratan dan ketentuan yang berlaku. Sehingga wajar, SDA yang ada di Negara tersebut, di jadikan sebagai investasi atau ladang bisnis bagi para investor dan pengusaha, bukan sebagai pendapatan utama Negara sebagai pengelolanya.
Berbeda halnya dengan System Ekonomi Islam, yang memandang bahwa Pajak adalah alternative terakhir yang Negara gunakan untuk menopang keberlangsungan ekonomi apabila “Baitul Maal atau Kas Negara” menipis atau kosong.
System keuangan Negara islam, berbasis Baitul Maal memiliki 3 pos pemasukan :
1. Pos kepemilikan Negara bersumber dari harta fai’ dan kharaj. Yang meliputi ghanimah, anfal, fai’, khunus, kharaj, status tanah dan jizyah. Jenis harta tersebut termasuk sebagai pemasukan tetap Negara. Adapun pemasukan tidak tetap Negara dari pos kepemilikan Negara berupa dharibah (Pajak)
2. Pos kepemilikan umum bersumber dari harta pengelolaan SDA, seperti minyak, gas bumi, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan, mata air, hutan serta asset – asset yang di proteksi Negara untuk keperluan khusus. Bagian harta kepemilikan umum ini, di buat di tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.
3. Pos zakat yang bersumber dari zakat fitrah atau zakat maal kaum muslimin, seperti zakat uang dan perdagangan, zakat pertanian dan buah – buahan, zakat unta, sapi dan kambing. Selain itu, pos ini juga menampung harta sedekah, infaq, wakaf dari kaum muslimin. Untuk pos zakat ini, juga di buatkan tempat khusus agar tidak bercampur dengan harta lainnya.
Berbagai pos pemasukan ini akan membuat Negara kaya raya dan sanggup membiayai kebutuhan rakyat dan Negara. Adapun Pajak (dharibah) dikatakan sebagai pemasukan tidak tetap Negara, pasalnya hanya di pungut dalam kondisi temporer yaitu ketika kas Baitul Maal menipis atau kosong, sementara Negara harus membiayai kebutuhan yang “Genting” dan jika tidak segera di penuhi akan menimbulkan Dharar (Bahaya).
Misalnya, pembiayaan jihad, terjadi bencana alam, kebutuhan infrastruktur daerah pelosok. Dharibah (pajak) ini hanya akan di pungut kepada warga islam yang muslimin, sementara warga Negara yang kafir dzimmi tidak di pungut.
Dalam kitab Al – Amwal Fi Daulati Al – Khilafah hal. 129, Syaikh Abdul Qadim Zallum mendefinisikan Dharibah (pajak) sebagai harta yang di wajibakan Allaah SWT kepada kaum muslimin untuk membiayai kebutuhan dan pos yang di wajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Maal. Kaum muslim wajib untuk membiayainya.
Sekalipun Dharibah (pajak) hanya di bebankan kepada kaum muslimin, namun tidak semua kaum muslimin membayarnya. Dharibah (pajak) hanya akan di ambil dari kaum muslimin yang memiliki kelebihan harta, setelah mereka dan keluarga mereka terpenuhi kebutuhannya.
Sehingga jelas, kedudukan Dharibah (pajak) dalam System Ekonomi Islam sangat jauh berbeda dengan Pajak dalam System Ekonomi Kapitalisme.
Wallahu’alam bishawab
Posting Komentar