-->

Kriminalitas Anak Makin Marak, Buah Sistem Rusak

Oleh : Ummu Utsman

Belum lama ini, publik digemparkan dengan adanya kasus bocah laki-laki berinisial MA (6 tahun) asal Sukabumi menjadi korban pembunuhan, tidak hanya dibunuh, anak yang baru mau duduk di bangku sekolah dasar ini juga menjadi korban kekerasan seksual sodomi. Pelakunya adalah remaja 14th yang masih duduk di bangku SMP.(Sukabumiku.id, 2/5/2024).

Kasus lainnya, pihak kepolisian Jambi telah menemukan tiga tersangka atas kematian Airul Harahap (13), santri Pondok Pesantren Raudhatul Mujawwidin, Kabupaten Tebo, Provinsi Jambi. Pihak pengadilan telah menentukan bahwa terdakwa AR (15) divonis dengan hukuman 7 tahun 6 bulan penjara, sedangkan RD (14) divonis lebih ringan dengan hukuman 6 tahun 6 bulan penjara. Mereka merupakan senior Airul Harahap di Ponpes tersebut.(Metrojambi.com, 4/5/2024).

Sungguh miris, dari peristiwa di atas, pelaku-pelaku kriminal masih terkategori anak. Dan ternyata dari hari ke hari kasus anak berhadapan dengan hukum terus saja meningkat. Kondisi ini membuat Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) berinisiatif untuk melakukan pembinaan hukum ke sekolah-sekolah dengan menggandeng ribuan advokat dan ribuan paralegal. BPHN juga beranggapan bahwa salah satu faktor yang perlu mendapat perhatian adalah pola asuh orang tua.

Hukum di Negeri Kapitalis yang Dilematis

Jika merujuk pada institusi terkecil (keluarga), anak memang tanggung jawab orang tua. Orang tua berkewajiban memberikan perlindungan kepada anak, memperhatikan tumbuh kembangnya, menjamin segala kebutuhan, dan memberikan edukasi. Melakukan pembinaan hukum tentu merupakan langkah yang baik. Hanya saja, upaya untuk meredam bahkan meniadakan tindak kriminalitas anak tidak cukup dengan mengoreksi pola asuh orang tua atau mengembalikan pada institusi pendidikan.

Sebagai manusia yang terus mengalami perkembangan, anak akan berinteraksi dengan lingkungan dan masyarakat. Di sinilah tumbuh kembang anak berproses. Lingkungan sosial dan masyarakat turut berperan dalam membentuk kepribadian anak. Secara komprehensif, pembentukan kepribadian anak merupakan proses yang kompleks. Proses utama dalam hal ini setidaknya melibatkan beberapa aspek, yaitu individu anak sendiri, peran keluarga, peran masyarakat yang terikat oleh pemikiran, perasaan dan aturan yang sama, juga hadirnya negara yang berperan sebagai pelindung dan pengurus rakyatnya.

Oleh karena itu selain memahami pola asuh yang tepat, masyarakat dan negara berperan besar dalam membentuk kepribadian anak. Masyarakat berfungsi sebagai pengontrol, sedangkan negara berperan dalam memberikan perlindungan dan pengurusan pada anak.

Sayang beribu sayang, saat UU Perlindungan Anak diterapkan di negeri ini, keberadaannya seakan menjadi tameng. Masih di bawah umur menjadikan anak pelaku kriminal tak tersentuh hukum. Padahal kenyataannya tindak kriminalitas yang dilakukan manusia tidak terkecuali anak kian hari kian meningkat dan brutal. Walhasil produk hukum menjadi dilematis. Harus menghukumi atau melindungi.

Usut punya usut, apabila dicermati hal tersebut tidak lepas dari standar yang digunakan dalam menetapkan keberhasilan pembangunan manusia. Standar ini juga tidak lepas dari ideologi yang diadopsi negeri ini. Nyatanya negeri ini mengadopsi ideologi kapitalisme. Sehingga mengukur segala sesuatu, berorientasi pada pencapaian nilai-nilai materi. Alhasil pendidikan pun diarahkan ke sana. Tidak terlepas dari aspek ekonomi. Artinya, pengetahuan yang diperoleh dalam bangku pendidikan, baik di sekolah maupun perguruan tinggi, dirancang dengan orientasi ekonomi semata, bukan lagi pada agama. Hasilnya, orangtua dari generasi anak sekarang pun berorientasi pada ekonomi semata. Suri tauladan akhlak mulia sulit didapati di kalangan keluarga.

