Marak Kriminalitas Anak, Akibat Penerapan Sistem Rusak
Oleh : Sumiyah Umi Hanifah
(Pendidik Generasi dan Pemerhati Kebijakan Publik)
Kasus kriminalitas di negeri ini kian meresahkan, dari waktu ke waktu angkanya terus melonjak naik. Lebih miris lagi pelakunya bukan hanya orang dewasa, tetapi juga oleh anak-anak dan remaja. Fenomena anak berhadapan dengan hukum (ABH) bermunculan di berbagai wilayah, di Tanah Air. Apa penyebab utamanya, dan bagaimana solusi terbaik mengatasi persoalan ini?
Dilansir dari (sukabumiku.id, Kamis, 02-5-2024), seorang bocah berusia enam tahun ditemukan tewas mengenaskan di sebuah perkebunan, dekat rumah neneknya. Menurut penyelidikan pihak berwenang, sebelum dibunuh, korban disodomi terlebih dahulu. Mirisnya pelakunya adalah seorang anak berusia 14 tahun. Saat ini pelaku resmi ditetapkan sebagai tersangka dan berstatus Anak Berhadapan dengan Hukum (ABH). Peristiwa memilukan ini terjadi di Sukabumi, Jawa Barat, pada 11 Maret 2024 yang lalu.
Selain di Sukabumi, kasus kriminal yang dilakukan oleh anak juga terjadi di wilayah lain di Indonesia.
Direktur Reserse Kriminal Umum (Direskrim) Polda Jambi, Kombes Pol Andri Ananta Yudhistira mengungkapkan bahwa pihak kepolisian telah menetapkan tiga anak sebagai tersangka atas kematian Airul Harahap, seorang santri di Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwibin, kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Dua tersangka lainnya telah diganjar dengan hukuman penjara , yakni AR (15 tahun) divonis 7 tahun 6 bulan penjara, dan seorang lagi RD (14 tahun) divonis lebih ringan, yakni, hukuman 6 tahun penjara. (metrojambi.com, Sabtu, 4-5-2024)
Dua peristiwa miris ini merupakan gambaran betapa rusaknya akhlak generasi muda kita. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya tingkat kesadaran para orang tua untuk memberikan pendidikan yang baik kepada anak. Sistem kapitalis yang selalu berorientasi pada materi telah mengenyampingkan fungsi utama orang tua dalam proses pendidikan anak. Dalam sistem sekuler ini, orang tua dianggap sebagai pihak pemberi materi, yang seolah hanya bertugas mencari materi (nafkah).
Selain itu, negeri ini menerapkan sistem pendidikan sekuler, yakni sebuah sistem yang menjauhkan nilai-nilai agama dari kehidupan. Sehingga lahir generasi penerus yang rusak akhlaknya, dan jauh dari tuntunan syari'at Islam. Kapitalisme menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM) yang mana hal ini justru akan membuat kejahatan kian merajalela. Sebab, atas nama HAM, para pelaku kriminal akan mudah meloloskan diri dari jeratan hukum.
Dalam ajaran Islam, sistem pendidikan haruslah berdasarkan akidah Islam, yang akan menghasilkan peserta didik berkepribadian Islam, berakhlak mulia, taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Generasi muda adalah ujung tombak kemajuan suatu bangsa, sehingga mereka harus dididik dan dibina dengan syaqafah Islam sejak dini, agar kelak dapat menjadi calon pemimpin peradaban Islam.
Penyebab maraknya ABH juga berawal dari hilangnya peran ibu dalam membentuk karakter mulia pada anak. Dalam Islam, kaum ibu memiliki peran penting dalam proses pendidikan anak. Seorang ibu merupakan madrasah (sekolah) pertama bagi anak-anaknya. Islam memastikan ketersediaan lapangan kerja, khususnya bagi kaum laki-laki, sehingga kaum perempuan tidak diberi beban untuk mencari nafkah. Kaum ibu akan fokus dan leluasa menjalankan perannya sebagai ibu pendidik generasi.
Dalam hal penegakan hukum oleh aparat negara, pemerintah dinilai tidak tegas dan terkesan tebang pilih. Banyak penjahat kelas kakap yang "diselamatkan" dari jerat hukum, tetapi di sisi lain banyak pula warga miskin yang sekadar mencuri semangka karena kehausan, tapi justru dijebloskan ke penjara.
Padahal, hukum harus ditegakkan secara adil. Sanksi tegas bagi pelaku kejahatan, tanpa membedakan usia, status sosial, status ekonomi, dan lain sebagainya. Hukuman akan diberlakukan kepada siapa saja yang sudah "mukallaf" dan kejahatannya itu dilakukan dengan sengaja. Adapun tindak pidana dalam Islam terbagi menjadi tiga, yaitu: "jarima hudud", "qishas", dan "takzir". Hukuman atau sanksi dalam Islam berfungsi sebagai "jawabir" (penghapus dosa) dan "jawazir" (pencegahan).
Lain halnya dengan sistem kapitalis, ketidakjelasan peraturan perundang-undangan terkait dengan usia anak ABH yang ditetapkan sering terjadi. Menurut pasal 1 ayat (2) UU No.11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak, usia yang dimaksud sebagai ABH adalah mereka yang telah berumur 12 tahun hingga kurang dari 18 tahun. Namun, menurut pasal 71 UU No. 11 Tahun 2012 tentang sanksi pidana anak pelaku tindak pidana terdiri dari pidana pokok dan tambahan. Jadi, sesuai undang-undang tersebut bahwa anak di bawah umur bisa dijerat hukum.
Dengan demikian, sistem kapitalis yang berasaskan liberalisme jelas tidak bisa diandalkan lagi. Sistem buatan manusia ini telah menciptakan peradaban manusia yang rendah adabnya. Abad ini kapitalisme disebut-sebut sebagai sumber masalah. Menjamurnya kasus ABH seharusnya menjadi alarm bagi masyarakat dan negara, bahwasanya sistem yang diterapkan saat ini adalah sistem yang gagal dan rusak.
Sudah saatnya umat kembali menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah.
Sebagaimana firman-Nya: "Dan hendaklah engkau memutuskan perkara diantara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah engkau mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan engkau terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik." (T.Q.S. Al-Maidah [5]:49)
Hanya dengan pelaksanaan sistem Islam secara kaffah, akan mampu menyelesaikan segala problematika kehidupan umat manusia. Sebab Islam memiliki seperangkat aturan hukum yang diturunkan oleh Allah Swt. untuk mengatur seluruh urusan manusia. Baik itu muslim maupun nonmuslim. Dengan Islam peradaban dunia akan kembali terang benderang.
Wallahualam bissawab
Posting Komentar