-->

HET Beras Naik Lagi, Makan Nasi di Negeri Agraris Kian Sulit

Oleh: Musdalifah Rahman, ST.

Bagi segelintir orang dengan kecukupan harta, kenaikan HET beras barangkali  tidak akan begitu berarti, namun bagi sebagian besar masyarakat dengan kelas penghasilan menengah ke bawah tentu akan sangat diberatkan oleh kebijakan kenaikan HET beras ini.

Sulit berbangga hati dengan klaim negeri ini sebagai negara agraris dan berketahanan pangan sebagaimana yang selalu digaung-gaungkan media, jika nyatanya beras yang merupakan makanan pokok masyarakat justru makin hari makin sulit dijangkau.

Dikutip dari berita online CNN Indonesia tanggal 20 Mei 2024, Harga Eceran Tertinggi (HET) beras bakal naik permanen usai 31 Mei mendatang. Pasalnya Badan Pangan Nasional (Bapanas) tengah menyiapkan aturan tentang penetapan HET relaksasi beras yang saat ini berlaku menjadi HET permanen. Disebutkan pula bahwa HET beras premium dan medium naik dari Rp1.000 per kg dari HET sebelumnya untuk setiap wilayah.

Jenakanya, kebijakan kenaikan HET beras ini selalu digadang-gadang akan mensejahterakan petani. Sebagaimana kenaikan harga yang cukup drastis sebelumnya, apa iya petani kini menjadi lebih makmur? 

Siapapun tahu bahwa saat ini distribusi beras sebagian besar dikuasai oleh para pengusaha bermodal besar, ditambah lagi dengan bumbu-bumbu drama monopoli dagang, mafia beras dan sejenisnya sebagai imbas dari penerapan sistem kapitalisme.

Ketika dihadapkan dengan persoalan kenaikan harga, apalagi menyasar kebutuhan pokok yang sangat esensial untuk keberlangsungan hidup masyarakat, maka kita sebagai umat Islam perlu mendudukkan persoalan ini dengan standar syariah, mengurai benang kusut penyebabnya dengan memadukan fakta-fakta serta menyampaikan pernyataan ketidaksetujuan terhadap kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan rakyat yang terjadi akibat tidak terterapkannya sistem Islam.

Alangkah mirisnya jika kita yang disebut Allah sebagai Khairu Ummah (Umat Terbaik) namun ketika dihadapkan dengan ketidakadilan, kita hanya mengambil sikap diam dan legowo dengan mengatasnamakan “sikap tawakkal kepada takdir Allah”.

Berasumsi pada “rezeki sudah diatur oleh Allah” lalu hanya berpasrah tunduk dengan berbagai kebijakan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok justru tidak mencontohkan kekuatan keimanan akan Islam itu sendiri.

Sebab Islam memiliki seperangkat pengaturan yang kaffah, dimana dari kepengaturan itu sendirilah sejatinya mampu mencegah kenaikan harga kebutuhan dasar, namun hal ini hanya bisa diterapkan jika negara mengambil Islam sebagai asas menjalankan pemerintahan.

Dua poin mendasar sehingga penerapan Islam secara menyeluruh akan menghadirkan kestabilan perekenomian yang tentunya akan berimbas pada kesejahteraan masyarakat.

Pertama, negara yang mengadopsi Islam sebagai landasan bernegara tentu akan menggunakan sistem ekonomi Islam yang mana berasas pada prinsip prioritas pemenuhan kebutuhan seluruh individu dalam naungan daulah tanpa memandang agama, latar belakang dan statusnya.

Kekhasan sistem ekonomi Islam juga terletak pada besarnya perhatian yang besar pada hal-hal yang termasuk kedalam kebutuhan pokok (al-hajat al-dharuriyah). Beras masuk ke dalam kategori tersebut, sebab komoditi tersebut adalah makanan pokok masyarakat.

Namun sistem kapitalisme yang diterapkan hari ini justru meniscayakan kenaikan harga kebutuhan pokok. Padahal masih banyak pos-pos penganggaran lainnya dalam pemerintahan yang lebih patut dialihkan untuk membuat harga beras di kalangan masyarakat menjadi terjangkau.

Kedua, Daulah Islam menerapkan sistem perpolitikan Islam dengan kaidah ri’ayatul ummah (mengurus umat). Bahkan perspektif kepemimpinan Islam yakni pemimpin adalah raa’in (pengurus) bagi rakyat yang bernaung dibawahnya.

Rasulullah SAW bersabda; “imam/ khalifah itu laksana gembala dan hanya ialah yang bertanggung jawab terhadap apa-apa yang ia gembalakan” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dengan kaidah sistem politik seperti inilah, rakyat akan terbebas dari belenggu kedzaliman penguasa. Kaidah ini tidak hanya teori tertulis semata sebab aturan Islam pun sebenarnya sudah menutup celah bagi kedzaliman itu sendiri.

Terkait kenaikan HET beras ini, jika politik berlandaskan pada peri’ayahan tentu pemerintah akan menunjukkan upaya yang serius dalam menyelesaikan persoalan ini.

Namun sebagaimana biasanya, problem seperti ini terus terjadi secara berulang-ulang, seolah tidak ada satu orangpun yang bertugas untuk membenahinya. Ujung-ujungnya rakyat akan maklum dengan sendirinya meskipun harus terseok-seok mencukupi kebutuhannya.

Sudah menjadi kadarnya, ketika kita berpaling dari peraturan yang Allah gariskan, yang akan kita temui dalam perjalanan menerapkan aturan selain dariNya adalah kerusakan, kejomplangan, dan kecacatan.

Dan peraturan dari Allah SWT tidak hanya melingkupi kepengaturan individu melainkan juga kepengaturan masyarakat hingga bernegara.

Sehingga isu kecarut-marutan yang dominan menjadi tema fakta-fakta hari ini, sesungguhnya adalah buah dampak dari tidak diterapkannya sistem Islam di semua lini kehidupan.