Islam Mencegah Tindakan Kriminal pada Anak

Menjaga anak agar menjadi individu yang bertakwa merupakan upaya yang sangat penting. Orang tua bertanggung jawab atas pola asuh yang dijalankannya di mana orang tua akan mengukur pola berpikir dan bersikap anak agar benar saat berperilaku.

Dalam Islam, akidah serta pembentukan pemahaman mengenai Sang Pencipta pada anak dikenalkan saat anak memasuki usia mumayyiz agar mereka memahami keberadaan Sang Pencipta sekaligus memiliki keterikatan hubungan yang kuat  dengan Allah. Proses yang dilakukan saat mumayyiz membantu dalam mempersiapkan  anak saat memasuki masa pubertas yang merupakan fase kritis. Ketika anak memasuki usia remaja dia membutuhkan perhatian semua pihak, baik Dari individu, keluarga, masyarakat, dan juga negara.

Dalam fase balig, anak sudah seharusnya menyadari masalah hukum perbuatan. Proses pendidikan anak pada masa pramumayyiz dan mumayyiz lah yang menentukan kematangan kepribadian anak saat usia balig karena di usia  balig, anak telah menjadi mukalaf (telah terbebani hukum). Untuk segala perbuatan yang melanggar hukum syara, si anak tidak bisa berdalih mengenai batasan usia—sebagaimana terjadi hari ini. Sistem pendidikan Islam akan mengiringi anak saat berproses menjadi individu yang bertakwa dan memilih serta memilah mana perbuatan baik dan mana yang buruk sesuai syara.

Secara jelas dan tegas Islam menetapkan batasan “anak di bawah umur” yang dalam sistem sekuler batasan ini sangat kabur. Proses pendewasaan masing-masing anak memang berbeda-beda, namun melihat fenomena sosial masyarakat saat ini, fase balig-mukalaf anak cenderung menjadi lebih cepat. Akal mereka dipaksa cepat dan mencerna berbagai informasi. Dengan sistem sosial hari ini yang berkiblat pada hukum sekuler, fase tumbuh kembang anak ini pun menjadi kian kompleks dengan berbagai masalah.

Dalam sistem Islam, masyarakat dibangun agar terikat pada pemikiran, perasaan, dan aturan yang sama supaya menjadi pengontrol sosial pada setiap individu mukalaf. Aktivitas amar makruf nahi mungkar akan menghiasi kehidupan sosial masyarakat.

Dalam sistem Islam, negara berperan dalam menjamin kebutuhan anak. Negara harus menciptakan mekanisme yang mendukung terpenuhinya kebutuhan ekonomi, pendidikan, kesehatan, pergaulan, termasuk sistem hukum bagi anak. Inilah wujud peran negara sebagai pengurus rakyat, khususnya anak. Di sisi lain, negara pun berperan dalam memberikan perlindungan kepada anak dengan membentengi anak dari paparan pemikiran negatif. Negara akan memastikan anak hanya mengonsumsi informasi bersih dan sehat dalam tumbuh kembang mereka, serta mengaruskan pendidikan yang mendukung fase perkembangan melalui media yang mendukung pola asuh orang tua.

Tak kalah pentingnya negara juga berperan menjalankan sistem hukum sesuai syariat. Negara berperan dalam melakukan edukasi yang berkaitan dengan hukum perbuatan seorang hamba. Walhasil, anak akan tumbuh menjadi individu bertakwa dengan dukungan masyarakat dan negara. Inilah proses kompleks dan sistemis dalam Islam dan ini sangat jitu dalam mencegah tindakan kriminal.

Oleh karena itu, untuk mewujudkan anak shalih/shalihah, takwa, dan bersih dari perilaku kriminal, butuh pengawasan dan perlindungan hukum sistemis dan komprehensif. Dan yang demikian hanya ada dalam sistem Islam Kaffah dalam naungan Khilafah Islamiyyah.

Wallaahu a'lam bisshawab.