Palak Atas Nama Pajak
Oleh: Bunda Hanif (Pendidik)
Pernahkah Anda mendengar slogan “Orang Bijak Taat Pajak”?. Ya, itu adalah salah satu slogan agar wajib pajak mau bayar pajak. Kalimat tersebut seolah-olah mengatakan, kalau kamu orang bijak, pasti taat membayar pajak. Jika sebaliknya, berarti tidak bijaksana. Bahasa tersebut mampu menghipnotis masyarakat Indonesia agar mau membayar pajak. Mereka ibarat “sapi perah” yang selalu diambil uangnya untuk pemasukan negara.
Pada sistem sekarang, pajak merupakan pendapatan utama. Semua hal ada pajaknya, mulai dari pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, pajak kendaraan bermotor, dan sebagainya. Pajak dianggap memiliki peran penting dalam pembangunan. Bahkan Pemerintah Garut memberikan penghargaan wajib pajak atas kontribusi penerimaan pajak KPP Pratama Kabupaten Garut 2023. Pemerintah daerah Garut memberikan apresiasi bagi setiap wajib pajak yang taat membayar pajak, karena dianggap sudah ikut serta dalam pembangunan (Jabarprov, 18-5-2024)
Namun, slogan-slogan ajakan membayar pajak ternyata tidak berlaku untuk semua kalangan, melainkan hanya berlaku untuk masyarakat kelas bawah. Miris bukan? Karena fakta di lapangan menunjukkan bahwa pemerintah justru menghapus beberapa pajak demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar. Contohnya, Kemenkeu telah memutuskan pemberian fasilitas perpajakan dan kepabeanan di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Contoh lain lagi adalah Tax Holiday Penanaman Modal sebesar 100% untuk badan usaha yang mau menanamkan modal di IKN. Pengurangan PPh 100% atau 85% untuk badan yang bergerak di sektor keuangan IKN. (Nasional Kontan, 19-5-2024)
Kebijakan pajak yang berbeda-beda ini menunjukkan bahwa pemerintah sedang menimbang segi untung ruginya. Jika ada hal yang lebih urgen daripada membayar pajak, pemerintah langsung memberikan keistimewaan. Sebagai contoh di IKN, demi terwujudnya ibu kota negara yang baru, yang dianggap mempunyai keuntungan lebih besar, maka pemerintah memberikan penghargaan pada badan usaha/keuangan untuk tidak membayar pajak penghasilan.
Tentu saja keputusan tersebut membuat mayoritas masyarakat Indonesia sakit hati. Bagi masyarakat biasa, mereka selalu ditekan agar membayar pajak tepat waktu. Jika tidak membayar pajak tepat waktu, pasti terkena denda. Sementara para pengusaha justru mendapatkan hak istimewa, seperti berbagai macam kemudahan, bahkan pembebasan dari pajak.
Inilah gambaran sistem ekonomi kapitalisme. Sistem ini mengandalkan pajak sebagai satu-satunya sumber pendapatan negara. Alhasil, rakyat justru mengalami pemerasan untuk membayar pajak. Setiap hal yang ada hubungannya dengan uang langsung dikenai pajak.
Sebenarnya Indonesia adalah negara yang kaya akan SDA. Sayangnya, dengan pengelolaan model sistem ekonomi kapitalisme menyebabkan banyak SDA dikuasai oleh swasta dan asing. Kekayaan alam tersebut diprivatisasi sehingga yang mendapatkan keuntungan malah para pengusaha. Sementara negara mendapatkan pemasukan dari SDA itu hanya dari besaran pajak yang dibayarkan.
Sungguh merupakan kesalahan dalam tata kelola perekonomian. Di satu sisi negara kekurangan pendapatan karena hanya mengandalkan pajak, sementara di sisi lain SDA yang harusnya bisa jadi sumber pendapatan utama justru diberikan kepada asing atau swasta.
Sumber Pendapatan dalam Islam
Sistem kapitalisme sangat berbeda dengan Islam dalam mengatur pendapatan. Islam menjadikan akidah sebagai landasan utama dalam pengambilan keputusan. Islam memiliki aturan sendiri dalam hal mengatur pendapatan. Sesuai dengan hadis berkaitan dengan pengelolaan SDA, yaitu, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Maksud dari hadis di atas adalah segala kekayaan alam baik padang rumput, hutan, sungai, laut, danau, barang tambang, gas alam ataupun minyak bumi, adalah milik rakyat. Negara berkewajiban mengelola dan memberikan hasil pengelolaan kepada masyarakat secara merata.
Tidak hanya dari SDA, Islam juga memiliki sumber pendapatan lain misalnya jizyah, fai, kharaj, dan ganimah. Semua pemasukan itu untuk mengisi baitulmal dan bisa digunakan negara untuk mencukupi kebutuhan rakyat.
Islam tidak menjadikan pajak sebagai sumber pemasukan utama. Pajak hanya dipungut ketika negara mengalami kekosongan kas, itu pun hanya untuk kaum muslim yang kaya. Bagi kaum muslim yang tidak kaya atau nonmuslim (kaya atau tidak) tidak akan mendapat kewajiban membayar pajak. Sistem keuangan seperti ini tentu saja hanya ada pada negara yang menerapkan Islam secara kaffah. Negara inilah yang disebut dengan Khilafah, sebagaimana yang dicontohkan oleh para sahabat dan khulafa. Hanya Khilafah yang bisa mengelola keuangan dengan baik sehingga tidak membebani rakyat.
Wallahu a’lam bisshowab.
Posting Komentar