PPDB dengan Sistem Zonasi Apakah Solusi?
Oleh : Tri Setiawati, S.Si
PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru) pada tingkat sekolah dasar dan menengah dengan menggunakan sistem zonasi masih menuai berbagai masalah. KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) menyampaikan perihal temuan pungutan liar dalam PPDB tingkat sekolah negeri tingkat dasar maupun menengah sejak pemerintah menetapkan sistem zonasi pada tahun 2018. Penerapan sistem zonasi menciptakan peluang korupsi, kolusi dan nepotisme karena proses seleksi yang rumit dan menyusahkan pihak wali murid. Bahkan, banyak orang tua yang mengambil jalan pintas yakni mencari “pintu belakang” dan “jalur orang dalam” demi anaknya bisa lolos seleksi dalam sistem zonasi sekolah.
Konsep sekolah favorit sangat kental dalam sistem zonasi karena sekolah favorit selalu jadi incaran para siswa. Padahal seperti yang kita bahwa tujuan awal diterapkannya sistem zonasi adalah untuk mengurangi kemacetan, mengurangi kekentalan konsep sekolah favorit, meminimalkan biaya transportasi serta resiko kecelakaan dan mencegah anak putus sekolah.
Konsep sekolah favorit sangat kental dalam sistem zonasi karena sekolah favorit selalu jadi incaran para siswa. Padahal seperti yang kita bahwa tujuan awal diterapkannya sistem zonasi adalah untuk mengurangi kemacetan, mengurangi kekentalan konsep sekolah favorit, meminimalkan biaya transportasi serta resiko kecelakaan dan mencegah anak putus sekolah. Namun, praktiknya justru sistem zonasi membuka peluang lebar terjadinya kasus korupsi bagi guru dan orang tua. Setiap tahun, sering terjadi pemalsuan dokumen kartu keluarga oleh orang tua murid untuk mengakali alamat domisili agar anaknya bisa diterima di sekolah favorit.
Celah ini juga dimanfaatkan oleh pihak sekolah untuk menerima “titipan” murid anak pejabat pemerintah pusat hingga daerah dengan suap. Temuan KPK yakni 21,31 persen sekolah melakukan pungli dan 38,77 persen menerima anak titipan pejabat. Hasil survei KPK pada akhir 2023 kepada 69.191 responden itu sama dengan temuan Ombudsman dalam penelitian pada tahun sebelumnya. Ombudsman bahkan menemukan suap di sekolah dasar hingga menengah untuk murid titipan mencapai Rp35 juta per siswa. Sementara itu, pungutan liar untuk atribut seragam dan uang pembangunan sebesar Rp 1-5 juta (tempo.com, 06/06/2024).
Terkait penemuan di atas, KPK menerbitkan surat edaran 3 Juni 2024 agar sekolah menyetop pungutan liar dan berhenti mengakali sistem zonasi demi meraup keuntungan dari suap menyuap. Surat edaran tersebut memang penting tetapi tidak menyentuh akar permasalahannya karena tidak ada tindakan tegas bagi para pelanggarnya sehingga bisa saja sekolah mengabaikan surat edaran tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa akar permasalahan korupsi yang terjadi di sekolah negeri adalah anggapan yang keliru di tengah masyarakat bahwa sekolah umum negeri adalah sekolah yang berkualitas bagus untuk anak-anak didiknya. Padahal, sekolah umum negeri pemerintah juga menyediakan madrasah yang tidak menerapkan sistem zonasi. Akibat kurangnya sosialisasi madrasah jadi terabaikan sebagai alternatif pendidikan yang memiliki kualitas yang sama.
Harapan dari para orang tua adalah agar mendapatkan kualitas pendidikan yang bagus dengan harga bersahabat. Namun faktanya, tidak demikian karena anggapan tersebut begitu banyak syarat yang menyulitkan orang tua. Padahal negara telah mempersiapkan lembaga pendidikan swasta yang tidak menerapkan sistem zonasi tetapi sayangnya biaya masuknya mahal dan tidak terjangkau masyarakat. Belum lagi kondisi perekonomian masyarakat saat ini sedang tidak baik-baik saja. Terkait dengan korupsi dalam sistem zonasi sekolah, langkah KPK sudah bagus untuk pencegahan korupsi. Namun, perilaku menyimpang seperti korupsi menjadi perbuatan yang biasa dan wajar karena pelakunya adalah pejabat dan orang tua calon siswa. Kedua belah saling membutuhkan satu dengan yang lain. Korupsi model begini bukan hanya karena niat semata namun karena kebijakan yang memberikan peluang untuk melakukan penyelewengan.
