-->

Dibalik MoU Kemenag dan UNICEF Terhadap Hak Anak

Oleh: Asha Tridayana, S.T.

Tidak dipungkiri, maraknya kasus yang melibatkan anak telah mencuri banyak perhatian. Dari kasus kesehatan seperti malnutrisi ataupun kasus kriminalitas dengan anak sebagai korban. Kemudian kasus terkait pendidikan pun tidak kalah ketinggalan, terlihat dari anak-anak usia sekolah sering kali kehilangan kesempatan belajarnya. Sehingga dapat dikatakan, banyak anak yang telah kehilangan hak-haknya. Hal ini terjadi karena tidak adanya jaminan yang mampu melindungi mereka mendapatkan haknya bahkan untuk hidup layak pun menghadapi kesulitan.

Kekhawatiran tersebut digagas oleh Kementerian Agama (Kemenag) RI dan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) yang meresmikan  nota kesepahaman (MoU) dalam rangka memperkuat perlindungan hak anak. MoU tersebut ditandatangani dalam acara Interfaith Iftar and Networking Dinner 2024 di Masjid Istiqlal Jakarta, Rabu malam (27/3).  Wakil dari UNICEF di Indonesia, Maniza Zaman menegaskan bahwa MoU ini sebagai bentuk komitmen melindungi hak anak tanpa melihat latar belakang dan keyakinan.

Sementara Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Kemenag RI Kamaruddin Amin mengatakan MoU tersebut mencakup tiga aspek penting, yakni advokasi, pengembangan kapasitas, dan berbagi sumber daya sebagai langkah konkret untuk meningkatkan kesadaran akan hak-hak anak. Menurutnya, masih banyak anak Indonesia yang mengalami keterbatasan dalam memperoleh pendidikan. Sehingga melalui fungsi keagamaan dapat memaksimalkan perlindungan dan memenuhi hak-hak anak. Tentunya ditambah dukungan dari tokoh agama, penyuluh agama, dan pengurus Badan Kesejahteraan Masjid (BKM). (https://m.antaranews.com 28/03/24)

MoU Kemenag dan UNICEF dimaksudkan untuk menjawab permasalahan yang tengah dihadapi anak Indonesia saat ini. Kondisi anak-anak sangatlah memprihatinkan khususnya terkait kesejahteraan dan pendidikan. Namun, adanya kerjasama yang melibatkan antar agama ini perlu dipahami lebih jauh yakni pentingnya memastikan gambaran sejahtera yang dimaksud diantara dua pihak tersebut. Sehingga dalam mencapai harapan yang diinginkan dapat tepat sasaran. Tidak mencampuradukan urusan akidah yang haq dengan label toleransi ataupun kerjasama demi kesejahteraan dan pendidikan.

Disamping itu, fakta bahwa anak Indonesia masih belum memperoleh jaminan sejahtera dan pendidikan secara menyeluruh memang benar adanya. Bahkan persoalan yang dihadapi lebih kompleks, dari gizi sejak lahir yang akhirnya berdampak pada stunting, kemiskinan berkepanjangan, korban kekerasan baik dari lingkungan keluarga ataupun sekolah dan masyarakat. Termasuk terkait pendidikan sendiri yang aksesnya masih terbatas. Sehingga perlu kembali dicermati makna MoU yang disepakati, karena pada realitanya justru tidak relevan dengan persoalan yang tengah dihadapi anak-anak.

Terlihat dari akar masalah yang sebenarnya belum terpecahkan. Segala kesulitan yang dialami anak-anak hingga mereka kehilangan jaminan hak-haknya tidak cukup dengan penandatanganan MoU yang hanya bersifat formalitas apalagi dibawah naungan sistem saat ini. Karena sejatinya yang mendasari segala persoalan tersebut, tidak lain akibat dari penerapan sistem kapitalisme. Sistem yang mampu menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan mendapatkan materi sebanyak mungkin. Sehingga dapat dikatakan mustahil, sistem kapitalisme akan memberikan kesejahteraan menyeluruh termasuk layanan pendidikan secara nyata pada masyarakat terlebih anak-anak. Para pemilik kebijakan hanya mementingkan kerjasama dengan pemilik modal dalam rangka melanggengkan kekuasaan dan mengamankan kekayaan.

Dari sini dapat dipahami bahwa masalah jaminan perlindungan hak anak perlu solusi hakiki yang menuntaskan dan tidak memunculkan masalah baru. Seperti misalnya dari sisi pengajar yang belum mendapatkan penghidupan yang layak ataupun pihak keluarga yang memaksakan diri memenuhi hak anak hingga terjerumus pada kriminalitas dan lain sebagainya. Oleh karena itu, anak-anak bahkan negara ini membutuhkan perubahan sistem yang dapat memperbaiki keadaan. Yakni mengubahnya dengan sistem shohih, sistem Islam yang berasal dari Sang Pemilik Kehidupan Allah swt.

Islam merupakan akidah yang memancarkan peraturan yang sesuai dengan fitrah manusia. Sehingga ketika negara menerapkannya di segala aspek kehidupan maka berbagai persoalan hidup dapat terurai dan terselesaikan dengan tuntas. Karena penerapan Islam membenahi dari dasar, membuang akar masalahnya. Oleh karena itu, bukan hal mustahil jaminan perlindungan hak anak dapat terwujud baik kesejahteraan, keamanan bahkan pendidikan yang memadai. Islam akan mewajibkan negara merealisasikannya hingga seluruh masyarakat termasuk anak-anak merasa terjamin di segala aspek kehidupan.

Sudah saatnya, seluruh umat kembali pada aturan Allah swt dan menerapkan Islam tidak hanya untuk individu tetapi juga level negara. Karena melalui negara yang berdaulat dengan Islam akan bertanggungjawab penuh atas kelangsungan hidup rakyatnya dan menjamin pemenuhannya sesuai syariat Islam. Allah swt berfirman, “Untuk setiap umat di antara kamu (umat Nabi Muhammad dan umat-umat sebelumnya) Kami jadikan peraturan (syari’at) dan jalan yang terang.” [QS. Al-Maidah (5): 48]

Wallahu'alam bishowab.