Beginilah gambaran realita pendidikan yang terjadi dalam sistem saat ini. Berbagai tindakan kecurangan dilakukan demi mengenyam pendidikan yang katanya “berkualitas.” Faktanya, harapan tinggallah angan semata. Karut-marut kekalutan ini terjadi akibat kebijakan yang ditetapkan. Anggapan bahwa mahalnya sekolah swasta dan sulitnya masuk sekolah negeri menjadi hambatan besar untuk mendapatkan pendidikan yang berkualitas.
Bak buah simalakama, jika memilih sekolah swasta tidak mampu dalam hal biaya pendidikan. Sementara jika memilih sekolah negeri banyak persyaratan yang harus dipenuhi. Kebijakan pendidikan yang diterapkan saat ini tidak mampu memudahkan rakyat untuk mengakses pendidikan dengan kualitas yang terjangkau. Justru sebaliknya, negara malah menjadikan sektor pendidikan sebagai lahan bisnis dengan iming-iming keuntungan yang menggiurkan. Negara tidak mampu memprioritaskan kebutuhan rakyatnya sebagai kebutuhan asasi yang wajib dipenuhi. Inilah bukti bahwa negara gagal menyediakan pendidikan yang berkualitas, murah dan mudah untuk rakyatnya.
Dalam sistem kapitalisme yang diemban saat ini, negara menganggap rakyat adalah beban, jadi wajar apabila kebutuhan rakyat hanya dipandang sebelah mata. Lebih parah lagi, sektor pendidikan menjadi sasaran bisnis karena setiap orang pasti membutuhkan pendidikan. Alhasil, setiap kebijakan yang diambil hanya berorientasi pada keuntungan materi semata. Kebijakan subsidi sekolah negeri dan pembatasan kuota zonasi hanya akan membuka lebar kecurangan dan komersialisasi dalam dunia pendidikan.
Pendidikan dalam Islam merupakan kebutuhan primer bagi setiap individu rakyat yang wajib dipenuhi oleh negara. Tujuan pendidikan dalam Islam mencetak generasi yang berkualitas, beriman, bertaqwa. Generasi yang menjadi problem solver di tengah masyarakat. Sistem Islam berlandaskan akidah Islam merupakan sistem pendidikan terbaik yang terbukti melahirkan generasi berkualitas yang menjadi agent of change dalam membangun peradaban yang kuat, tangguh dan mulia. Negara merupakan satu-satunya lembaga yang memiliki kekuatan untuk mewujudkannya. Konsep pendidikan islami hanya dapat terwujud dalam bingkai daulah Khilafah Islamiyah yang merupakan satu-satunya institusi yang mengurusi setiap urusan rakyatnya.
Rasulullah saw., bersabda bahwa setiap pemimpin adalah ra’in yaitu pengurus urusan rakyatnya. Pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas setiap kebijakan yang diambil. Terkait dengan sistem pendidikan, Khilafah akan menetapkan kebijakan yang memberikan kemudahan kepada rakyat dalam mengakses pendidikan. Adapun anggaran khusus untuk pendidikan berasal dari pos Baitul Mal. Sistem seleksi di sekolah tidak akan dipersulit karena Khilafah menetapkan standar kualitas yang setara di setiap aspeknya. Sehingga tidak ada persaingan antarsekolah. Anak didik tidak perlu pusing memikirkan sekolah yang berkualitas karena Khilafah menyediakan sekolah yang berkualitas untuk rakyat dengan biaya terjangkau bahkan gratis untuk seluruh rakyat.
Dengan demikian skema penerimaan siswa baru jauh dari perbuatan korupsi dan nepotisme. Ditambah lagi kualitas keimanan dan ketakwaan individu sehingga menjadi benteng dari perbuatan curang dan penyelewengan lainnya. Pendidikan akan terjamin dalam wadah sistem Islam yang amanah.
Wa’llahu a’lam bishawab.
Posting Komentar